Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA rutin terbit pada awal 1990-an, Ulumul Qur'an selalu memuat artikel panjang dalam rubrik "Ensiklopedi Al-Qur'an". Penulisnya bukan lulusan Al-Azhar di Mesir atau Qum di Iran, melainkan ekonom lulusan Universitas Gadjah Mada. Dia adalah M. Dawam Rahardjo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya orang dengan kecintaan tinggi pada Kitab Suci yang bisa seintens itu bergumul dengan tafsir. Dan, seperti semua mufasir, Dawam membawa ke dalam tafsirnya semua yang dia punya. Saya kira inilah sisi ensiklopedisnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika tahu dia wafat pada Rabu pekan lalu, perasaan kehilangan sosok passionate dan ensiklopedis itulah yang saya rasakan. Dawam bukan hanya pembaca apa saja, tapi juga penulis tentang apa saja. Selain membuat karya-karya akademis, dia menulis puisi dan kritik sastra. Ketika istrinya wafat, dia menulis cerita pendek Wirid di Kompas, yang terus dibaca banyak istri yang mendambakan romantisisme yang tidak norak.
Ensiklopedia Dawam Rahardjo
Pada Dawam, kita melihat kebajikan dalam melanggar batas-batas. Sewaktu saya bekerja di bawahnya mengasuh jurnal di atas, kami biasa membaca tafsir Muhammad Asad berdampingan dengan A Dictionary of Marxist Thought. Saya juga biasa diajaknya berdiskusi dengan beragam jenis orang, dari Quraish Shihab dan Ignas Kleden hingga Rahman Lia Eden.
Tapi daya gerak utama yang mendorong Dawam adalah kehendak melakukan perubahan, DNA-nya yang lain. Inilah yang mendorongnya bergabung dengan Limited Group, sekelompok anak muda muslim progresif di Yogyakarta pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Seperti kita baca dalam catatan harian sahabatnya, Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, mereka rupanya sudah mendambakan apa yang belakangan dirumuskan Nurcholish Madjid sebagai pembaruan pemikiran Islam.
Daya dorong itu pula yang menyebabkan santri taat kelahiran Solo ini melepaskan pekerjaannya di Bank of America dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Di sinilah Dawam mempertajam instingnya sebagai peneliti dan memperkukuh panggilan hidupnya sebagai cendekiawan. Karena nada tulisannya "kekiri-kirian", dia suka dituduh "semangka" (Islam di luar, Marxis di dalam), yang mempertebal kekaguman saya kepadanya.
Saya kira di bawah kepemimpinannyalah LP3ES mencapai puncak kejayaannya. Aneka terbitan lembaga ini, khususnya jurnal Prisma, menjadi inkubator kemajuan ilmu-ilmu sosial di Tanah Air.
Di era ini pula Dawam tumbuh sebagai pendidik dan pembangun institusi. Saya selalu terkesima mendengar cerita Fachry Ali atau Daniel Dhakidae tentang usaha Dawam membangun komunitas intelektual di LP3ES. Para kadernya melampaui batas-batas organisasi, agama, atau aliran pemikiran. Dan, ingat, Dawam-lah yang membawa masuk pesantren ke dunia lembaga swadaya masyarakat, dengan antara lain mengajak "putra terbaik"-nya, Abdurrahman Wahid.
Akhirnya, meski kontroversial, alasan mengadakan perubahan pulalah yang mendorong Dawam mendukung Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada awal 1990-an. Baginya, itu cermin niat baik Orde Baru yang ingin mengakomodasi kepentingan santri modernis. Pilihan ini memisahkannya dari banyak sohib lamanya dan mempersulit posisinya sebagai cendekiawan. Kadang dia amat kecewa kepada ICMI, berbanding lurus dengan harapannya yang tinggi; kadang naif, kepada lembaga itu.
Ketika Partai Amanat Nasional dibentuk pada 1999, Dawam menjadi salah satu ketuanya, didukung para aktivis muda seperti Faisal Basri, Sandra Hamid, dan Rizal Panggabean. Meski belakangan semuanya mundur teratur, keterlibatan itu harus dibaca sebagai kesediaan untuk bekerja dalam lumpur demi perubahan.
Sekitar 15 tahun terakhir, Dawam menjadi pembela gigih pluralisme melawan meningkatnya konservatisme Islam. Itu dilakukannya tidak hanya dengan menulis kecaman atas fatwa "Sipilis" Majelis Ulama Indonesia, tapi juga dengan memberi orasi membela Jaringan Islam Liberal atau Komunitas Lia Eden di medan protes.
Saya tidak kaget-hanya tambah kagum. Ketika Hamid Basyaib dan saya, pada pertengahan 1990-an, hendak dipecat Republika karena tulisan kami diprotes kelompok muslim tertentu yang marah, Dawam gigih membela. "Saya mungkin tidak sepakat dengan pendapat kalian. Tapi hak kalian untuk menyatakan pendapat akan saya bela sampai mati," katanya mengutip Voltaire.
Makasih untuk semua pelajaran yang kami terima, Mas Dawam. Silakan beristirahat dalam damai.
Ihsan Ali-fauzi, Direktur Pusat Studi Agama Dan Demokrasi, Yayasan Paramadina, Jakarta
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo