Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMAN-teman Fitri Septiani Alhinduan tidak pernah menyangka Kepala Sekolah Menengah Pertama Negeri 9, Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat, itu bakal berurusan dengan polisi gara-gara statusnya di media sosial. Fitri menjadi tersangka pada pertengahan Mei lalu setelah Kepolisian Daerah Kalimantan Barat menganggap coretan di dinding akun Facebooknya bernada menyebarkan kebencian serta bermuatan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sehari-hari, Pity-begitu Fitri biasa dipanggil oleh kawan-kawannya-terkenal sebagai guru sekaligus aktivis konservasi Taman Nasional Gunung Palung, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. "Dia mengenalkan konservasi kepada murid-muridnya," kata Mariamah Achmad, manajer pendidikan lingkungan sebuah lembaga swadaya di Kabupaten Ketapang, Senin lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mariamah masih ingat, ketika belum menjadi kepala sekolah, Pity pernah berseberangan dengan koleganya karena memasukkan materi konservasi lingkungan ke kegiatan belajar-mengajar. Menurut Mariamah, lulusan Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura itu baru bisa bebas memasukkan materi tersebut ketika menjadi kepala sekolah.
Karena itulah Mariamah tidak percaya bahwa Pity, di tengah aktivitas mengajar dan pergelutannya dalam kegiatan konservasi, bakal menjadi tersangka kasus ujaran kebencian. "Saya berharap perkaranya cepat selesai," kata Mariamah.
Penetapan tersangka ini bermula ketika Pity menulis di akun Facebooknya pada 13 Mei lalu. Ia mengomentari insiden bom bunuh diri jaringan teroris di Surabaya. Begini bunyi salah satu statusnya: "Sekali mendayung 2-3 pulau terlampaui. Sekali ngebom: 1. Nama Islam dibuat tercoreng; 2. Dana triliunan anti teror cair; 3. Isu 2019 ganti presiden tenggelam. Sadis lu bong... Rakyat sendiri lu hantam juga. Dosa besar lu." Status ini disebar ulang sekitar 114 kali.
Empat hari kemudian, Kepolisian Resor Kota Kayong Utara menjemput Fitri di sebuah rumah kos di Desa Pangkalan Buton. Setelah ditahan seharian, ia dipindahkan ke Kepolisian Daerah Kalimantan Barat. Di sana, polisi menaikkan statusnya menjadi tersangka.
Polisi menjerat Fitri dengan Pasal 45A ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalimantan Barat Komisaris Besar Nanang Purnomo mengatakan Fitri terbukti menyebarkan ujaran kebencian lewat media sosial. "Sehingga kami tetapkan sebagai tersangka," katanya.
Kepala Dinas Pendidikan Kayong Utara Romi Wijaya menyatakan telah menerbitkan surat pemberhentian sementara untuk Fitri. "Status dia selanjutnya tergantung nanti di persidangan," ujar Romi.
Keluarga Fitri memilih bungkam. Dihubungi dari Pontianak, Vivi Alhinduan, kakak Fitri, enggan berkomentar tentang kasus yang menimpa adiknya itu. Tempo sempat berbincang berjam-jam dengan pengacara Fitri. Namun lelaki itu meminta nama dan seluruh keterangannya tidak dimuat dengan alasan agar urusan di kepolisian bisa cepat selesai.
Fitri tidak sendiri. Sepanjang Mei lalu, Southeast Asian Freedom of Expression Network (SafeNet) mencatat ada delapan orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi di pelbagai daerah karena status mereka di media sosial. Tujuh orang di antaranya dijerat karena mengunggah status yang mengomentari rentetan aksi teror di Surabaya.
Koordinator Regional SafeNet, Damar Juniarto, mengatakan polisi terlalu reaktif menanggapi unggahan di media sosial. Apalagi, Damar menambahkan, polisi menggunakan pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menjerat mereka yang berekspresi di media sosial. "Ini ancaman serius terhadap kebebasan berpendapat," katanya.
Damar melihat coretan warganet yang menjadi tersangka lebih banyak berbicara soal pandangan politik dan sikap mereka. Misalnya dalam perkara yang menyeret Himma Dewiyana Lubis, dosen di Departemen Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
Perempuan 46 tahun ini mengunggah status yang menyinggung insiden bom bunuh diri di Surabaya. Ia menulis, "Skenario pengalihan yg sempurna… 2019 Ganti Presiden." Gara-gara status itu, Kepolisian Daerah Sumatera Utara menetapkan Himma sebagai tersangka pada 19 Mei lalu. Polisi menjerat perempuan yang juga Kepala Kantor Arsip Universitas Sumatera Utara itu dengan Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Setelah diperiksa polisi pada medio Mei lalu, Himma mengatakan tulisan itu bukan miliknya. "Saya hanya membagikan ulang karena muncul di linimasa Facebook saya," ujarnya. "Saya tidak punya motif apa-apa."
Damar mengatakan polisi seharusnya tidak terburu-buru menetapkan seseorang sebagai tersangka hanya karena status di media sosial. "Unsur pidana, yaitu niat jahat, belum tentu terpenuhi ketika mereka menulis status itu," ujarnya. "Seharusnya cukup ditegur lebih dulu."
Sejak Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik disahkan pada 2008, SafeNet mencatat 241 orang pernah diproses hukum oleh kepolisian karena status mereka di media sosial. Perkembangan penyelidikan kebanyakan kasus itu tidak jelas. Hanya 30 persen kasus yang berakhir di persidangan. Sebagian terdakwa diputus bebas dan kasusnya bisa dimediasi, sisanya mendapat hukuman percobaan 10 bulan hingga penjara 7 tahun.
Jika dibandingkan dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kasus pidana dalam kaitan dengan status di media sosial justru lebih banyak terjadi pada masa pemerintahan Joko Widodo. Menurut data SafeNet, pada periode kedua kepemimpinan Yudhoyono hingga ia lengser, hanya ada 60-an laporan yang berkaitan dengan unggahan di media sosial. Sedangkan sejak Jokowi dilantik pada Oktober 2014 sampai saat ini sudah ada sekitar 170 aduan soal unggahan di dunia maya.
Menurut Damar, jika melihat data itu, bukan berarti pemerintah Yudhoyono lebih baik daripada Jokowi dalam soal kebebasan berekspresi. Sebab, bagaimanapun, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik lahir pada era Yudhoyono. "Mulai zaman Yudhoyono orang-orang yang berpendapat di Internet dipidanakan, dan makin banyak di zaman Jokowi," kata Damar.
Damar mengungkapkan, pemerintah Jokowi sebenarnya berkesempatan menghilangkan pasal karet dalam undang-undang tersebut ketika revisi aturan itu bergulir pada 2016. Namun, alih-alih memperbaiki keadaan, pemerintah Jokowi justru membiarkan pasal tentang pencemaran nama itu bercokol. Padahal aturan dalam pasal tersebut sangat lentur.
Akibatnya, ujar Damar, baru pada era Jokowi ada orang yang diseret ke ranah pidana lantaran menghina presiden di media sosial. Setidaknya, hingga Agustus tahun lalu, ada sembilan kasus penghinaan terhadap presiden yang berujung di penjara. "Watak asli undang-undang ini baru muncul sekarang," tuturnya.
Ancaman terhadap kebebasan berekspresi berpotensi terus ada, apalagi di tahun politik, ketika banyak orang berpendapat tentang sikap mereka. Ismail Fahmi, pakar teknologi informasi yang mengembangkan sistem pengukur dan penganalisis media sosial bernama Drone Emprit, melihat dalam setahun ini masyarakat cenderung mengaitkan urusan apa pun dengan sikap politik mereka.
Dalam isu terorisme, misalnya, Drone Emprit membaca adanya perubahan cara pandang masyarakat. Menurut Fahmi, ketika insiden bom Thamrin terjadi pada awal 2016, masyarakat dan pemerintah masih bersatu mendukung perlawanan terhadap terorisme. Demikian juga ketika aksi teror terjadi di Gereja Oikumene, Samarinda, akhir tahun itu.
Sikap masyarakat mulai berubah ketika insiden bom terjadi di Kampung Melayu, Jakarta Timur, pada medio 2017. Ketika itu, Ismail mengatakan, sudah mulai muncul suara-suara yang menuding peristiwa tersebut sebagai rekayasa atau hanya pengalihan isu. Kepolisian RI bahkan menangkap Ahmad Rifai Pasra, salah seorang warga yang berceloteh di Facebook mengenai rekayasa bom Kampung Melayu.
Menurut Ismail, saat terjadi insiden bom bunuh diri di Surabaya, Drone Emprit pun menemukan orang-orang yang berbeda suara. "Mereka mengaitkan insiden di Surabaya dengan sikap politik mereka," ucapnya. Kubu ini, Ismail menambahkan, cukup kuat mendominasi percakapan di Twitter. "Posisi mereka berseberangan dengan pemerintah."
Ismail mengatakan seharusnya polisi tidak bertindak keras terhadap kelompok yang berbeda suara ini. Sebab, situasi justru akan makin ricuh. "Mereka yang satu pandangan akan makin menganggap pemerintah represif," ucapnya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian RI, Brigadir Jenderal Mohammad Iqbal, menyatakan penyidik tidak segan memproses hukum warga yang menuding peristiwa teror bom sebagai pengalihan isu. Ia meminta masyarakat bijak dalam berpendapat. "Pikirkan juga keluarga korban," kata Iqbal. "Selain itu, kami tidak nyaman bila kejahatan ini dikatakan rekayasa."
Syailendra Persada, Indri Maulidar, Maya Ayu Puspitasari, Julnis Firmansyah (Jakarta), Asheanty Pahlevi (Pontianak), Arman Maulana Manurung (Medan)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo