Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMATIAN Samsudin Dimaukom rupanya bukan yang pamungkas. Wali Kota Datu Saudi-Ampatuan, Provinsi Maguindanao, Filipina, itu tewas tertembus peluru polisi Filipina, akhir Oktober tahun lalu. Dimaukom dan sembilan pria lain, dengan menunggang tiga mobil, terlibat baku tembak dengan unit polisi antinarkotik di sebuah pos pemeriksaan di Kota Makilala, Provinsi Cotabato, Filipina, sekitar 120 kilometer ke arah timur dari Datu Saudi-Ampatuan.
Inspektur Romeo Galgo Jr, juru bicara Kantor Polisi Daerah-12 di Kota General Santos, mengatakan polisi antinarkotik semula menyetop konvoi Dimaukom untuk melakukan pemeriksaan. Namun semua berakhir penuh darah saat Dimaukom dan anak buahnya justru melepaskan tembakan. "Kami mendapat informasi bahwa kelompok Dimaukom tengah mengirim paket metamfetamin ke Cotabato," kata Galgo.
Di Kota Ozamiz, Provinsi Misamis Occidental, masih di kawasan Mindanao, Filipina selatan, hidup seorang wali kota lain berakhir dalam baku tembak dengan polisi. Sebanyak 15 orang tewas dalam sebuah penggerebekan larut malam oleh unit polisi antinarkotik, Ahad dua pekan lalu. Salah seorang yang tewas itu Wali Kota Reynaldo Parojinog. Parojinog adalah sosok elite baru yang menjadi korban kampanye anti-obat terlarang Presiden Rodrigo Roa Duterte.
Kepala Polisi Ozamiz, Jovie Espenido, mengatakan petugas semula akan menggeledah rumah Parojinog, yang diyakini menjadi tempat menyimpan senjata api ilegal. Namun Parojinog rupanya melawan. "Sebuah granat yang dipegang seorang pengawalnya meledak saat baku tembak," kata Espenido. Setelah Parojinog dan anak buahnya tumbang, polisi memeriksa seisi rumah dan mendapati beberapa pucuk senapan, uang tunai jutaan peso, dan metamfetamin yang telah dibungkus kemasan. "Dia target yang bernilai tinggi."
Nama Parojinog masuk daftar narco-politicians-istilah untuk pejabat publik dan politikus yang terlibat jaringan perdagangan obat terlarang. Sebulan setelah dilantik menjadi presiden, Duterte tancap gas, Agustus tahun lalu. Ia merilis daftar hitam jejaring elite peredaran narkotik, yang berisi lebih dari 150 nama hakim, polisi, dan kepala daerah.
Hanya berselang dua bulan, Duterte memperbarui daftar buruannya. Kali itu, eks Wali Kota Davao tersebut merilis daftar anyar yang berisi seribu nama pejabat publik dan politikus. Sebagian dari nama itu masuk kategori gembong narkotik. "Ini industri obat terlarang di Filipina. Di sini ada wali kota, barangay captain (sebutan kepala desa di Filipina), gubernur, dan senator," kata Duterte, merujuk pada daftar politikus sekaligus bos perdagangan narkotik tersebut.
Kampanye antinarkotik Duterte berfokus membasmi metamfetamin atau sabu. Filipina tercatat sebagai negara dengan tingkat konsumsi sabu tertinggi di Asia Timur. Benda durjana itu tersebar luas sehingga memicu masalah serius. Bahkan banyak warga miskin dengan mudah mengantongi sabu. Di jalanan Filipina, satu gram sabu-dijuluki sebagai kokain orang miskin-dibanderol paling murah seharga 1.300 peso atau sekitar Rp 340 ribu.
Peredaran narkotik di negeri berpenduduk 100 juta jiwa itu terbilang meresahkan. Menurut Badan Obat-obatan Berbahaya, ada sekitar 1,8 juta orang pengguna obat terlarang di Filipina. "Sebagian besar penikmatnya berusia 10-69 tahun, kelompok umur yang mengisi 75 persen dari populasi Filipina," demikian menurut survei lembaga itu pada 2015. Versi Badan Antinarkotik Filipina lebih mencengangkan. Duterte, mengutip data Badan Antinarkotik, menyebutkan ada sedikitnya 3 juta pecandu obat terlarang di Filipina.
Perang Duterte melawan narkotik sempat menuai kecaman dari komunitas global. Pembunuhan di luar hukum atau extrajudicial killing kental mewarnai operasi antinarkotik. Lembaga Amnesty International mencatat lebih dari 7.000 orang menjadi korban penembakan di gang-gang, jalan, juga rumah penduduk. Nahasnya, sebagian besar korban justru warga biasa, bukan kaum elite seperti dalam daftar buruan Duterte.
Kepolisian Filipina membantah angka itu dan menyatakan aksi "tembak di tempat" mereka hanya menewaskan sekitar sepertiganya. Sedangkan sisanya dilakukan oleh penduduk, yang memang diberi kebebasan oleh Duterte untuk mengeksekusi tersangka pengedar obat terlarang. Menurut Amnesty, polisi getol memburu pengedar obat terlarang karena mereka mendapat imbalan dari negara. "Seorang polisi dibayar 15 ribu peso (sekitar Rp 3,9 juta) untuk tiap tersangka yang mereka bunuh," begitu menurut hasil penyelidikan Amnesty.
Duterte terus panen kritik karena strateginya dicap tak efektif. Pendahulu Duterte, Benigno Aquino III, mengatakan jumlah pengguna narkotik di Filipina tak berkurang dari angka 1,8 juta sejak 2015. "Sepertinya tidak terjadi apa-apa," ujarnya. Juru bicara kepresidenan, Ernesto Abella, mengatakan 1,3 juta pengguna narkotik telah menyerahkan diri sejak kampanye Duterte berjalan. "Kami telah meringkus 96 ribu tersangka pengedar," kata Abella, menangkis tudingan Aquino. "Di era Aquino, hanya 77 ribu pengedar yang ditangkap."
Kini Duterte harus membuktikan bahwa perang melawan narkotik tak hanya menyasar orang kecil. Parojinog menyuguhkan momentum itu. "Keluarga Parojinog, jika Anda ingat, masuk daftar orang-orang penting yang terlibat dalam perdagangan gelap narkotik," ujar Abella. Dalam baku tembak di Kota Ozamiz, istri Reynaldo Parojinog, Susan, serta saudara laki-lakinya, Octavio Parojinog Jr, juga tewas. Adapun putri Reynaldo, Nova Princess Parojinog-Echavez, yang menjabat wakil wali kota, ditahan polisi.
Parojinog menjadi wali kota ketiga yang tewas dalam perang narkotik Duterte. Sebelum Parojinog, ada Samsudin Dimaukom dan Rolando Espinosa Sr, Wali Kota Albuera, sebuah kota kecil di Provinsi Leyte. Duterte juga mengincar beberapa nama pensiunan perwira polisi yang dituding berperan sebagai pembeking sindikat narkotik. "Di mana pun Loot bertugas, di situ peredaran obat terlarang menggeliat," kata Duterte tentang Vicente Loot, bekas jenderal polisi yang kini menjabat Wali Kota Daanbantayan, Provinsi Cebu. Loot satu di antara lima pejabat kepolisian yang pensiun dan aktif dengan harta kekayaan yang tak lazim.
Upaya Duterte membasmi jaring kusut peredaran narkotik di Filipina bakal tak mudah. Pengamanan tapal batas yang keropos, lemahnya penegakan hukum, serta celah masuk dari struktur kepulauan mempermudah penyelundupan narkotik ke negara itu. "Filipina menjadi pusat lalu lintas sabu, bahan kimia adiktif yang sebagian besar diimpor dari Cina dan Taiwan," kata Direktur Informasi Publik Badan Antinarkotik Filipina, Derrick Carreon.
Badan Antinarkotik, misalnya, pernah mencokok empat warga Cina yang menggunakan kapal sebagai pabrik sabu di perairan Filipina, Juli tahun lalu. Pada bulan yang sama, unit polisi antinarkotik menembak mati Meco Tan, gembong sabu berpaspor Cina, di Kota Valenzuela, sekitar 14 kilometer di sebelah utara Manila. Jejaring narkotik makin rumit setelah ada kartel narkotik asal Meksiko dan sindikat Afrika Barat yang turut bermain di Filipina.
Namun langkah Duterte tak surut. Dengan dukungan penuh Kepala Kepolisian Nasional Filipina Jenderal Ronald dela Rosa, Duterte berkukuh bakal menghabisi siapa saja yang terlibat jaringan perdagangan obat terlarang. Lewat penembakan Reynaldo Parojinog, peringatan terhadap para pengedar narkotik terus diumbar. "Akan ada banyak lainnya. Tunggu saja," kata Dela Rosa. "Tak ada lagi yang kebal dan bisa lolos dari perang narkotik."
Mahardika Satria Hadi (phil Star, Npr, Rappler, Gma Network)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo