Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kisruh Politisasi Utang

7 Agustus 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Joko Widodo seharusnya tak risau menghadapi tudingan bahwa pemerintahnya gemar berutang. Meski utang pemerintah memang naik lebih dari Rp 1.000 triliun dalam dua setengah tahun masa kepemimpinannya, rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) masih di bawah 30 persen. Itu jauh di bawah rata-rata negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat.

Rasio utang sekecil itu justru menunjukkan sikap konservatif pemerintah dalam meminjam uang dari pasar. Kehati-hatian semacam itu sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang membatasi defisit anggaran di bawah tiga persen dari PDB. Karena itulah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2017, yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pekan lalu, menetapkan defisit sebesar 2,92 persen.

Berbagai kritik di media sosial yang mengolok-olok besaran utang pemerintah tak perlu ditanggapi Istana secara berlebihan. Semua serangan itu memang didesain untuk menyesatkan opini publik. Menjelang pemilihan presiden 2019, pola komunikasi politik semacam itu bakal makin sering terjadi.

Hal yang perlu lebih diperhatikan pemerintah adalah upaya menjaga kredibilitas APBN. Pasar akan cepat bereaksi negatif jika ada tanda-tanda pemerintah memasang asumsi-asumsi makro yang terlampau ambisius dalam Rancangan APBN 2018. Proyeksi pertumbuhan ekonomi yang tidak realistis, misalnya, akan menggerus kepercayaan pasar terhadap kemampuan pemerintah mengelola keuangan negara secara rasional.

Untuk itu, pemenuhan janji-janji politik Presiden Jokowi tidak boleh menjadi patokan utama dalam perumusan anggaran negara. Soal pertumbuhan ekonomi, misalnya. Kita semua tahu bahwa pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 6-7 persen pada 2019. Memaksakan asumsi makro yang sengaja mendekati target itu sama saja dengan mempertaruhkan kredibilitas pemerintah sendiri. Menilik kondisi ekonomi dunia dan faktor-faktor pendorong pertumbuhan ekonomi, seperti konsumsi domestik, ekspor, investasi, dan belanja pemerintah, mencapai target itu sungguh bukan pekerjaan mudah.

Janji kampanye Presiden Jokowi untuk membangun infrastruktur secara besar-besaran juga perlu dikelola dengan hati-hati. Menteri Keuangan Sri Mulyani harus pandai-pandai menyiasati sumber pembiayaan untuk berbagai proyek infrastruktur itu agar jangan sampai membebani anggaran negara.

Keinginan Presiden mengatasi ketertinggalan akibat pembangunan sarana jalan, rel kereta, pelabuhan, dan bandar udara yang sebelumnya terbengkalai tentu sah-sah saja. Tapi ambisi ini tak boleh mengabaikan pentingnya perencanaan yang detail, perhitungan tentang manfaat riil proyek itu, dan kemampuan pemerintah mengembalikan pinjaman kelak. Sudah terlalu sering kita mendengar bagaimana pemerintah mengutamakan seremoni peletakan batu pertama untuk proyek infrastruktur tanpa menunggu perumusan rencana kerja dan pembiayaan yang menyeluruh. Perubahan desain proyek atau skema pembiayaan yang baru dilakukan belakangan malah membuat ongkos pembangunan membengkak dan penyelesaiannya molor tak keruan.

Jadi persoalannya bukan perihal berutang atau tidak berutang, melainkan tentang tata cara pengelolaan anggaran negara. Jika digunakan secara benar dan direncanakan dengan cermat, utang bisa mempercepat pencapaian target-target pembangunan.

Prinsip ini tak hanya berlaku untuk utang pemerintah, tapi juga buat utang korporasi di badan usaha milik negara. Terlebih kini pemerintah tampaknya amat mengandalkan BUMN untuk mengerjakan berbagai proyek infrastruktur yang belum tentu menguntungkan buat perusahaan itu sendiri. Kita tentu tak mau PT Kereta Api Indonesia dan PT Adhi Karya, misalnya, mengalami kesulitan keuangan karena harus berutang triliunan rupiah untuk pembangunan kereta ringan atau light rail transit Bogor-Jakarta. Demikian juga PT Wijaya Karya, PT Jasa Marga, dan BUMN lain dalam konsorsium pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Mereka kini harus menerbitkan obligasi bernilai triliunan rupiah agar bisa menyetor modal untuk proyek itu.

Di sinilah Menteri Keuangan harus berperan lebih. Sebagai bendahara negara, dia harus tegas mengawal keuangan negara secara transparan dan akuntabel. Dia juga harus berani mengatakan tidak terhadap upaya memanfaatkan anggaran sebagai komoditas politik dan bahan kampanye semata. Perumusan anggaran yang tidak muluk-muluk adalah kunci pengelolaan ekonomi yang sehat. Polemik tentang utang pemerintah bakal mereda sendiri jika publik melihat anggaran disusun dengan kalkulasi yang jernih dan tidak disetir kepentingan politik jangka pendek.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus