Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perang Akbar yang Membuka 2003 Dunia memulai 2003 dengan sebuah perang akbar yang keji. Dari Bagdad di awal Maret, sesungguhnya Ketua Tim Inspeksi Hans Blix sudah menyatakan "tak menemukan senjata kimia" di Irak. Toh, Was-hington menutup mata dan hati. Dengan janji akan menyelenggarakan "perang yang cepat, bersih, dan tepat sasaran", Presiden George W. Bush memerintahkan dilakukannya serangan terbesar abad ini, yang di- namakan para sejarawan sebagai "Perang Vietnam Kedua". Memang Patung Saddam tumbang, Saddam dan keluarganya berantakan entah ke mana, kedua anaknya tewas mengenaskan setelah perang usai; tapi Irak pasca-perang tetap menjadi sebuah tanah jajahan AS yang tak memiliki masa depan. Tahun 2003 juga mencatat bagaimana serangkaian teror semakin masuk ke wilayah publik. Di Rusia, sebuah bom meledak pada pertunjukan musik rock. Di lapangan, anak-anak muda yang tengah berjingkrak-jingkrak—tanpa pretensi apa-apa kecuali untuk musik—tiba-tiba saja harus menjadi bagian dari kekerasan global, atas nama agama. Teror dan bom bom bunuh diri lain terus-menerus meledak di berbagai penjuru dunia: Palestina, Turki, juga Indonesia. Perang Irak, yang telah resmi dinyatakan selesai, seolah sebuah kemenangan semu. Pemerintahan transisi sampai kini belum menunjukkan kemajuan apa pun. Malah, mereka tampak tak berdaya terhadap tingginya perlawanan hit and run "sisa-sisa" gerilyawan Irak. Dunia menyaksikan tentara-tentara muda Amerika itu kehilangan moril, sehingga diperlukan seorang George Bush datang ke Bagdad secara diam-diam pada malam Thanksgiving untuk membagikan kalkun panggang kepada mereka saat santap malam.
Saddam dan Vietnam Kedua? Dari Baghdad, awal Maret, sesungguhnya meluncur berita melegakan. "Kami tak menemukan senjata kimia," kata Hans Blix. Tim inspeksi yang dipimpinnya hanya menemukan Al-Samoud, rudal Irak yang berjangkauan 160 kilometer. Karena daya jangkau itu melewati batas yang telah ditentukan PBB, Blix menginstruksikan supaya menghancurkannya. Pemerintah Irak setuju. Sebanyak 70 rudal mereka hancurkan sendiri. Namun, Washington memejamkan mata. Orang bisa menduga sedari awal bahwa memang Gedung Putih itu menyiapkan sebuah skenario yang tak jantan. Setelah mengembargo, melucuti, sampai musuh "tanpa apa-apa", barulah ia menyikat. George Bush menjanjikan perang yang cepat, bersih, dan tepat sasaran. "Hanya beberapa hari," tuturnya. Tapi, walau dikatakan punya tingkat presisi yang tinggi, rudal-rudal koalisi toh menyasar ke mana-mana. Korban sipil luar biasa. Patung Saddam akhirnya memang roboh. Bagdad jatuh. Dua putra Saddam mati. Bahkan, 13 Desember lalu, pasukan Amerika menangkap Saddam ketika ia sedang meringkuk di sebuah lubang persembunyian yang sempit. Dia tampak terhina di hadapan serdadu dan dokter Amerika. Adakah perlawanan berakhir di sini? Saddam rupanya tidak penting lagi. Perlawanan sporadis muncul. Sedikit demi sedikit nyawa pasukan Amerika berjatuhan. Bukan tidak mungkin jumlah yang tewas kini di pasukan koalisi lebih banyak dibanding ketika perang, yang telah dinyatakan selesai. Adakah koordinasi di antara siluman-siluman itu? Ataukah hanya letupan? Semua masih tanda tanya. Pasukan koalisi sendiri kini melatih "milisi"—warga sipil Bagdad—untuk menghadapi sesamanya. Keputusan ini seolah menggiring Bagdad ke kancah Vietnam kedua. Masa depan Bagdad agaknya sepandir lelucon Abu Nawas. Nasi telah menjadi bubur?
Dari Kereta Penumpang sampai Sinagoga Dulu namanya Konstatinopel. Saat dinasti Utsmaniyah berkuasa, ia berganti nama menjadi Istanbul. Di sanalah katedral besar St. Sophia menjelma jadi masjid tanpa mengubah arsitekturnya. Tapi di sana pula ritual kekerasan bernuansa agama meletup. Bom bunuh diri mengoyak dua sinagoga, rumah ibadah kaum Yahudi, menewaskan 23 orang, akhir November. Seminggu kemudian hal yang sama meremukkan Konsulat Jenderal Inggris dan HSBC, menewaskan 26 orang. Teror bom, sepanjang tahun ini meluas dari wilayah Palestina-Israel. Sebelum di Istanbul, awal November ini, sebuah kompleks perumahan mewah Al-Muhaya di Riyadh, ibu kota Arab Saudi, hancur luluh. Ada 17 warga asing, berbangsa Arab, termasuk wanita dan anak-anak, tewas. Bom bunuh diri ini—dengan menabrakkan mobil berisi bahan peledak—agaknya kelanjutan dari bom Mei silam. Saat itu tiga komples perumahan warga asing, Al-Hamra, Vinell, dan Jedawal di Riyadh meledak, sebelum kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Colin Powell, membunuh 35 orang. Pada Mei itu juga, di Grozni, Rusia, gerilyawan Chechnya meluluh-lantakkan kantor pemerintah pro-Rusia di Grozni. Lebih dari 50 orang sontak menjadi mayat, di antaranya 22 wanita dan anak-anak. Ledakan juga terjadi di sebuah kereta api di dekat Kota Kislovodsk, Rusia selatan. Bisa dibayangkan betapa paniknya penumpang di kereta padat itu. Pada Agustus, giliran rumah sakit militer di Mozdok, Rusia selatan. Pada era otonomi Balkan ini, Rusia menjadi eksotis sekaligus penuh waswas. Seorang mahasiswa asal Asia pernah bercerita tentang asrama mahasiswa asing, tempat dia tinggal, tiba-tiba kemudian bergetar, runtuh, karena bom. Apakah yang ada di benak para pengebom? Imam Samudra mengatakan zaman ini zaman besi. Sehingga perjuangan boleh dengan kekerasan dan darah. Sebuah tafsir yang jelas sangat permukaan.
Darah Terus Tumpah Harapan itu terlalu lekas tenggelam. Kita tahu, sejak intifada kedua meletup tiga tahun lalu, 2.034 orang Palestina dan 737 orang Israel tewas akibat aksi-aksi kekerasan. Darah, air mata, amarah, dan dendam tersimpan dalam tiap-tiap keluarga yang ditinggalkan korban. Tapi, di bulan Desember ini, ketidakberdayaan itu terinterupsi oleh sebuah harapan. April lalu, kuartet Amerika Serikat, PBB, Uni Eropa, dan Rusia memotori usaha mengikis kekerasan dengan resep istimewa: Peta Damai. Dan memang banyak rintangan telah disingkirkan. Berangsur-angsur kekuasaan yang melekat pada Yasser Arafat, sosok yang diyakini Israel sebagai dalang kekerasan kelompok-kelompok militan Palestina, dikurangi. Di bawah tekanan ekstraberat, Arafat kemudian memilih Mahmoud Abbas, sosok Palestina moderat yang diterima Israel dan Barat, sebagai perdana menteri. Namun, rencana tak selamanya berjalan sesuai dengan kenyataan. Mula-mula Mahmoud Abbas yang mundur dari posisinya, digantikan Ahmad Qurei, 6 September. Sementara itu, mantan Menteri Kehakiman Israel, Yossi Beilin, dan mantan Menteri Penerangan Palestina, Yasser Abed Rabo, menggodok Inisiatif Jenewa. Sayang, Peta Damai, hasil perkembangan Inisiatif Jenewa, yang telah disetujui kedua pihak ini seperti menguap begitu saja. Tak lama setelah pengumuman Peta Damai oleh Presiden George Bush, Sharon mengajukan 19 poin perubahan, termasuk urusan perbatasan, pengungsi, permukiman, dan Yerusalem. Namun, poin terpenting yang ditolak adalah "hak kembali"-nya para pengungsi Palestina ke tanah asal mereka. Ada peristiwa yang selalu berulang. Waktu itu, 29 Juni, Palestina dan Israel baru saja menyetujui gencatan senjata. Di Yerusalem, sebuah bom bunuh diri meledak. Dan Israel membalas dengan membabi buta. Serangan, pemberlakuan jam malam, penutupan kota, dan beberapa represi lain diberlakukan, menggantikan gencatan senjata yang batal. Sayang, inisiatif-inisiatif damai itu terlalu cepat layu.
I Did It My Way... Lagu My Way, yang dipopulerkan oleh Frank Sinatra, seperti sumber inspirasi yang tak kunjung kering bagi mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad. Pria yang populer dengan sebutan Dr. M ini berani tampil beda. Ia termasuk tipe negarawan senior ASEAN yang betah bercokol lama di pucuk kekuasaan. Ada Lee Kuan Yew, eks Perdana Menteri Singapura yang kini menjadi menteri senior, ada Sultan Hassanal Bolkiah yang tetap tegak di kerajaannya. Tapi ada pula almarhum Ferdinand Marcos dari Filipina, dan Soeharto dari Indonesia, yang dilengserkan oleh people power di tengah jalan. Mahathir punya gaya memerintah yang berbeda. Karena itu, ia rajin menutup kuping terhadap kritik keras kaum oposisi dan masyarakat internasional. Mahathir yakin, kebijakan-kebijakan yang ditelurkan pemerintah berakibat baik buat bangsanya. Ia punya visi dan mimpi tentang masa depan bangsanya. Ia memberikan hak istimewa bagi masyarakat Melayu. Menyekolahkan putra-putri terbaik Malaysia ke sekolah-sekolah terbaik di Amerika dan Inggris, dan pulang dengan kepandaian baru. Tapi ia juga memenjarakan mantan deputinya, Anwar Ibrahim. Mahathir punya visi teknokrat, juga politikus licin yang hirau kuasa. Namun, yang membuatnya benar-benar berbeda adalah keberaniannya mundur, 31 Oktober lalu. Tentu saja, sebelum dilengserkan massa atau lawan politiknya. Karena itu, kita menyaksikan iringan tangis dan decak kagum ketika ia mengumumkan mundur. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Bali, KTT Organisasi Negara Islam (OKI) di Kuala Lumpur, serta KTT Organisasi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bangkok, akhir Oktober, menjadi ajang perpisahan menyedihkan. Kekaguman, rasa hormat, kecaman telah ia dapatkan. Namun, Mahathir tetap menyenandungkan lagu kesayangannya, I did it my way....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo