Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kaleidoskop 2020: Teror di Prancis dan Kritik Umat Islam Untuk Presiden Macron

Pembunuhan Samuel Paty mendorong diskursus tentang kebebasan berekspresi dan Islam di Prancis maupun di negara lain.

29 Desember 2020 | 17.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ratusan orang mengikuti pawai untuk menghormati Samuel Paty, di jalanan pinggiran kota Paris di Conflans-Sainte-Honorine, Prancis, Selasa, 20 Oktober 2020. Penggunaan karikatur yang pernah diterbitkan oleh majalah satir Charlie Hebdo tersebut diprotes oleh para wali murid beragama Islam, yang akhirnya diperbincangkan di sejumlah komunitas Muslim di Paris, dan berbuntut aksi mengerikan terhadap guru itu. REUTERS/Lucien Libert

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, - Samuel Paty, 47 tahun, seorang guru sejarah di sebuah sekolah menengah pertama di Conflans-Sainte-Honorine, tidak jauh dari ibu kota Paris, meregang nyawa setelah dibunuh oleh pemuda 18 tahun asal Checnya pada Jumat, 16 Oktober 2020. Kematiannya mendorong diskursus tentang kebebasan berekspresi dan Islam di Prancis maupun di negara lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Paty dibunuh tepat di depan sekolah setelah ia selesai mengajar. Pelaku yang bernama Abdoullakh Abouyezidovitch Anzorov diduga menganggap Paty melecehkan Islam karena menunjukkan gambar kartun Nabi Muhammad milik majalah Charlie Hebdo kepada murid-muridnya. Polisi menembak mati Anzorov dan menetapkan kasusnya sebagai tindakan terorisme.

 

Kematian Paty membuat Presiden Prancis Emmanuel Macron berang. Menurut dia, korban dibunuh karena dia seorang guru dan mengajarkan kemerdekaan untuk menyampaikan pendapat. "Seluruh negeri berdiri di belakang guru-guru. Teroris tidak akan memecah belah Prancis," katanya seperti dikutip dari Deutsche Welle.

 

Menurut polisi, sejumlah orang tua siswa telah mengkritik Paty atas cara mengajarnya yang menunjukkan karikatur Nabi Muhammad. Salah satu wali murid meminta dukungan di Facebook agar pihak sekolah memecatnya. Diduga dari unggahan ini Anzorov mengetahui kisah Paty.

Petugas kepolisian berjaga di dekat lokasi terjadinya sebuah serangan yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan pisau di gereja Notre Dame di Nice, Prancis, 29 Oktober 2020. REUTERS/Eric Gaillard

Dua pekan berselang teror kembali terjadi di Prancis. Seorang pria Tunisia bernama Brahim Aouissaoui menyerang Gereja Notre Dame Basilica, Nice, Prancis, pada Kamis, 29 Oktober 2020. Serangan ini menewaskan tiga orang.

 

Polisi berhasil melumpuhkan Aouissaoui dan mencegahnya melakukan aksi yang lebih luas.

 

Kasus pembunuhan Paty tidak berhenti dengan tewasnya Anzorov. Begitu pula dengan tertangkapnya Aouissaoui dalam penyerangan di Nice

 

Kedua peristiwa ini membuat pemerintah Prancis menggencarkan upayanya melawan radikalisme. Pemerintah mendeportasi puluhan imigran dan menutup masjid-masjid yang diduga menyebarkan paham ekstremisme.

 

Masalah menjadi semakin pelik ketika pernyataan Macron soal Islam Radikal saat menanggapi kasus Paty dinilai menghina Islam. Ia mengatakan Samuel Paty adalah korban dari kaum radikal yang kebingungan. Namun sejumlah pihak mengartikan bahwa Macron menyebut Islam sebagai agama yang sedang mengalami krisis.

Massa Aliansi Ormas Muslim Indonesia membawa poster saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Perancis di Jakarta, Rabu 4 November 2020. TEMPO/Subekti

Ucapan ini pun menuai reaksi keras dari berbagai umat Islam di belahan dunia, termasuk Indonesia. Unjuk rasa menuntut Macron minta maaf berlangsung di depan Kedutaan Besar Prancis di Jakarta yang dihadiri ratusan massa. Kampanye boikot produk Prancis disuarakan 

 

Tidak hanya rakyat biasa, seorang kepala negara seperti Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Joko Widodo atau Jokowi ikut mengecam pernyataan Macron.

 

Belakangan Macron menjelaskan maksud pidatonya. Ia mengutarakan betapa dia menghormati umat Islam yang terkejut dengan gambar-gambar kartun Nabi Muhammad, namun begitu tindak kekerasan tetap tak bisa mendapat pengecualian. 

 

"Jadi, saya mengerti dan menghormati bahwa orang-orang terkejut oleh gambar-gambar kartun ini, namun saya tidak akan pernah bisa menerima seseorang membenarkan serangan fisik atas nama kartun-kartun ini. Saya akan selalu membela kebebasan di negara saya yakni kebebasan menulis, berfikir, menggambar,” kata Macron dalam sebuah wawancara, Sabtu, 31 Oktober 2020.   

 

Macron menekankan adalah menjadi perannya untuk menenangkan apa yang terjadi terkait sikap pemerintahannya, namun saat yang sama dia juga harus membela hak-hak tersebut (menulis, berfikir, menggambar).

 

Prancis tidak akan mundur dalam menghadapi tindak kekerasan dan akan mempertahankan hak kebebasan berekspresi, termasuk publikasi kartun-kartun. Namun Macron menekankan, itu bukan berarti dia atau pemerintahannya mendukung kartun-kartun yang dinilai umat Islam menghujat atau jadi menggambarkan Prancis anti-Muslim. 

 

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus