MENLU Uni Soviet Eduard A. Shevardnadze, 59, beserta istri melambaikan tangan di tangga pesawat Aeroflot, Ilyushin-62M, Ahad baru lalu. Selesailah kunjungan muhibahnya empat hari di Indonesia tanpa singgah ke Bali. Kunjungan pertama kali yang dilakukan pejabat tinggi Soviet ke Indonesia dalam 20 tahun terakhir digambarkan Shevardnadze "penuh senyum dan kehangatan". Maklum, di Australia ia disambut serangkaian protes dan telur busuk. Selain itu, kunjungannya ini diharapkan membawa usul baru untuk penyelesaian masalah Kamboja, yang tentu erat kaitannya dengan peran Indonesia sebagai interlocutor ASEAN. Namun, harapan itu sia-sia. "Tak ada usul baru yang diajukan Soviet dalam masalah ini, dan masih ada perbedaan serius," ujar Mochtar dalam konperensi pers setelah mengantar tamunya di Halim, Minggu siang. Hal ini sesuai dengan sikap teguh Soviet yang diucapkan Shevardnadze dalam konperensi pers di Kedubes Soviet, Jakarta sehari sebelumnya. "Kami mengakui pemerintahan yang berdaulat kini, sebab merekalah yang secara realistis berkuasa dan membangun negerinya. Kami pun tak dapat memaksa Vietnam untuk menarik pasukannya dari Kamboja," ucapnya lugas. Meski demikian, Shevardnadze memuji usaha damai Mochtar -- dan negara ASEAN lainnya -- untuk menyelesaikan masalah Kamboja. Dalam pertemuan dengan Presiden Soeharto selama hampir 1 jam, Sabtu pekan lalu, menlu Soviet itu membahas masalah internasional dan kerja sama bilateral. Ia juga menyampaikan undangan untuk berkunjung ke Moskow, serta mengulangi imbauan Kremlin untuk mengurangi jumlah rudal jarak sedang di kawasan Eropa dan menjadikan Asia-Pasifik kawasan bebas nuklir. Menurut Shevardnadze, kekhawatiran akan terjadinya perang nuklir juga berpengaruh bagi kawasan Asia. "Bila program Perang Bintang AS direalisasikan, sejumlah platform bertenaga nuklir akan ditempatkan di atas kawasan ini. Bagaimana perasaan Indonesia?" selidik Shevardnadze dalam ceramahnya di gedung Litbang Deplu 'Caraka Loka', Jakarta Selatan. Namun, perlu diingat bahwa pangkalan militer Soviet sudah lama ada di Teluk Cam Ranh, Vietnam Selatan. Australia, yang merasa terancam, melontarkan kritik dengan mengatakan bahwa Moskow mencoba menanamkan kukunya di kawasan Asia Pasifik, dengan pancingan kerja sama di bidang perikanan. "Ho-ho, itu 'kan pikiran picik kaum feodal yang ingin memecah belah," kata Shevardnadze. "Lho, pancingan ini 'kan sama dengan peristiwa sebelum invasinya ke Afghanistan," kata bekas menlu Australia Andrew Peacock. Ketika ditanya hubungan Soviet-RRC Shevardnadze mengakui ada indikasi untuk menjalin hubungan lebih dekat lagi. Menlu Soviet yang banyak humor itu meminta agar niat baik itu janganlah dicurigai, karena "ini merupakan perkembangan yang positif bagi kedua negara dan kawasan Asia." Dari Indonesia Shevardnadze melanjutkan lawatan ke Vietnam, Laos, dan Kamboja. Dalam komunike bersama yang dikeluarkan sebelum meninggalkan Jakarta, disebutkan bahwa Soviet meneguhkan kembali komitmen terciptanya stabilitas politik di Asia Tenggara yang melibat peran serta negara-negara di luar kawasan, seperti Australia, AS, dan Uni Soviet. Rangkaian kunjungan Menlu Shevardnadze ini, ternyata, tak luput dari pengamatan AS. Asisten Deputi AS untuk kawasan Asia Timur, Stapelton Roy, dalam wawancaranya di Bangkok Senin lalu, mengatakan, Moskow tampaknya tak dapat berbuat banyak dalam penyelesaian masalah Kamboja. Soalnya, "Agar lebih dekat dengan Cina, mereka mau masalah Kamboja terselesaikan, sementara itu mereka pun tak mau kehilangan Vietnam," begitu komentar Roy, Senin lalu. Kalau melihat kenyataan bahwa hingga kini Vietnam -- yang mendukung pemerintahan Phnom Penh dengan 140.000 tentaranya masih mendapat bantuan US$ 2 juta per tahun dari Uni Soviet, sementara pihak gerilyawan Kamboja mendapat dukungan dari Cina, ASEAN, dan sejumlah negara Barat, maka sinyalemen Roy masuk akal juga. D.P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini