NEGERI Seribu Pagoda tampaknya menyimpan bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu, setelah pemilu selesai kini. Meski situasi Phnom Penh berjalan normal, kecemasan tersebar di seluruh penjuru kota. Yakni setelah pemerintahan sementara yang dibentuk oleh Pangeran Norodom Sihanouk dan Hun Sen pekan lalu bubar kembali dalam waktu kurang dari 12 jam kemudian. Soalnya, Sihanouk muncul kembali dengan pernyataan baru: ia mengundurkan diri karena surat balasan dari putranya, Ranariddh, ketua Funcinpec. Pemerintahan yang mengabaikan pemilu dan merupakan koalisi antara Funcinpec, partainya Sihanouk, dan Partai Rakyat Kamboja pimpinan Hun Sen itu ternyata ditolak pihak Funcinpec. Ternyata, dalam kasus itu Sihanouk tak mewakili Funcinpec, tapi lebih sebagai pribadi setidaknya demikianlah anggapan para pemimpin Funcinpec. Pangeran Ranariddh, putra Sihanouk yang kini memimpin partai itu, tak bersedia berkoalisi dengan Hun Sen dengan alasan yang masuk akal. Hasil pemilu menunjukkan Funcinpec bakal menang, dan Hun Sen adalah tokoh yang bertanggung jawab atas tewasnya sejumlah orang Funcinpec. Jadi, kenapa ia harus berkoalisi dengan Hun Sen? Lagi pula, ''Aku tak rela bekerja sama dengan orang-orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan anggota Funcinpec,'' tulis Ranariddh dalam suratnya untuk ayahnya. Ranariddh benar. Koalisi itu, yang menempatkan kedua partai berdiri sederajat, hanya akan menguntungkan Hun Sen. Ia bisa menuntut macam-macam karena kenyataannya aparatnyalah yang kini mengendalikan administrasi dan keamanan Kamboja. Sedangkan dalam koalisi yang didasarkan atas hasil pemilu, posisi partai Hun Sen tak akan sekuat bila koalisi sebelum pemilu. Dalam koalisi tersebut belakangan itu, Hun Sen adalah orang kedua, karena partainya dikalahkan Funcinpec. Tapi mengapa Sihanouk bersedia melakukan koalisi dalam pemerintahan sementara itu? Bisa jadi, Sang Pangeran dengan cara itu menginginkan adanya perdamaian di Kamboja. ''Kata mereka, jika terjadi kevakuman pemerintahan, suasana Kamboja akan gawat,'' tutur Sihanouk. Koalisi di luar pemilu, selain bisa memuaskan Hun Sen, juga membuka peluang buat bergabungnya Khmer Merah yang tidak ikut pemilu. Dalam pernyataan Sihanouk ketika mengumumkan berdirinya pemerintahan sementara itu ia mengatakan, tak adalagi faksi negara Kamboja, Funcinpec, atau faksi yang lain. Yang ada adalah Kamboja sebagai negara kesatuan. Dan pemerintahan sementara yang bakal memerintah Kamboja itu berdiri bebas sama sekali dari campur tangan pihak asing mana pun. Pernyataan ini membuka pintu buat Khmer Merah, yang menuduh pemilu dikendalikan oleh UNTAC. Kini, yang menjadikan rakyat Kamboja cemas, pihak Hun Sen tentu saja merasa tidak puas terhadap hasil pemilu. Ia sudah mencabut saksi penghitungan suara dari Partai Rakyat Kamboja di tiga provinsi. Ia pun sudah resmi meminta pihak UNTAC, pemerintahan transisi PBB di Kamboja, penyelenggara pemilu, melakukan penelitian soal kecurangan-kecurangan penghitungan suara. Bahkan dikabarkan Chea Sim, presiden negara Kamboja yang membentuk Partai Rakyat Kamboja itu, sudah memobilisasi tentaranya untuk melakukan kudeta, begitu ada pengumuman bahwa Funcinpec memenangkan pemilu. Menurut sumber badan intelijen UNTAC, bahkan para pejabat militer Negara Kamboja sudah memerintahkan pasukannya menciduk sejumlah pejabat tinggi Funcinpec dan tokoh-tokoh oposisi terhadap negara Kamboja, di empat provinsi yang hasil penghitungan suaranya ditolak oleh Partai Rakyat Kamboja. Sejauh ini tak ada bantahan apa pun dari pihak Partai Rakyat Kamboja terhadap berita-berita tersebut. Yang ada hanyalah penjelasan juru bicara Partai Rakyat Kamboja, Khieu Kanarith, bahwa gerakan militer dari pihaknya hanyalah untuk melakukan pengamanan pemilu. Untuk sementara, spekulasi di Kamboja kini adalah terjadinya koalisi antara Funcinpec dan Khmer Merah, nanti. Ranariddh, yang kini dipuji-puji oleh UNTAC karena keberaniannya melawan ayahnya untuk menggagalkan beroperasinya pemerintahan koalisi Partai Rakyat dan Funcinpec (baca Sihanouk), konon sering mengatakan bahwa ''pada prinsipnya, pemerintahan baru nanti merupakan rekonsiliasi dengan Khmer Merah.'' Belum jelas, bagaimana bentuk rekonsiliasi itu, mengingat Khmer Merah bukan peserta pemilu. Yang pasti, Funcinpec yang telah meraih 57 kursi akan kesulitan meraih mayoritas dalam Dewan Konstituante yang beranggotakan 120 orang itu. Meski didukung Partai Liberal Demokratik Budha pimpinan Son Sann, dan Partai Moulinaka yang menguasai 11 kursi, mayoritas dua pertiga suara seperti yang disyaratkan atau sebanyak 80 suara belum tercapai. Karena itulah, krisis politik di Kamboja tak akan bisa berhenti apabila ketiga tokoh politik itu tak jera-jeranya berebut kekuasaan. Kelompok Meja Bundar, semacam dewan penasihat bagi Dewan Konstituante yang dibentuk UNTAC dan diketuai Norodom Sihanouk, tampaknya percuma saja. Sebab, bisa dipastikan Partai Rakyat Kamboja sebagai bekas penguasa Kamboja tak akan mau menempati urutan kedua di bawah Funcinpec. Yang juga menjadi masalah, setelah Funcinpec menang dan tak jadi berkoalisi dengan Partai Rakyat Kamboja, bagaimana mengalihkan kesetiaan 200.000 tentara pendukung rezim Hun Sen kepada para perwira Funcinpec. Belum lagi kesulitan mengendali kan pegawai negeri yang kebanyakan pendukung Hun Sen. Bisa jadi, perebutan kekuasaan dapat dihindarkan bila ada seorang tokoh pemersatu yang benar-benar kuat. Sayangnya, Sihanouk, yang selama ini dianggap sebagai pemimpin karismatik rakyat Kamboja, tak sekuat yang diharapkan. Peranannya selama menjadi Ketua Dewan Tertinggi Nasional Kamboja ternyata tak bisa menyatukan keempat faksi. Yang paling senang dengan perkembangan situasi di Kamboja kini mestinya adalah Khmer Merah. Teorinya, koalisi Partai Rakyat dan Funcinpec tentunya mudah menekan Khmer Merah agar berdamai. Tapi koalisi Khmer Merah dan Funcinpec sulit dibayangkan bisa menekan Partai Rakyat Kamboja yang dipimpin oleh Hun Sen dan Chea Sim untuk berdamai. Yang terbayang adalah kudeta, dan kemudian perang saudara marak lagi. Yuli Ismartono (Phnom Penh) dan Didi Prambadi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini