Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Ketika perjalanan itu tak aman

Samakah berhaji di masjidil haram dan berziarah di masjidil aqsa, seperti yang dilakukan oleh jemaah haji libya belum lama ini?

12 Juni 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK selamanya orang bisa memenuhi panggilan Nabi Ibrahim, atau pergi haji, secara mulus. Ada-ada saja halangannya. Dua pekan lalu sekitar 200 orang jemaah haji asal Libya, yang terbang langsung dari Libya, dilarang mendarat di Bandara King Abdul Aziz di Jeddah. Dalam hal ini pemerintah Arab Saudi menerapkan sanksi embargo udara PBB atas Libya, karena Libya menolak menyerahkan dua orang Libya yang dituduh terlibat dalam peledakan pesawat AS dan Perancis pada tahun 1988 dan 1989, yang menewaskan 441 penumpang. Jemaah haji yang urung masuk wilayah Arab Saudi itu lantas menuju Masjidil Aqsa di Yerusalem yang diduduki Israel. Kata pemimpin rombongan jemaah itu, ''Ketika kedudukan Masjidil Haram di Mekah, Mesjid Nabawi di Medinah, dan Masjidil Aqsa sama-sama di bawah kekuasaan asing, menziarahi salah satu di antaranya sama saja maknanya.'' Pergi menziarahi tiga mesjid utama Masjidil Haram di Mekah, Mesjid Nabawi di Medinah, dan Masjidil Aqsa atau Baitul Maqdis di Yerusalem memang sangat dianjurkan. Rasulullah memang menganjurkan agar kaum muslimin memprioritaskan pengerahan kendaraan untuk menziarahi ketiga mesjid tersebut. Sebuah hadis sahih lainnya yang sangat beken bahkan menegaskan keutamaan bersalat di tiga mesjid agung tersebut. Rasulullah mengungkapkan perumpamaan keutamaan itu: ''Salat di Masjidil Haram 100.000 kali salat, salat di mesjidku 1.000 kali salat, dan salat di Baitul Maqdis 500 kali salat.'' Tapi bisakah mengganti berhaji di Masjidil Haram dengan ziarah di Masjidil Aqsa? Bukankah Baitul Maqdis juga pernah menjadi kiblat, bahkan kiblat pertama umat Islam ketika salat? Baru pada tahun kedua Hijriah sebagaimana terekam dalam surat Al-Baqarah ayat 142 Rasulullah diperintahkan Allah agar memindahkan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah, di Mekah. Masalahnya memang tak sekadar kiblat, dan naik haji tak identik dengan hanya mengunjungi kiblat. Ada faktor sejarah yang tak bisa digantikan oleh yang lain. Misalnya, Rasulullah pernah berkata dalam salah sebuah hadis yang sangat terkenal, bahwa tak bisa disebut ibadah haji bila tidak melakukan wukuf di Padang Arafah. ''Alhajju 'arafah,'' kata Rasulullah. Wukuf artinya ''berhenti'', dan dalam berhaji itu bermakna beriktikaf, merenung, berzikir, berdoa, mendekatkan diri kepada Allah. Dari hanya soal wukuf ini saja ziarah ke Masjidil Aqsa jelas tak sama nilainya dengan berhaji. ''Karena di Yerusalem tidak ada Arafahnya, berziarah ke Masjidil Aqsa ya tidak sama dengan haji,'' kata Atho Mudzhar, dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Yang juga mesti dicatat, kewajiban naik haji baru diwahyukan setelah kiblat berpindah ke Masjidil Haram, yakni pada tahun ke-5 Hijriah. Tapi Rasulullah menundanya karena Mekah masih dikuasai kaum Qureish, dan di dalam Ka'bah masih banyak berhala. Ketika Mekah dibebaskan pada tahun ke-8 Hijriah, waktu itu Rasulullah lalu mengerjakan umrah. Rasulullah baru menunaikan ibadah haji pada tahun ke-10 bersama 100.000 jemaah. Pada tahun ke-7 Hijriah, sebelum Mekah dibebaskan, Rasulullah yang bersama 1.500 jemaah bermaksud mengerjakan umrah dihalangi oleh kaum kafir Qureish penguasa Mekah. Saat itulah lahirnya Perjanjian Hudaibiyah yang mencerminkan diplomasi Rasulullah yang membuahkan beberapa posisi politik yang unggul, meski ibadah hajinya gagal. Wajib haji tahun itu gugur karena tak memenuhi syarat manistatho'a ilaihi sabila, sebagaimana disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 97. Sampai di sini, tampaknya harus kembali diingat salah satu syarat utama kewajiban menunaikan ibadah haji itu tadi: Manistatho'a ilaihi sabila, yang berarti jemaah harus sehat jasmani dan rohani, memadai perbekalan dan transportasinya, dan aman perjalanannya. Dari sudut ini, larangan pemerintah Arab Saudi terlepas dari sah-tidaknya larangan itu dari sudut agama terhadap jemaah terbang Libya jelas merupakan kendala atau sesuatu yang membuat perjalanan jemaah haji Libya tidak aman. Dengan kata lain, jemaah haji terbang sebenarnya boleh saja dibatalkan. Ada beberapa contoh. Pada zaman pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan, tahun ke-72 Hijriah (692 Masehi), Abdullah bin Umar juga pernah terhalang menunaikan haji. Ketika itu pasukan khalifah di bawah pimpinan Al-Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi merebut Mekah dari tangan Abdullah bin Zubair. Abdul Malik khawatir pertempuran antara kedua pasukan itu mengganggu ibadahnya. ''Jika saya terhalang, saya akan melakukan yang telah dilakukan oleh Rasulullah ketika orang Qureish menghalanginya,'' katanya. Berita ini direkam dengan baik oleh perawi hadis kondang, Bukhari dan Muslim. Selama beberapa tahun, jemaah haji Iran juga menunda naik haji setelah terjadi ''huru-hara di Mekah'' tahun 1987. Pada tahun itu jemaah haji Iran melakukan demonstrasi yang menyebabkan kerusuhan, dan ratusan jemaah tewas, dan karena itu hubungan diplomatik kedua negara putus. Jemaah haji Indonesia juga pernah beberapa kali menunda menunaikan rukun Islam kelima ini pada awal kemerdekaan, tahun 1947 dan 1948, karena blokade Belanda. Menjelang pecahnya Perang Teluk tahun 1990 lalu Majelis Ulama Indonesia berfatwa, bila perang benar-benar pecah, ibadah haji tahun itu bisa ditunda. Jadi, menunda haji karena perjalanan tak aman itu sah-sah saja. Budiman S. Hartoyo dan Wahyu Muryadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus