Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mullah dari segala zaman

Pekan ini pemilihan presiden di iran. suara-suara kembali mendukung rafsanjani, presiden yang terpilih empat tahun lalu, di masa pasca-khomeini.

12 Juni 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EKONOMI, kata seorang pemimpin Iran tak lama setelah revolusi Islam menang, ''Hanyalah urusan keledai.'' Dalam sebuah negeri yang hendak menyatukan rakyatnya di bawah panji-panji ideologi, slogan tersebut tentulah layak dimengerti. Tapi, sepuluh tahun kemudian, Ayatullah Khomeini, sang pemimpin revolusi, menyebut-nyebut perlunya menggabungkan ''prinsip keagamaan (Islam)'' dan ''tuntutan persaingan ekonomi di zaman modern''. Banyak pengamat mengatakan, kata-kata Ayatullah sebelum ia dipanggil Tuhan itu meratakan jalan buat reformasi ekonomi Hashemi Rafsanjani, yang terpilih menjadi presiden empat tahun lalu. Dan empat tahun kemudian, persisnya Jumat pekan ini, jika Rafsanjani, 58 tahun kini, terpilih kembali menjadi Presiden Iran untuk masa empat tahun lagi, tampaknya itu karena ia bisa ''menggabungkan prinsip keagamaan dan tuntutan persaingan ekonomi''. Lihat saja, Teheran, ibu kota Iran berpenduduk 12 juta jiwa ini, sejak beberapa waktu lalu menikmati langsung pembangunan yang digelindingkan oleh bekas ketua parlemen di zaman Khomeini itu. Gedung-gedung diperbarui catnya, dan taman-taman mulai berwarna karena bunga-bunga yang ditanam. Para pegawai pemerintah pun senang karena gajinya dinaikkan, rata-rata, dua kali lipat, tahun lalu. Yang penting, menurut majalah Middle East nomor awal tahun ini, wiraswasta pun tumbuh. Yayasan dan perusahaan terbatas yang bergerak di bidang perdagangan, yang setelah revolusi menang dibekukan, di zaman Rafsanjani dihidupkan kembali dan boleh bekerja sama dengan modal asing. Hasilnya, toko-toko serba ada yang tutup mulai buka kembali, dan warga Teheran tercengang di depan etalase, melihat kembali barang-barang impor yang hampir mereka lupakan. Tapi tak lalu hampir 60 juta orang Iran menikmati itu semua. Justru sebagian besar hanya mampu melihat tanpa bisa membeli. Suatu hari, seorang bapak hanya berdiri di depan etalase sebuah toko makanan. Di situ dipajang permen cokelat kegemaran anak-anak. ''Bisa saja saya membeli cokelat itu untuk anak saya,'' kata bapak tiga anak ini, yang gajinya tahun lalu naik dari 110.000 rial menjadi 220.000 rial. ''Tapi saya tak akan membelinya. Saya tak ingin anak-anak tahu ada permen cokelat dijual sedangkan bapaknya belum tentu mampu membelinya lagi.'' Di samping gajinya naik, ada kenyataan lain yang ia rasakan: hidup makin hari makin mahal. Mestinya kebijaksanaan itu ditentang oleh kelompok garis keras yang menginginkan Iran berdiri di kaki sendiri. Toh, Ahmad Khomeini, anak almarhum Ayatullah Khomeini, salah seorang pemimpin kelompok garis keras, menganjurkan dukungan terhadap Rafsanjani. Kritik terhadap pemerintah sekarang, katanya, hanya akan menguntungkan musuh-musuh Iran. Simpati dari garis keras itu muncul mungkin karena kepiawaian Rafsanjani ''mempertahankan prinsip keagamaan''. Lihat, awal tahun ini Rafsanjani, konon, mengirimkan ucapan selamat atas menangnya Bill Clinton sebagai Presiden AS. Tapi belakangan, Rafsanjani pun dalam berbagai kesempatan mulai menyerang Amerika lagi. Ia memang tak menyebut-nyebut soal ''musuh'', tapi ''imperialis''. Ia tak mengungkit-ungkit soal prinsip ideologi Islam, tapi soal masih dibekukannya kekayaan Iran oleh AS. Dan dalam wawancaranya dengan majalah Time, dengan jelas ia mengatakan tak melihat perbedaan politik luar negeri zaman Clinton dengan zaman sebelumnya. Ia pun membenarkan bahwa pemerintah Iran mendukung perjuangan gerilyawan Hizbullah di Libanon karena tanah air mereka diduki Israel. Tapi, bila gerilyawan itu melakukan teror, ia akan mengutuknya. Hanya saja, ''Jika Anda punya bukti, beri tahukanlah kepada semua orang,'' katanya. Dengan cerdik pula, Rafsanjani tak menolak bahwa pemerintah Iran mengutuk Salman Rushdie, pengarang novel Ayat-Ayat Setan yang dinilai menghujat Nabi Muhammad itu. Tapi, katanya, Baratlah yang kemudian membesar-besarkan masalahnya. Ia mendukung parlemennya yang menyatakan tak akan mengirimkan pembunuh untuk menghabisi Rushdie. Bila ada yang menyediakan hadiah buat pembunuh, ''Itu bukan pemerintah, tapi sebuah yayasan amal.'' Rafsanjani pun mengatakan, kalau saja Barat tak selalu meributkan soal Salman Rushdie, fatwa Khomeini yang menghukum mati pengarang itu akan dilupakan orang dalam setahun. Apakah itu bukan suatu manuver Rafsanjani untuk mencoba merangkul garis keras sehingga ia bisa terpilih lagi? Yang pasti, ia menolak anggapan bahwa ia ''berwajah dua''. ''Saya yakin, saya ini konsisten sejak awal,'' katanya. Jadi, seandainya ia memang terpilih lagi, itu mungkin karena Hashemi Rafsanjani memang ''mullah dari segala zaman'' yang bisa menggabungkan kepentingan ideologi dan kebutuhan ekonomi. Indrawan (Jakarta) dan Dja'far Bushiri (Kairo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus