HABIBIE merupakan fenomena yang menarik. Sampai akhir tahun 1980-an, dia hanya dikenal sebagai ahli perancang pesawat terbang dan teknologi canggih. Tapi, begitu menjadi Ketua Umum ICMI, Habibie muncul dengan wajah lain: politisi. Tak tanggung- tanggung lagi, dia kini seorang power broker yang harus diperhitungkan dalam kancah politik Indonesia. Menghijaunya MPR merupakan salah satu contoh yang konkret sekali bagaimana besarnya peran Habibie. Wajah Kabinet Pembangunan VI berubah dari teknokratsentris menjadi teknologsentris, serta duduknya sejumlah tokoh ICMI dalam posisi penting di kabinet bagaimanapun karena peran Habibie. Langkah atau manuvernya sering mengejutkan orang dan menimbulkan kritik yang cukup tajam dari orang yang tak menyenanginya. Langkahnya sering terkesan naif, grusa-grusu, dan menjadi headline media massa. Suka ataupun tidak, itulah kenyataan yang ada tentang Habibie. Pekan lalu, Habibie mengadakan pertemuan dengan sejumlah anggota Petisi 50 di PT PAL Surabaya. Lalu sejumlah pertanyaan muncul dari kalangan masyarakat. Mengapa Habibie melakukannya? Kok berani-beraninya dia, apakah sudah mendapat izin dari Presiden? Masyarakat sudah tahu bahwa anggota Petisi 50 boleh dikatakan mengalami karantina politik. Apalagi hubungan kelompok tersebut dengan Presiden boleh dikatakan buruk karena mereka merupakan kelompok yang mengkritik secara terbuka segala kebijaksanaan Pemerintah. Menurut saya, ada dua kemungkinan alasan utama mengapa Habibie membawa kelompok Petisi 50 ke PT PAL. Pertama, kemungkinan untuk melakukan rekonsiliasi politik dengan kelompok keras itu dalam rangka meningkatkan kualitas hak-hak asasi. Kedua, ini adalah aktivitas lobi pribadi Habibie untuk memperkecil front yang dihadapinya, sehingga dukungan atas program-program yang dirancangnya akan meluas. Saya melihat kemungkinan yang kedua ini lebih dominan sebagai motivasi mengapa Habibie mau melakukan langkah tersebut. Bagaimana dengan rekonsiliasi? Habibie merupakan salah seorang menteri yang paling banyak melawat ke luar negeri. Bukan mustahil dalam interaksinya dengan dunia internasional, masalah basic human rights di Indonesia selalu dipertanyakan. Sebagai salah seorang yang paling dekat dengan Presiden, Habibie dapat meyakinkan Presiden bahwa tak ada salahnya Pemerintah membuka jalur komunikasi dengan Petisi 50. Dengan kemampuan untuk meyakinkan orang lain yang luar biasa, Habibie akan menerjemahkan kebijaksanaan Pemerintah kepada Pak Hoegeng Iman Santoso, Ali Sadikin, Anwar Haryono, dan lain-lain. Bukan hal mustahil Habibie akan berhasil, dengan demikian rekonsiliasi politik dengan kelompok keras ini terwujud sekalipun tak langsung dengan Presiden sendiri. Kemungkinan alasan yang kedua adalah dalam rangka lobi untuk mempersempit front. Kalau dilihat peta politik sekarang, akan terlihat jelas bahwa mereka yang selama ini sangat menentukan dalam proses politik dan pengambilan kebijaksanaan ekonomi sudah merupakan outsider. Juga dengan para politisi mantan Grup Diskusi UI serta Forum Demokrasi merupakan para pengritik yang keras. Mereka ini punya hubungan erat dengan kalangan dunia bisnis domestik, serta koneksi internasional yang luas. Mereka akan dengan mudah membentuk opini publik yang berkaitan dengan kebijaksanaan Pemerintah. Kebijaksanaan Pemerintah, terutama dalam bidang ekonomi dan moneter, selalu mendapat sorotan tajam dari kalangan ini karena memang mereka juga ahlinya. Dan yang lebih khusus adalah segala langkah Habibie selalu merupakan bahan diskusi menarik terutama di kalangan ekonom. Mereka memiliki visi yang sangat berbeda dengan Habibie dan para pendukungnya. Bagi mereka langkah ekonomi Habibie merupakan pemborosan. Mereka juga sangat khawatir adanya partnership yang kuat antara Habibie dan kalangan Islam. Habibie menyadari betul betapa lebar front yang dihadapinya, dan bukan mustahil, hal itu akan menambah beban pekerjaan rumah pihak Pemerintah. Apalagi dengan meningkatnya semangat demokrasi akhir-akhir ini. Maka, pendekatan terhadap kelompok Petisi 50 akan memperkecil front. Mengapa di PT PAL? Pilihan tempat yang sangat tepat, karena Habibie boleh dikatakan pelaku tunggal setelah mendapat izin Presiden dalam membeli 39 kapal eks Jerman Timur yang banyak mendapat sorotan tajam baik dari dalam dan luar negeri. Dengan demikian, Habibie mempunyai tugas yang sangat besar untuk meyakinkan banyak pihak termasuk Petisi 50 tentang pembelian kapal, dan kebijaksanaannya secara keseluruhan. Harap diperhatikan bahwa langkah lobi yang ditempuh Habibie tak terbatas pada kelompok ini. Tokoh vokal dari F-PDI di DPR, Markus Wauran, dikirimnya ke Amerika. Sejumlah mahasiswa ITB yang terlibat dalam demonstrasi anti-Rudini tak luput dari perhatiannya. Bahkan, menurut sejumlah sumber, Habibie membuka komunikasi dengan Jenderal Sumitro, bekas Pangkopkamtib, yang sejak peristiwa Malari juga dikenal sebagai outsider. Apakah ini salah? Semuanya sah saja. Di Indonesia, pendekatan pribadi sering lebih efisien dan efektif dalam menyelesaikan masalah. Lobi dan rekonsiliasi merupakan asam garamnya politik modern. Pertanyaannya adalah mengapa Habibie berani menjalin kontak dengan para outsider dan pengritik ini. Kalau dikaji struktur kekuasaan dalam pemerintahan Orde Baru, apa yang dilakukan Habibie sudah semestinya disetujui Presiden. Tak mungkin Habibie melangkah sendiri, apalagi dengan sejumlah langkah yang oleh kalangan tertentu dianggap sangat kontroversial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini