Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Riel di tengah ancaman

Potensi ekonomi kamboja tampaknya ada, tapi tetap memerlukan uluran dari luar. untuk sementara, pihak pbb akan membantunya

12 Juni 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERANG atau tak perang, sebuah negara mesti menggerakkan roda perekonomiannya. Tak terkecuali Kamboja. Di tengah-tengah perang saudara dan konflik politik yang berkepanjangan, ternyata Kamboja masih mampu menikmati pertumbuhan pendapatan nasional sebesar 8% tahun 1991. Malah Michael Ward, ekonom Bank Dunia yang diperbantukan di UNTAC, Pemerintahan Transisi PBB di Kamboja, optimistis angka itu bakal naik menjadi 10% tahun 1993 ini, karena ''masuknya investasi dari negara tetangga''. Sejak tahun 1989, Kamboja menjalankan ekonomi pasar bebas, dan investor asing mulai masuk. Mereka diberi peluang menjalin kerja sama dengan pihak swasta dan pihak pemerintah, dan boleh masuk dengan modal penuh 100%. Para investor juga diizinkan membawa semua keuntungan ke luar Kamboja setelah membayar pajak 15%. Ada juga jaminan bahwa di masa depan usaha mereka itu tidak akan dinasionalisasi. Phnom Penh sudah menyusun daftar prioritas investasi: sektor pariwisata, industri ringan, dan perbaikan pengilangan minyak yang hancur dibom Amerika tahun 1975. Tak hanya investor asing yang dirangsang, juga industri dalam negeri. Misalnya, pemerintah mulai mengizinkan perusahaan negara memiliki 30% keuntungannya. Langkah ini rupanya mendorong pengembangan usaha. Pabrik tekstil Yos Tith di Phonm Penh berhasil menghimpun pemasukan 10 miliar riel. Sebagian uang itu digunakan untuk mengimpor suku cadang mesin tekstil, sebagian lagi dibagikan ke karyawan sebagai bonus. Rupanya, usaha-usaha rekonsiliasi politik yang dipelopori oleh Dewan Keamanan PBB, lewat perjanjian Paris, membuat investor asing maupun lokal merasa aman menanamkan modalnya di Kamboja, meski perdamaian belum 100% terjamin. Lihatlah Kim Chean, pengusaha yang sempat lari ke Perancis pada zaman Pol Pot, ketika Kamboja dijadikan ladang pembantaian. Dengan jaminan relasi bisnis di Hong Kong dan Taiwan, ia berhasil mendapat pinjaman lunak 50 tahun sebesar US$ 35 juta. Pinjaman itu ia gunakan untuk membangun kembali Pasar O'Roussey dan Olympic di Phnom Penh. Ia yakin usahanya akan bisa bertahan lama, dan ia mampu mencicil utang lewat penyewaan kios-kios di kedua pasar itu. Pengusaha seperti Kim Chean masih banyak. Tercatat, 40-an perusahaan lain milik orang Kamboja yang punya jaringan sampai ke Singapura, Hong Kong, Taiwan, dan Thailand. Selain itu, tahun 1991 dan 1992 ditandai dengan datangnya turis. Tahun yang relatif aman itu memang memasukkan devisa cukup besar. Tapi memang harapan utama pada para investor, untuk mengisi kekosongan arus modal dan barang akibat berhentinya bantuan Uni Soviet. Pada masa pendudukan Vietnam, Kamboja praktis bergantung pada bantuan Uni Soviet. Sampai tahun 1988 Uni Soviet memberi bantuan ke Kamboja senilai sekitar US$ 130 juta setiap tahun, yang antara lain berupa 135.000 ton minyak untuk pembangkit tenaga listrik, semen, pupuk, dan besi baja. Dan sekitar 80% dari ekspor Kamboja seluruhnya, antara lain komoditi kayu gelondongan dan produk pertanian lainnya, disalurkan ke negara-negara blok Uni Soviet. Maka, ketika Uni Soviet menghentikan bantuannya dan Vietnam menarik pulang tentaranya, pengaruhnya terutama terasa di sektor industri. Pembangkit tenaga listrik tak mampu lagi beroperasi karena kekurangan minyak. Rentetannya, industri juga tak bisa beroperasi penuh. Lebih buruk lagi, sektor industri kesulitan suku cadang karena menggunakan mesin-mesin Uni Soviet. Sampai tahun 1989 lalu, 69 pabrik, dari 79 pabrik industri ringan, hanya beroperasi 50% dari total kapasitas. Untunglah, ketika itu sektor swasta kecil-kecil berkembang. Akhir tahun 1989 diperkirakan 12.300 pengusaha swasta bergerak dalam bidang perdagangan maupun jasa. Mereka inilah yang dengan cepat melirik ke Thailand dan Vietnam untuk melakukan perda gangan kayu dan karet secara gelap. Faktor lain yang tetap mendukung perekonomian Kamboja adalah kehadiran UNTAC. Pada tahun 1992, pengeluaran UNTAC di Kamboja mencapai US$ 200 juta atau sekitar 10% dari pendapatan nasional Kamboja. Masih ada lagi tambahan pemasukan sekitar US$ 2 juta dari penggunaan staf lokal Kamboja dan sekitar US$ 5 juta lainnya dari pengeluaran staf UNTAC untuk pelayanan pribadi, seperti penjaga rumah, pelayan, sopir, dan tukang kebun. Yang menarik, sebagai pelaksana pemerintahan transisi, UNTAC cepat mengantisipasi suasana. Menjelang pemilu, mungkin karena rakyat takut tejadi kerusuhan, banyak yang lalu memborong beras. Boleh dikata beras lenyap dari pasar, dan kalau ada harganya mencapai 2.000 riel (tahun 1992 masih 450 riel) per kg. UNTAC segera membeli beras dari Vietnam, kemudian mengedropnya ke warung-warung, dengan perjanjian agar dijual tak lebih dari 450 riel per kg-nya. Usaha inilah yang meredam keresahan sosial yang hampir meledak menjelang pemilu. Tapi itu semua masih tergolong perekonomian jangka pendek. Dalam analisa UNTAC, jika pemerintahan tetap Kamboja hasil pemilihan umum dua pekan lalu bisa terbentuk, ada dua masalah yang harus segera ditangani. Soal pertama adalah stabilitas ekonomi lewat rehabilitasi pendapatan pemerintah. Penerimaan negara menurun drastis karena tidak ada sistem perpajakan yang efektif. Apalagi saat menjelang pemilu pemerintah boleh dikatakan bangkrut karena pemasukan dari tarif pelabuhan, bandara, dan cukai-cukai lain merosot, padahal pemasukan dari sektor ini mencakup 75% dari pemasukan negara. Saat ini pemasukan pemerintah hanya mampu memenuhi 55% anggaran dalam negeri saja. Tanpa pemasukan yang memadai, pemerintah tentu tak mampu mengendalikan tingkat inflasi yang mencapai 300%. Nilai tukar mata uang riel Kamboja juga merosot terus: tahun 1991 satu dolar Amerika setara dengan 790 riel, pekan lalu satu dolar sudah mencapai 4.200 riel. Dan pemerintah juga tak bisa membayar gaji sekitar 1,7 juta pegawainya tepat waktu. Banyak pegawai yang baru awal bulan ini menerima gaji untuk bulan April atau Mei. Adapun besar gaji pegawai negeri di Kamboja antara US$ 7 dan US$ 20 per bulan. Sedangkan kebutuhan bulanan satu keluarga kecil minimal US$ 18 per bulan. Masalah kedua adalah meningkatkan infrastruktur guna merangsang pertumbuhan ekonomi. Lembaga Asia Timur dari Universitas Kolombia memperhitungkan, 70% sarana fisik berupa jembatan, jalan raya, maupun kendaraan bermotor hancur. Masih ada lagi kehilangan yang perlu dibuatkan gantinya. Pada zaman Pol Pot tercatat 4.200 sekolah dasar, 100 sekolah menengah, serta 65 sekolah tinggi yang ditutup. Pol Pot juga melenyapkan sekitar 20.000 guru sekolah maupun pengajar universitas, dan 400.000 pelajar. Jelas, yang dibutuhkan Kamboja untuk memecahkan masalah itu adalah bantuan luar negeri. Kini UNTAC sedang mengusahakan bantuan sekitar US$ 5 juta per bulan untuk menutupi kekurangan dana pemerintah Phnom Penh. ''Tapi ini sulit karena banyak negara donor yang tidak setuju, karena nanti PBB harus berbuat hal yang sama juga di Mozambique atau Haiti,'' kata Ward, ekonom dari Bank Dunia itu. Memang pernah ada tawaran dari Bank Dunia pada Kamboja, dana sebesar US$ 75 juta. Tapi karena konflik masih melingkupi Kamboja, dana itu tak jadi sampai. Sedangkan bantuan bilateral baru muncul dari Jepang. Pekan ini Jepang berjanji akan memberikan dana US$ 23 juta untuk pembangunan pembangkit tenaga listrik di Phnom Penh, dan jembatan Chroy Chamgwar di wilayah timur laut Kamboja. Tanpa uluran tangan dari luar, pembangunan jangka panjang di Kamboja belum bisa dijamin. Memang, Negeri Seribu Pagoda ini membuktikan, perang dua puluh tahun tak melumpuhkan rakyatnya. Tapi tentunya mereka pun belajar dari zaman terburuk, yakni masa berkuasanya Khmer Merah (1975-1979). Keinginan merealisasi masyarakat tanpa kelas, dan perekono mian yang menolak semua bentuk bantuan dari luar Kamboja, justru menyengsarakan rakyat. Ketika itu kelaparan dan penyakit memangsa ratusan ribu jiwa. Hal yang dalam mimpi pun, kalau bisa, ditolak oleh rakyat Kamboja. Liston P. Siregar (Jakarta) dan YI (Phnom Penh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus