Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekan ini menancapkan babak baru dalam perjalanan Singapura: negeri itu genap 50 tahun pada 9 Agustus, yang dirayakan besar-besaran. Untuk pertama kalinya Singapura memperingati hari kemerdekaan tanpa Lee Kuan Yew. Tapi jejak pendiri republik itu kuat tertancap di sekujur wajah Singapura, yang kini dipimpin anak sulung mendiang Lee senior: Perdana Menteri Lee Hsien Loong, 63 tahun.
Sempat populer dengan sebutan BG (Brigadir General) Lee, dia kini masuk sebagai pemimpin generasi ketiga. Di tangannya, Singapura mencatatkan diri sebagai negara dengan kualitas pendidikan nomor wahid—di bidang sains dan matematika—dan terus bertahan sebagai salah satu negeri paling makmur sejagat, dengan pendapatan per kapita di atas US$ 55 ribu atau sekitar Rp 715 juta.
Dari segi ukuran dan jumlah penduduk, Singapura adalah anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) terkecil. Dan negeri itu praktis tanpa topangan sumber alam. Industri jasalah yang menjadi tulang punggung ekonominya: dari jasa keuangan, pendidikan, rumah sakit, hingga wisata. Bahkan kini servis kasino Singapura berhasil menyedot penjudi dari sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Keengganan generasi mudanya beranak-pinak dan angka kelompok tua yang terus menanjak melahirkan tantangan serius. "Jumlah perkawinan dan kelahiran sedikit meningkat, tapi belum sejauh yang diharapkan. Jadi masih banyak yang perlu kami lakukan," ujar Lee.
Dia melukiskan hubungan Singapura-Indonesia "sangat rapat". Toh, di sana-sini ganjalan klasik ini kerap mewarnai dinamika hubungan kedua tetangga: dari tudingan Singapura menjadi "safe haven" para koruptor kakap asal Indonesia hingga "sikap tertutup Singapura dalam hubungan dagang". Kata Lee kepada Tempo, "Saya tidak paham, kok, bisa-bisanya kami disebut tertutup, sementara ekonomi kami adalah yang paling terbuka."
Lee Hsien Loong menerima wartawan Tempo Hermien Y. Kleden dan sejumlah editor asal ASEAN pada Juni lalu untuk suatu wawancara khusus. Pertemuan terbatas ini berlangsung di Istana—tempat perdana menteri dan presiden berkantor—di kawasan Orchard Road.
Bagaimana Anda mendefinisikan demokrasi ala Singapura? Dan setelah usia 50 tahun, demokrasi ini telah mencapai tahap apa?
Saya tidak tahu apakah Anda menyebutnya "demokrasi ala Singapura", tapi kami punya sistem demokrasi dan ini berjalan baik bagi kami. Ada pemilihan umum setiap lima tahun, ada parlemen dan presiden yang dipilih. Hemat saya, sistem ini telah menciptakan pemerintahan stabil, kompeten, dan terus berevolusi seturut perubahan masyarakat. Ini model demokrasi efektif untuk kami.
Untuk pertama kali, Singapura merayakan ulang tahunnya—Perayaan Emas—tanpa Bapak Pendiri Lee Kuan Yew. Komentar Anda?
Pak Lee (Senior) pensiun sebagai perdana menteri pada 1990 dan berhenti total dari kabinet empat tahun lalu. Saya sendiri pemimpin dari generasi ketiga. Lee Kuan Yew telah menyiapkan Singapura untuk mandiri tanpa dia. Dan kami jalan terus.
Bagaimana Anda melihat hubungan ekonomi Singapura-Indonesia sejauh ini?
Kita mempunyai hubungan erat sekali secara ekonomi, politik, dan kerja sama pertahanan. Kerja sama perdagangan amat substansial, juga investasi. Kami salah satu investor terbesar di Indonesia. Presiden Joko Widodo menyatakan akan lebih meningkatkan hubungan ekonomi kedua negara. Ini menggembirakan. Tapi, hemat saya, ada isu yang harus dibicarakan terkait dengan kerja sama ekonomi.
Misalnya?
Renegosiasi kesepakatan jaminan investasi. Ihwal ini sepenuhnya ada dalam kedaulatan negara masing-masing. Tapi, tatkala investor masuk ke satu negara, yang mereka cari adalah kepastian hukum dan keyakinan bahwa kerangka kebijakan ini diberlakukan di negara tersebut.
Jadi kita perlu investment guarantee agreement (IGA) atau kesepakatan jaminan investasi yang lebih baik?
Semakin baik IGA, semakin kuat alasan bagi investor untuk masuk. Saya kira para investor akan melihat faktor ini tatkala memutuskan berinvestasi di Indonesia atau tidak, tatkala menetapkan di mana mereka akan berfokus. Kedua belah pihak harus menciptakan kondisi ini bersama-sama.
Ada sejumlah kritik tentang Singapura, yang disebut cenderung tertutup dalam perdagangan dengan Indonesia. Komentar Anda?
Saya tidak mengerti, kok, bisa-bisanya kami disebut tertutup? Kami menerapkan ekonomi yang amat terbuka. Tarif kami rendah dan kami hampir tidak punya kendala nontarif. Manakala kami menjalin kerja sama dengan negara-negara lain, mereka punya aturan berbeda, maka perlu waktu untuk saling menyesuaikan diri.
Mengapa Singapura menolak Timor Leste bergabung dengan ASEAN?
Kami tidak menolak Timor Leste. Ada satu kelompok kerja yang disebut Forum ASEAN, yang mengkaji alasan Timor Leste bergabung dengan ASEAN. Kita perlu membahas berbagai implikasinya sebelum membuat keputusan. Kelompok kerja ini akan menelisik sisi-sisi ekonomi, politik, keamanan, dan budaya. Perlu diingat bahwa selalu ada trade-off antara perluasan jaringan dan kerja sama.
Jadi memiliki anggota baru bukan isu remeh-temeh?
Ini bukan soal sederhana. Kita perlu mempelajarinya dengan saksama sebelum mengambil keputusan. Tapi, dalam hal membantu Timor Leste agar segera siap, saya pikir ASEAN sudah berbuat banyak. Di antaranya mendorong pengembangan berbagai potensi mereka.
Laporan sejumlah media mencecar ASEAN, karena ketidakmampuan menemukan solusi bagi pengungsi Rohingya, sebagai organisasi "tak bergigi". Komentar Anda?
Banyak masalah di dunia dan mustahil ASEAN memecahkan semuanya. ASEAN kan tak mungkin berkata, "Kamu buat itu, hentikan yang ini." Rohingya adalah persoalan amat kompleks. Kita dapat mendorong, mendiskusikan, dan membantu, tapi negara terkait harus menyelesaikan soalnya lebih dulu.
Bagaimana mempertahankan basis popularitas di partai Anda, People's Action Party?
Saya kira ini bukan rahasia. Anda harus membangun kebijakan yang menarik minat rakyat, menunjukkan bahwa kita berasal dari mereka, bekerja sama dengan mereka, sekaligus bekerja untuk mereka.
Apa sikap Anda terhadap isu ini: buruh migran merebut lapangan kerja dari warga Singapura?
Dari sudut pandang ekonomi, kami butuh buruh migran. Ekonomi kami melahirkan banyak lapangan kerja, di bidang konstruksi, manufaktur, industri kelautan, dan industri jasa. Tak cukup banyak orang Singapura untuk mengisi lowongan ini, maka kami butuh sejumlah besar pekerja asing.
Apakah Anda cukup bersahabat dengan media sosial?
Arti penting media sosial terus meningkat. Kini makin banyak orang mencari informasi dari telepon seluler. Pesan yang mereka kirim pun selalu lewat Facebook, Instagram, Twitter, atau Snapchat. Mereka tidak membuka BBC, justru berharap berita BBC muncul di laman Facebook mereka. Maka saya pun ikut nimbrunglah ke sana. Memang jenis media ini tak bisa memenuhi semua kebutuhan saya. Kadang saya harus membuat pidato, dan teks pidato satu jam tak mungkin dinaikkan ke Facebook. Saya memanfaatkan juga sisi informal media sosial. Misalnya memberi selamat atlet kami yang meraih medali emas.
Siapkah Singapura pada perkawinan sesama jenis?
Saya kira tidak. Setiap negara punya tren tersendiri, tidak bisa dipukul rata untuk semua negara. Di Eropa, beberapa negara telah mempraktekkannya, seperti Inggris dan Prancis, kendati mendapat perlawanan cukup sengit. Rusia cukup konservatif. Bahkan, di Amerika, ada penolakan amat kuat dari kelompok konservatif. Di Singapura, banyak pandangan tentang hal ini. Masyarakat berubah, tapi dengan perlahan. Ada ruang untuk komunitas gay di Singapura, tapi kami tak boleh terlalu kencang membahas agenda ini.
Kenapa?
Jika kami maju terlalu jauh, pukulan balik juga akan amat keras. Ini bukan jenis isu di mana pihak berseberangan dapat berdiskusi dan menemukan konsensus dengan mudah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo