Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Momen

10 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAYSIA
Beda Kesimpulan tentang MH 370

Penyelidikan terhadap nasib pesawat Malaysia Airlines nomor penerbangan MH 370 kembali meletupkan kebingungan dan rasa frustrasi. Hal ini terjadi setelah pada Kamis pekan lalu muncul pernyataan yang berbeda-beda di antara para pejabat mengenai hasil identifikasi puing yang ditemukan di sebuah pulau di Samudra Hindia itu.

Pengumuman Perdana Menteri Malaysia Najib Razak menjelang fajar bahwa bagian itu—dikenal sebagai flaperon—memang berasal dari MH 370 bertentangan dengan keterangan dari para pejabat dari Prancis, Amerika Serikat, dan Australia. Mereka tidak menunjukkan keyakinan yang sama dengan Najib.

Pernyataan yang bertabrakan itu menimbulkan pertanyaan mengapa Malaysia begitu tergesa-gesa dan tega memancing perasaan gusar dari keluarga korban. Puluhan orang dari keluarga korban, yang lebih dari 500 hari menunggu kepastian, berdemonstrasi di luar kantor Malaysia Airlines di Beijing. "Prancis terlihat berhati-hati, tapi Malaysia seperti putus asa ingin mengakhiri kasus ini dan lari dari tanggung jawab," kata seorang peserta aksi protes, seperti dikutip The New York Times.

Nasib pesawat Boeing 777 itu hingga kini memang masih menjadi misteri. Hilang dari radar ketika sedang menempuh penerbangan dari Kuala Lumpur menuju Beijing pada 8 Maret 2014, pesawat ini belum juga ditemukan. Kecuali yakin pesawat ini jatuh di Samudra Hindia dan menewaskan 239 orang, pihak berwenang tak bisa memastikan apa penyebabnya. Harapan terbit kembali setelah dua pekan lalu ditemukan puing di Pulau Reunion, wilayah Prancis di Samudra Hindia.

MALAYSIA
Perintah Tahan Editor Sarawak Report

Malaysia dituduh berupaya membungkam media setelah mengeluarkan perintah penahanan terhadap Clare Rewcastle-Brown, pemimpin redaksi Sarawak Report. Menurut polisi, Rewcastle-Brown terlibat dalam "kegiatan yang mengancam demokrasi parlementer" dan menyebarkan laporan palsu.

Terhadap surat perintah yang dikeluarkan pada Rabu pekan lalu itu, Rewcastle-Brown menyebutnya sebagai upaya "membungkam kebebasan pers". Dari markasnya di London, Inggris, Sarawak Report merupakan media pertama yang menerbitkan serangkaian laporan mengenai tuduhan korupsi yang dikaitkan dengan Perdana Menteri Najib Razak.

Kepada Channel News Asia, Rewcastle-Brown mengungkapkan bahwa sejumlah koran telah diberangus dan beberapa wartawannya ditahan. "Mereka berusaha menahan saya karena tindakan melawan demokrasi, yang ironis mengingat justru pemerintah Malaysia yang sudah bertindak melawan demokrasi dengan membungkam kebebasan pers," ujarnya seraya menambahkan dia tak yakin Malaysia bisa mengekstradisi dirinya.

Di dalam negeri, ketidakpercayaan kepada Najib belakangan kiat kuat, apalagi setelah mantan perdana menteri Mahathir Mohamad ikut mengkritik dan mendesaknya agar mengundurkan diri. Tapi satuan tugas antikorupsi Malaysia pekan lalu menyatakan Najib tak melakukan kesalahan apa pun. Menurut satuan tugas ini, uang ratusan juta dolar yang ada di rekening pribadi Najib bukan berasal dari 1MDB, perusahaan negara yang kini sedang terseok-seok menanggung utang raksasa, melainkan merupakan sumbangan. Tak disebutkan sumbangan untuk apa dan dari siapa.

KOREA SELATAN
Mantan Ibu Negara Kunjungi Korea Utara

Janda mantan Presiden Korea Selatan Kim Dae-jung berkunjung ke Korea Utara untuk meredakan ketegangan di Semenanjung Korea. Menurut laporan BBC, tak jelas apakah dalam kunjungan itu Lee Hee-ho, yang kini berusia 93 tahun, bisa bertemu dengan para pejabat Korea Utara, termasuk pemimpin tertinggi negara tersebut, Kim Jong-un.

"Lee menyuarakan harapan kedua Korea bisa menyembuhkan sakit dan luka akibat 70 tahun terbelah serta mempromosikan rekonsiliasi dan kerja sama," kata Kim Sung-jae dari Kim Dae-jung Peace Centre, yang mengorganisasi perjalanan tak resmi itu, seperti dikutip kantor berita Yonhap. "Dia menyatakan harapan bahwa kunjungan ini bisa membuka jalan bagi dialog terus-menerus, pertukaran, dan kerja sama di antara kedua Korea."

Ketika masih menjabat, pada 2000 Dae-jung menginisiasi pembicaraan tentang rekonsiliasi di antara kedua Korea. Untuk upayanya ini, dia kemudian memperoleh Penghargaan Nobel di bidang perdamaian. Sejauh ini secara teknis Korea Selatan dan Korea Utara masih dalam status perang.

Status itu, juga bagaimana keras kepalanya Korea Utara untuk membangun persenjataan nuklir, membuat banyak pihak ragu bahwa kedua negara bakal rujuk dalam waktu dekat. Kunjungan Nyonya Dae-jung, menurut wartawan BBC Stephen Evans, pun tak bakal seketika mengubah kenyataan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus