DI tengah alun-alun Kota Kompong Cham, ribuan orang menunggu kehadiran Perdana Menteri Hun Sen sejak subuh. Di antara mereka, anak-anak sekolah berseragam dan pegawai negeri, lalu para petani dan nelayan. Sebagai partai rezim yang berkuasa, Pracheachon Kampuchea (Partai Rakyat Kamboja) memang mudah mendapatkan fasilitas, prasarana, dan tenaga. Partai yang mirip dengan Golkar di Indonesia ini mempunyai 2,7 juta anggota. ''Memang saya disuruh datang oleh kepala kampung, tapi saya sendiri ingin mendengarkan Hun Sen bicara,'' kata Bun, seorang petani. Konon, perintah dari atasan kepada pejabat Pracheachon Kampuchea untuk memobilisasi rakyat sudah lama diturunkan. Maka, mudah saja bagi mereka mendirikan panggung kampanye, memasang spanduk dan poster. Juga unsur hiburan dalam kampanye tak dilupakan: sebuah band memainkan lagu-lagu pop. Hun Sen disambut dengan tepuk tangan. Tokoh yang cuma selesai sekolah dasar dan berpangkat sersan dalam pasukan Khmer Merah ini kini menjadi salah satu orang terkuat di dunia politik Kamboja. Berpakaian setelan safari, ia tampak berpenampilan santai di tengah suasana yang tegang. Di sekeliling panggung kampanye tampak orang-orang bersenjata menjaga keamanan. Hun Sen berpidato lebih dari dua jam. Tema kampanyenya tentang bahaya kembalinya Khmer Merah jika Pracheachon Kampuchea tak mendapat kemenangan dalam pemilu Mei nanti. ''Kami menyelamatkan Anda dari penderitaan di bawah kekuasaan Khmer Merah. Kini Anda sudah menikmati kehidupan yang lumayan,'' begitu antara lain Hun Sen berpidato. ''Di bawah Khmer Merah, orang tak mungkin bisa memiliki sepeda motor, radio, apalagi bepergian ke luar negeri. Jadi, inginkah kalian kembali ke kehidupan yang serba dipaksa dan tak bebas?'' Tepuk tangan pun gemuruh, diselingi teriakan-teriakan ''Chaiyo (hidup) Pracheachon Kampuchea!'' Pada akhir pidatonya suara Hun Sen berubah serak dan karena itu ia menolak diwawancarai. Partai Funcinpec, partai pendukung Pangeran Norodom Sihanouk, dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, berusaha pula tampil. ''Kami tidak kaya dan tidak berkuasa, tapi kami amat populer,'' kata Ranaridh, putra Sihanouk, ketua Funcinpec, partai yang kabarnya punya sekitar 400.000 pengikut. ''Yang penting kami menjanjikan damai, yang kelak akan membawa kemakmuran. Sebab, kamilah partai yang bisa bekerja sama dengan semua kelompok.'' Funcinpec mempunyai rencana khusus dalam kampanye ini, yakni menyebarkan pamflet dengan dua pesawat kecil Cessna milik Ranaridh. Pamflet itu akan berisi penjelasan posisi Funcinpec. ''Strategi kampanye kami adalah mengajar rakyat cara mencoblos kartu suara, agar mereka tahu persis lambang mana yang harus dipilih,'' kata Veng Sereyvuth, aktivis Funcinpec. Lebih tak gemuruh lagi adalah kampanye partai yang dipimpin oleh Son Sann. Partai ini merasa cukup dengan memasang poster dan mengirimkan sejumlah truk yang ditempeli gambar para calon partai ini keliling kota dan desa. Di pihak lain berlangsung pula kampanye jenis lain. Kelompok Khmer Merah yang tak ikut dalam pemilu melakukan gerakan yang bisa disebut antikampanye. Di mana-mana para wakil Khmer Merah mengingatkan penduduk bahwa pemilu nanti tidak sah, dan karena itu mereka tak akan mengakui hasilnya. ''Kami tak setuju dengan proses pemilu sekarang, karena tak sesuai dengan Perjanjian Paris. Kami akan berbuat segalanya agar proses yang seharusnya terjadi bisa diwujudkan,'' kata juru bicara Khmer Merah pada hari pertama kampanye. Para diplomat asing dan pengamat di Kamboja menafsirkan ''kampanye'' Khmer Merah itu sebagai isyarat, mereka akan me- neror siapa pun yang mendukung pemilu. Dan Khmer Merah bukan hanya berpidato. Di desa-desa petani didatangi dan diancam supaya tidak ikut dalam pemilu. Ada yang kartu pendaftarannya disobek-sobek. Tindakan Khmer Merah yang terkejam adalah terhadap warga Kamboja keturunan Vietnam. Puluhan keturunan Vietnam dibunuh dengan sadistis, dan akibatnya ribuan warga keturunan Vietnam melarikan diri, mengungsi ke Vietnam. Secara praktis, hal ini tentunya juga mengurangi jumlah suara terhadap kelompok Hun Sen. Sebab, keras diduga bahwa warga keturunan Vietnam akan mendukung Hun Sen, tokoh yang muncul karena dukungan Vietnam. ''Itulah strategi mereka. Mengusir warga keturunan Vietnam sekaligus menciptakan iklim penuh ketakutan,'' kata Michael Williams, wakil ketua bagian hak asasi UNTAC. Untuk menjamin semua partai mendapat kesempatan yang sama, UNTAC menyediakan beberapa fasilitas media untuk semua partai. ''Kami sediakan waktu di stasiun radio UNTAC, dan saluran TV, dan tempat di papan yang kami pasang di mana-mana untuk ditempeli gambar lambang partai dan calon masing-masing,'' kata Tim Carney, ketua bagian informasi UNTAC. UNTAC juga mengadakan penerangan, terutama ke pelosok-pelosok, menjelaskan bahwa pemilu dijamin kerahasiaannya. ''Jadi, mereka tidak usah takut,'' kata Carney pula. UNTAC juga mencetak pamflet yang menerangkan soal kerahasiaan itu, dan disebarluaskan ke mana-mana: ditempelkan di pohon, di tembok, di belakang becak dan mobil. Dan suasana perang masih terasa di mana-mana. Beberapa aktivis partai yang mencoba menempelkan poster di hotel-hotel, yang sebenarnya dilarang oleh peraturan pemilu, marah bila ditegur oleh petugas keamanan hotel. Dan mereka tak cuma marah, tapi juga mengancam dengan pistol. ''Kami sudah menjelaskan kepada setiap partai bahwa mereka harus berkampanye sesuai dengan peraturan yang kami tentukan. Jika ada pelanggaran, sanksi pun akan dikenakan,'' kata Reginald Austin, ketua bagian elektoral UNTAC. Sanksi terberat adalah larangan ikut dalam pemilu. Kini 40.000 sukarelawan direkrut UNTAC untuk memonitor kegiatan kampanye serta pemilu di Kamboja, 23-25 Mei nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini