BORIS Yeltsin mendapat darah baru di Vancouver. Lihat saja potret di Pertemuan Tingkat Tinggi dua pekan lalu itu: Bill Clinton bersama Yeltsin tersenyum lebar sambil mengacungkan jempol masing-masing. Itu pertanda reformasi ekonomi Yeltsin mendapat dukungan dari Amerika Serikat. Bagi Yeltsin, dukungan itu bisa jadi kartu baru untuk menghadapi kelompok nasionalis di Kongres Wakil Rakyat Rusia, yang akan melaksanakan referendum tanggal 25 April mendatang. Itu adalah referendum yang mempertanyakan kepemimpinan Yeltsin dan kebijakan reformasinya. Dengan bantuan US$ 1,6 miliar di tangan, Yeltsin berharap bisa merayu mayoritas rakyat agar tak ragu-ragu mendukungnya jika nanti datang ke kotak suara. Maka, sepulang dari Vancouver, ia sempatkan singgah di Kota Bratsk, Siberia, dan bertemu dengan pekerja pabrik aluminium untuk menjual keberhasilan pertemuan dengan Clinton. ''Jangan takut menjawab 'ya' untuk pertanyaan perlunya pemilihan presiden,'' kata Yelsin kepada para buruh pabrik itu. Yeltsin tampaknya yakin, dialah yang bakal menang seandainya diadakan pemilihan presiden. Dan Presiden Rusia itu tak bergerak sendiri. Menteri Luar Negeri Andrei V. Kozyrev, yang menemani Yeltsin di Vancouver, salah seorang pendukung Yeltsin, singgah di Kamchatka, kota di timur laut Rusia. ''Syukurlah tidak ada persetujuan di Vancouver yang membutuhkan ratifikasi Kongres,'' Kozyrev menyindir kelompok nasionalis Kongres yang tak begitu suka pada bantuan Barat. Namun unggulnya Yeltsin dalam referendum belum menjamin bantuan Clinton bakal segera menyelesaikan masalah. Selama ini bantuan yang sudah dicairkan, seperti bantuan sekitar US$ 12 milyar dari janji US$ 24 yang akan diberikan oleh tujuh negara industri, belum terlihat mengurangi kesulitan hidup sehari-hari rakyat Rusia, meredam tingkat inflasi, maupun sekadar menyeimbangkan neraca anggaran belanja Rusia. Rantai birokrasi yang panjang, warisan rezim komunis, rupanya membuka peluang bagi para pejabat untuk menggerogoti bantuan. ''Banyak dari bantuan masuk kantong mafia dan para koruptor,'' kata Viktor Aksyushits, seorang anggota Kongres Wakil Rakyat. Ia pesimistis bantuan Clinton, sekitar US$ 900 juta di antaranya untuk membeli gandum, bisa membuat mayoritas rakyat Rusia tak kesulitan gandum lagi. Itu sebabnya banyak yang berharap ada badan internasional yang mengawasi pelaksanaan bantuan. Itu sebabnya Bill Clinton punya program cara memasukkan bantuan ke Rusia (lihat Biarkan Kapal Semakin Oleng?). Tanpa badan pengawas, rakyat Rusia rupanya tak percaya pada niat baik negara donor. ''Negara Barat jangan hanya membantu Yeltsin, tapi harus lebih mengutamakan rakyat,'' komentar Raisa Yakovleva, seorang akuntan yang berpendapat pertemuan Vancouver hanya berupa pentas politik saja. ''Dan bantuan kemanusiaan lebih banyak diomongkan daripada diwujudkan.'' Raisa agaknya tidak berlebihan. Memang belum terdengar berita gelombang kelaparan dari Rusia. Namun dua tahun setelah reformasi ekonomi Yeltsin bergulir, dan bantuan negara Barat mengalir, hidup sehari-sehari 106 juta orang Rusia justru makin sulit. Saat ini diperkirakan hanya terdapat sekitar 100.000 orang Rusia yang bisa digolongkan jutawan, dan sekitar satu juta lainnya tergolong kelompok yang kebutuhan sehari-harinya sudah terjamin. Sisanya, mereka yang tiap hari bertanya-tanya adakah besok masih bisa makan cukup atau harus berhemat. Tersebut terakhir itulah yang mungkin bisa disebut sebagai korban reformasi. Rata-rata penduduk Rusia kini hanya berpenghasilan 13.000 rubel setiap bulan, atau sekitar Rp 39.000. Bandingkan dengan harga tiap kilo daging yang 850 rubel, dan kubis 45 rubel pada bulan Maret lalu. Dan harga-harga terus meroket tak terkendali. Menurut Badan Statistik Rusia, dalam bulan Maret harga bahan pangan meningkat lebih dari 16%. Program liberalisasi harga membuat pedagang boleh menetapkan harga seenaknya. Bahkan dalam waktu satu hari saja harga bisa naik. ''Kemarin satu liter susu masih 99 rubel, sekarang sudah 110 rubel,'' kata seorang ibu yang sedang berbelanja di sebuah pasar di Moskow dua pekan lalu. Ibu itu sudah berkeliling pasar dan akhirnya hanya mampu membeli lima butir telur. Seorang ibu lain mengeluh tak bisa lagi membeli keperluan lain kecuali bahan makanan sehari-hari. Dengan pendapatan sebesar 25.000 rubel, gabungan dari pendapatannya dan gaji suaminya, ibu tiga anak ini setiap hari hanya bisa membeli kentang. Sebelum reformasi, menurut Tatiana Vasilieva, kebutuhan susu, telur, mentega, dan daging sudah terjamin. ''Sekarang beli kentang dua kilo saja harus saya pikirkan matang-matang dulu,'' katanya. Kebutuhan lain sudah tak terjangkau lagi. ''Sepatu anak-anak sudah perlu diganti, tapi dari mana uang? Harga sepatu sampai belasan ribu rubel,'' keluhnya. Liberalisasi juga membuat tak ada kontrol atas bahan makanan yang dijual. Jawatan Kesehatan Rakyat mengakui, banyak produk- produk murah, yang mestinya tak boleh beredar lagi, masih dijual hingga membuat banyak orang keracunan. Akhir bulan lalu dua orang kakak beradik meninggal setelah makan daging kaleng yang sudah kadaluwarsa, dan tak sempat mendapat pertolongan. Ini terjadi karena banyak orang mencari bahan makanan yang termurah, dan tak mau tahu yang dibelinya sudah harus dibuang. Yang paling menderita adalah kaum pengangguran dan pensiunan. Kesulitan ekonomi membuat pemerintah tak mampu menyubsidi pengangguran. Sementara itu uang pensiunan tak bertambah satu rubel pun di tengah harga yang terus meningkat. Tahun lalu pengangguran meningkat 600.000, sepuluh kali lipat dari tahun sebelumnya, hingga mengkatrol angka pengangguran jadi tujuh sampai delapan juta orang. Pemandangan di Rusia memang makin tak enak. Sekarang ini banyak orang tua yang terpaksa turun ke pasar maupun ke jalanan untuk mengemis belas kasihan orang. Para pengemis itu umumnya bukan tak punya uang sama sekali, tapi uang itu belum cukup untuk membeli makanan. Seorang ibu tua di Moskow, misalnya, meminta uang tambahan hanya supaya cukup untuk membeli wortel. Ada juga keluarga yang memilih surat pembaca untuk menarik simpati. ''Kami perlu bantuan untuk menyelamatkan keluarga dari bahaya kelaparan. Anak kami tiga orang, dan ibu sakit-sakitan. Pendapatan keluarga hanya 4.500 rubel per bulan. Kepala keluarga menganggur. Walaupun banyak sekali orang yang menderita di negeri ini, kami yakin ada pembaca yang dapat membantu,'' tulis Viktor Kogacvev dalam surat pembaca di harian Rabochaya Tribuna. Kini, di Rusia, orang menempuh cara apa pun agar bisa bertahan hidup. Pekan lalu tiga orang perwira Angkatan Udara Rusia tertangkap menjual emas dan platinum yang mestinya digunakan untuk membuat peluru kendali jarak jauh. Kejaksaan Rusia menemukan barang-barang milik negara lain di rumah salah seorang perwira itu, yang nilainya mencapai 20 juta rubel atau sekitar US$ 28.000. Dari peristiwa itu terungkapkan pula sepuluh perwira lain yang lolos mencuri barang milik AU Rusia. Dengan keadaan seperti itu diduga sebagian rakyat tak peduli ada referendum atau tidak. Diduga kurang dari 50% rakyat yang akan ikut memilih dalam referendum nanti. Ketika Yeltsin naik sebagai presiden dua tahun lalu saja, pada masa orang masih demam demokrasi, hanya sekitar 70% pemilih yang hadir memberikan suara. Bagi Yeltsin, itu tampaknya tak menjadi soal. Ia yakin mampu menjaring pendukung lebih banyak. Dan walaupun ia akan tetap dikontrol oleh Kongres Wakil Rakyat, karena demikianlah Konstitusi Rusia mengatakan, ia mendapat sedikit dukungan bahwa kepemimpinan dan reformasinya memberikan harapan. Masalahnya, seberapa lama rakyat harus menunggu yang diharapkan, yakni perbaikan ekonomi secara nyata bagi umumnya rakyat, terwujud. Liston P. Siregar (Jakarta) dan Denis Petrogradsky (Moskow)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini