Cintamu padaku, Dien, berakar di sukma. Kembangnya mekar di hati, rindangnya meneduhi jiwa. Cintaku padamu, Dien, tak sebatas ujung kaki, tetapi tumbuh sepanjang masa. Dan selalu kusiram dengan doa. Cinta kita seperti langit tanpa tepi. Tak sebatas ruang dan waktu. Tak terucap dalam kata, tetapi manis terasa. Ia selalu ada, sampai akhir hayat. SAJAK berjudul Surat Seorang Suami ini ditulis Soepardjo Roestam dalam keadaan sakit. Sajak itu bertanggal 4 April 1993, hari ulang tahun istrinya, Nyonya Kardinah Soepardjo Roestam, yang ke-61. Namun agaknya sajak ditulis beberapa hari sebelumnya. Karena sajak itu langsung dimuat dalam buku tipis yang berjudul Langkah-langkah Kecil Kardinah Soepardjo Roestam. Buku itu langsung diserahkan Soepardjo sebagai hadiah ulang tahun kepada istrinya di rumah sakit MMC Jakarta. Upacara penting ini hanya dihadiri kerabat dekatnya. Soepardjo, yang saat itu tetap berbaring di ranjang, meminta salah seorang anaknya membacakan sajak gubahannya. Rupanya Sang Suami sudah terbiasa menulis sajak atau kata-kata mutiara untuk Sang Istri. Menurut Wisaksono Noeradi, penyunting buku ini, biografi singkat Kardinah itu dibuat terburu-buru. Dimulai akhir Februari lalu atas permintaan Soepardjo dan harus rampung sebelum 4 April. Uniknya, buku itu sama sekali tanpa diketahui Nyonya Soepardjo. Rupanya itulah kejutan terakhir Soepardjo untuk Dien-nya. Ahad siang lalu Soepardjo Roestam, jabatan terakhir Menko Kesra, tutup usia dalam usia 67 tahun setelah tiga minggu dirawat karena stroke. Sebelum dirawat di MMC, ia pernah dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Pernah pula menjalani operasi tulang punggung di Frankfurt, Jerman. Apakah syair dan buku itu merupakan tanda perpisahan? Tampaknya begitu. Karena, menurut Nyonya Soepardjo, ''Bapak selalu pamitan kepada istri dan anak-anak bila akan keluar rumah.'' Kali ini pamitannya tidak sekadar keluar rumah. Selain meninggalkan seorang istri dan dua anak, almarhum meninggalkan catatan panjang sebagai salah seorang putra bangsa yang baik. Soepardjo lahir di Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah, 12 Agustus 1926. Sebelum menduduki jabatan sipil, ia memegang sejumlah jabatan militer. Karier militernya dimulai sebagai Daidancho pasukan Peta (Pembela Tanah Air). Di awal kemerdekaan ia menjadi ajudan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Tatkala tentara Belanda menyerbu Yogyakarta pada 19 Desember 1948, Bung Karno dan para menteri memutuskan untuk menyerah. Soepardjo-lah yang diutus Jenderal Sudirman untuk memberi tahu kepada anggota kabinet bahwa militer tak akan menyerah. Sejumlah posisi lain pernah pula dipegang Soepardjo. Antara lain Sekretaris Atase Militer RI di Belanda (1952), Perwira Staf Markas Besar Angkatan Darat (1953--1955). Jabatan terakhir militer, Deputi Asisten VI Menteri Panglima Angkatan Darat (1963--1966). Di bidang militer kariernya tak begitu menonjol, tapi di posisi sipil ia pernah menduduki jabatan-jabatan strategis. Mula-mula sebagai Direktur Urusan Asia dan Pasifik Departemen Luar Negeri (1967), lalu Duta Besar di Yugoslavia (1971), dan Duta Besar di Malaysia (1972). Ia kemudian ''pulang kampung'' untuk menjadi Gubernur Jawa Tengah. Ini dijabatnya selama dua periode (1974 1982). Gayanya yang luwes, terbuka, dan ramah membuat ia disenangi dan disegani. Sebagai gubernur ia sanggup menggebrak rakyat Jawa Tengah untuk meraih Paramsamya Purnakarya Nugraha penghargaan tertinggi atas keberhasilan dalam pembangunan. Keberhasilan memimpin Jawa Tengah itulah yang secara tidak langsung mengantarnya ke kursi Menteri Dalam Negeri (19831988). Sebagai pembina politik dalam negeri, figur almarhum dihormati oleh jajaran birokrasi maupun tokoh-tokoh partai politik. Keramahan, kebijaksanaan, dan keterbukaannya senantiasa diperlihatkan kepada siapa saja. Tidak peduli apakah orang itu pejabat pemerintah atau tokoh partai politik. Ketika kongres PDI ricuh dan tak bisa menghasilkan pengurus baru, Soepardjo tampil sebagai penyelamat dengan menunjuk Drs Soeryadi dkk sebagai DPP PDI. Ia bisa meredam situasi politik yang memanas hingga terasa ''sejuk''. Di sisi lain Soepardjo bukanlah Menteri Dalam Negeri yang suka mendesakkan pendapat pada partai politik. Manakala menjelang Muktamar Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dilanda heboh (1984--1985), ia meminta pendapat tokoh-tokoh PPP sebelum memutuskan sikap Pemerintah. Akhirnya Pemerintah memutuskan untuk tidak mencampuri partai Bintang itu. Banyak pejabat tinggi yang melayat jenazahnya di Kompleks Pejabat Tinggi Widya Candra Jakarta, termasuk Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Try Soetrisno. ''Terus terang, saya sangat merasa kehilangan dia,'' kata Menko Polkam Soesilo Soedarman. ''Figur almarhum memang patut diteladani. Beliau merupakan pejabat senior yang tegar dan pengabdiannya begitu tinggi'' puji Menteri Sosial Endang Inten Suweno yang juga datang melayat. Semangat pengabdiannya itu bisa dilihat ketika almarhum menyerahkan jabatan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat kepada Azwar Anas beberapa waktu lalu. Menurut kerabat dekatnya, sebenarnya dokter melarangnya hadir. Namun Soepardjo tetap datang meskipun dengan kursi roda. Senin lalu jenazah almarhum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Ia menyandang sejumlah penghargaan. Antara lain Bintang Gerilya, Bintang Sewindhu, Satya Lencana I dan II, dan masih banyak lagi. Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini