Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengibar-ngibarkan bendera Palestina dan Israel, sekitar 2.000 orang memilih menjalani Sabtu malam dua pekan lalu dengan berkumpul di pusat Kota Tel Aviv. Dalam naungan cuaca cerah, mereka kemudian berpawai ke Jalan King George, lokasi markas besar Partai Likud, sambil meneriakkan kalimat-kalimat "Lieberman rasis dan fasis" dan "Lieberman menteri peperangan".
Peserta demonstrasi yang diorganisasi oleh Joint (Arab) List, partai kiri Meretz, dan organisasi kiri Peace Now itu mengutuk ekstremisme, rasisme, dan kekerasan di Israel. Mereka juga melambai-lambaikan poster serta membentangkan spanduk-dalam huruf Ibrani-berisi seruan bahwa "Yahudi dan Arab menolak jadi musuh" dan "Israel, Palestina, dua negara untuk dua bangsa".
Avigdor Lieberman, 57 tahun, yang disebut para demonstran, adalah Ketua Yisrael Beytenu (Israel Rumah Kita), partai ultra-kanan, yang baru saja dipilih menjadi Menteri Pertahanan dalam perombakan kabinet yang dilakukan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Kepada politikus yang sebetulnya berseberangan pandangan dengannya itu, Netanyahu menyerahkan posisi menteri yang membawahkan Tentara Pertahanan Israel (IDF) dan urusan pendudukan Palestina. Kabinet menyetujuinya pada Senin pekan lalu.
Reputasi Lieberman, imigran dari Moldova (dulu masuk wilayah Uni Soviet), selama ini sangat gamblang: politikus yang komentarnya selalu agresif dan kontroversial, jika bukan rasis, khususnya yang berkaitan dengan Palestina atau mereka yang menentang Israel. Ketika Perdana Menteri Ariel Sharon mengusulkan pembebasan 350 orang Palestina dari penjara pada 2003, misalnya, Lieberman mengucapkan satu kalimat keji: "Lebih baik menenggelamkan para tahanan ini ke Laut Mati."
Meski pernah menyatakan bersedia menyerahkan rumahnya di wilayah pendudukan Israel di Tepi Barat demi perdamaian, reputasinya sebagai "tukang berantem" itulah yang menimbulkan keresahan di kalangan pendukung perdamaian. Bagi banyak pemerintah negara Arab, penunjukan Lieberman sudah setara dengan pernyataan perang. Amerika Serikat, yang di bawah Presiden Barack Obama berupaya keras mewujudkan perdamaian di Timur Tengah, hanya memberikan sambutan dingin.
Hamas, kubu Palestina yang menguasai Jalur Gaza, merespons dengan menunjukkan secara telak apa yang sesungguhnya berlaku dari persekutuan Netanyahu dengan Lieberman. Kata Youssef Rizqa, bekas Menteri Informasi pemerintahan Hamas, kepada Al Monitor: "Dilibatkannya Lieberman dalam pemerintahan Israel merupakan keberhasilan Netanyahu karena hal itu akan menyelamatkan pemerintahannya dari kejatuhan, mengingat tak ada perbedaan berarti di antara keduanya-bahwa keduanya sama-sama berada di posisi sayap kanan dalam isu Palestina dan menolak memberikan konsesi."
Secara taktis, kesepakatan dengan Lieberman-merangkul Yisrael Beytenu ke dalam koalisi pemerintah-memang merupakan upaya Netanyahu untuk lebih menguatkan posisinya di Knesset atau parlemen. Sejak membentuk pemerintahan setelah pemilihan umum pada 2015, posisi Netanyahu sebenarnya mudah goyah. Di parlemen, Partai Likud yang dia pimpin hanya menguasai 30 kursi; dia bisa memerintah setelah pada saat-saat terakhir berhasil menjalin koalisi dengan empat partai lain, yang hanya memberinya mayoritas tipis, 61 dari 120 kursi parlemen.
Pengukuhan posisi itu penting mengingat di Israel pemerintah yang mana pun bisa sewaktu-waktu jatuh melalui pengajuan mosi tidak percaya di parlemen. Netanyahu sadar para pendukungnya-Jewish Home, United Torah Judaism, Kulanu, dan Shas-tak bisa dia andalkan sepenuhnya.
Dalam hal itu, dia sudah melalui ujian berat pada Maret lalu, ketika partai-partai ultra-Ortodoks dalam koalisinya mengancam menarik dukungan sebagai respons terhadap usul pemerintah untuk mewujudkan tempat berdoa bagi kaum non-Ortodoks di Tembok Barat. Mereka telah menyatakan akan keluar dari koalisi kalau pemerintah memberikan pengakuan lebih jauh kepada kaum Yahudi konservatif dan reformis. Kelompok-kelompok ini, menurut Shlomo Amar, Kepala Rabi Yerusalem, "Secara arogan merobohkan dan menghancurkan semua hal yang sakral dari Israel".
Namun Netanyahu sebenarnya punya motif lain. Menurut laporan Foreign Policy, dia juga risau karena dianggap lembek menghadapi apa yang dikategorikan sebagai serangan terorisme belakangan ini.
Kekhawatiran itu ada dasarnya. Di kalangan pendukung utamanya, selama ini ada keyakinan bahwa Netanyahu adalah "Tuan Keamanan". Mereka percaya kepadanya. Karena itu, isyarat ketakberdayaan yang berupa apa pun, di tengah-tengah ancaman kekerasan yang meningkat, bisa dianggap sebagai masalah politik. Netanyahu melihat sikap Moshe Yaalon, Menteri Pertahanan terdahulu, dan para petinggi tentara, sebagai asal-muasal tanda ketakberdayaan pada dirinya.
Sikap Yaalon dan sejumlah petinggi militer itu berkaitan, khususnya, dengan kasus dibunuhnya Abdel Fattah al-Sharif, pemuda Palestina, oleh serdadu Israel bernama Sersan Elor Azaria pada Maret lalu. Al-Sharif ketika itu terlibat sebuah serangan penikaman di Hebron, yang melukai seorang serdadu Israel. Dia terluka dan dalam keadaan tak berdaya tergolek di tanah ketika Azaria merangsek dan menembak kepalanya dari jarak dekat.
Insiden itu membelah publik dan pejabat Israel. Yaalon tergolong di antara mereka yang mengecam tindakan Azaria. Menurut mantan Kepala Staf IDF ini, siapa saja yang mendukung Azaria sesungguhnya "sedang merusak nilai-nilai IDF". Para petinggi IDF juga memilih tak semakin memanaskan situasi; mereka memerintahkan tentara hanya menembak jika nyawanya benar-benar terancam.
Netanyahu melihat pernyataan semacam itu bisa dianggap, khususnya oleh para pemilih Partai Likud dari kelompok sayap kanan, sebagai persetujuan terhadap aksi "terorisme". Dia membayangkan kemungkinan kedudukannya sebagai perdana menteri bakal terancam-karena keinginannya untuk kembali mencalonkan diri pada pemilu berikutnya bisa terganjal. Merasa bakal bisa mengendalikan ancaman dari dalam, dia memilih jalan keluar yang merupakan perwujudan dari prinsip "menjaga kedekatan dengan teman dan menjadikan musuh lebih dekat".
Bergabungnya Yisrael Beytenu serta-merta menambah jumlah kursi koalisi yang dipimpin Partai Likud menjadi 66. Dalam pengumumannya, Netanyahu mengatakan pemerintahan yang lebih stabil, dengan lebih banyak partai yang terlibat, "akan membuat mudah" upaya mewujudkan perdamaian dengan Palestina, peluang yang menurut dia tersedia.
Melihat apa yang telah terjadi sepanjang dia menjadi perdana menteri, dan reputasi "kawan seiringnya" yang baru, tak berlebihan sebenarnya bila ada yang ragu atau malah dengan putus asa memilih mengubur harapan. Alih-alih menjanjikan, yang tampak dari manuvernya justru sebuah kontradiksi.
Di tengah-tengah kecenderungan kian tak lakunya gagasan tentang perdamaian, juga semakin rasisnya masyarakat Israel dalam melihat Palestina dan kaum Arab pada umumnya, sulit bisa dipercaya bakal ada tujuan lain bagi politik Israel. Dengan menempatkan IDF dan urusan pendudukan di bawah Lieberman, justru perang yang bisa sewaktu-waktu pecah.
Purwanto Setiadi (Foreign Policy, The Independent, Al Jazeera, Jerusalem Post, Al-Monitor, PressTV)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo