Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis Pencabut Izin Reklamasi

Hakim membatalkan izin reklamasi Pulau G milik Agung Podomoro Group. Bisa merembet ke izin pulau lain.

6 Juni 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA ketukan palu penanda berakhirnya pembacaan putusan disambut tepuk tangan dan teriakan takbir. Puluhan nelayan tradisional Muara Angke meluapkan kegirangan mereka di ruang sidang utama Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. "Kemenangan ini untuk rakyat dan nelayan," kata Kuat, salah seorang penggugat, Selasa pekan lalu.

Hakim mengabulkan gugatan Kuat dan empat nelayan Muara Angke, Jakarta Utara. Nelayan lain yang turut menggugat adalah Gobang, Tri Sutrisno, Muhamad Tahir, dan Nur Saepudin. Mereka mempersoalkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha PT Agung Podomoro Land.

Siang itu, selama hampir dua setengah jam, ketua majelis hakim Adhi Budi Sulistyo membacakan amar putusan secara bergantian dengan anggota majelis, Baiq Yuliani dan Elizabeth Tobing. "Mencabut izin reklamasi kepada Muara Wisesa," kata hakim ketua, Adhi, pada akhir sidang.

Ada sejumlah hal yang menjadi pertimbangan majelis hakim dalam membatalkan izin reklamasi Pulau G. Hakim, misalnya, menilai penerbitan izin pada 23 Desember 2014 itu mengabaikan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014.

Pasal 17 undang-undang ini mensyaratkan bahwa pemberian izin lokasi harus berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Menurut hakim, tanpa rencana zonasi, reklamasi di wilayah pesisir bisa menimbulkan konflik. Lebih jauh, hakim menyatakan perencanaan di wilayah pesisir harus didahului kajian lingkungan hidup strategis. Kajian serupa penting agar reklamasi sesuai dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan. "Agar tidak melebihi daya tampung dan daya dukung lingkungan," kata Adhi, yang merupakan satu dari sedikit hakim bersertifikasi lingkungan hidup.

Pemerintah DKI menerbitkan izin reklamasi Pulau G, seluas 161 hektare, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Teluk Jakarta. Pemerintah DKI juga sudah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Zonasi ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun pembahasan dihentikan setelah anggota DPRD DKI, Mohamad Sanusi, tertangkap tangan menerima suap dari bos Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja.

Pertimbangan hakim berikutnya, pembangunan pulau buatan bukan untuk kepentingan masyarakat seperti amanat Undang-Undang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. "Reklamasi tidak mendesak," kata hakim Adhi.

Hakim juga menilai penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) Pulau G tidak melibatkan nelayan dan masyarakat lebih luas. Amdal reklamasi pulau, menurut hakim, tidak pernah diumumkan lewat media yang mudah diakses publik. Padahal tidak beresnya amdal bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan. Pada tahap prakonstruksi saja, hakim mencontohkan, pengerukan lumpur untuk penimbunan laut telah berdampak buruk pada usaha penangkapan ikan nelayan skala kecil.

Pada pertimbangan terakhir, hakim menyinggung dampak fisik, biologi, sosial-ekonomi, dan infrastruktur dari reklamasi. Misalnya, hakim menyatakan reklamasi berpotensi menaikkan permukaan air laut sekitar 10 sentimeter. Adapun penyebaran material pengurukan akan mencemari biota laut.

Majelis hakim meminta semua kegiatan reklamasi dihentikan sampai ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Sebelumnya, pada 27 April lalu, Presiden Joko Widodo memutuskan menghentikan sementara (moratorium) reklamasi Teluk Jakarta selama enam bulan. Selama itu, pemerintah akan membuat rencana induk pengembangan dan pembangunan wilayah pesisir di Ibu Kota.

Pertimbangan hakim mewakili seluruh dalil penggugat yang dikuatkan keterangan saksi fakta dari kalangan nelayan, yakni Sutawa, Diding, Saefudin Baso, Ramli, dan Hafidin. Saksi fakta tersebut mengaku tidak mengetahui kapan persisnya surat kelayakan lingkungan hidup reklamasi terbit. Yang jelas, mereka kesulitan mencari ikan sejak ada pengurukan laut untuk pulau buatan itu.

Di samping mendatangkan saksi fakta, penggugat menghadirkan saksi ahli, yakni Direktur Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Subandono Diposaptono. Dalam kesaksiannya, Subandono menjelaskan, berdasarkan peraturan perundang-undangan terbaru, penerbitan izin reklamasi di Pulau G merupakan kewenangan pemerintah pusat.

Apabila masa berlaku izin prinsip telah habis, menurut Subandono, pengembang bisa mengajukan perpanjangan. Karena sudah ada undang-undang baru, pemerintah dan pengembang harus memakai peraturan terakhir itu. Nah, dalam penerbitan izin reklamasi untuk Pulau G, pemerintah DKI malah mengesampingkan penggunaan peraturan baru tersebut. Subandono juga menekankan perlunya peraturan zonasi sebelum pelaksanaan reklamasi demi kepastian hukum dan pencegahan konflik.

Meski membenarkan semua dalil penggugat, hakim menerima nota keberatan dari tergugat I, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan tergugat II, PT Muara Wisesa. Kedua tergugat mempersoalkan status dua penggugat dari lembaga, yakni Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) serta Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). Tergugat menilai Walhi dan Kiara tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) karena tidak tercatat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

PT Muara Wisesa memastikan akan mengajukan permohonan banding atas putusan ini. Kuasa hukum PT Muara Wisesa, Ibnu Akhyat, mengatakan segera menyusun memori banding bila sudah menerima salinan putusan lengkap. "Salah kami di mana? Semua persyaratan yang ditentukan pemerintah DKI sudah kami penuhi," ujar Ibnu. Meski demikian, demi menghormati hukum, Ibnu memastikan PT Muara Wisesa menghentikan sementara operasional pembangunan Pulau G hingga putusan ini berkekuatan hukum tetap.

Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama sempat mengatakan kekalahan dalam gugatan PTUN tak mempengaruhi reklamasi. Selasa pekan lalu, Ahok-panggilan Basuki-mengatakan akan mengalihkan pembangunan Pulau G dari PT Muara Wisesa kepada PT Jakarta Propertindo, badan usaha milik pemerintah DKI. Namun, sehari kemudian, Ahok mengatakan akan menunda reklamasi sesuai dengan putusan hakim. "Putusannya kan harus menunda sampai inkrah," kata Ahok.

Pemerintah DKI pun tak tinggal diam menunggu putusan itu berkekuatan hukum tetap. Menurut Kepala Biro Hukum DKI Yayan Yuhanah, pihaknya segera mengajukan permohonan banding. Menurut dia, putusan hakim memakai dasar hukum yang berbeda. Hakim membuat putusan berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007. Sedangkan pemerintah DKI memakai Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 sebagai dasar pemberian izin Pulau G.

Kemenangan di Pulau G rupanya belum membuat nelayan puas. Kuasa hukum penggugat, Martin Hadiwinata, berharap putusan atas izin Pulau G menjadi preseden untuk gugatan atas izin pulau reklamasi lain yang dia anggap bermasalah. "Izin lainnya pun harus dicabut karena landasan hukum yang dipakai sama," kata Ketua Bidang Pengembangan Hukum dan Pembelaan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia itu.

Pulau G merupakan satu dari 17 pulau reklamasi di teluk utara Jakarta. Pulau-pulau itu telah dikavling untuk korporasi besar. Misalnya, PT Kapuk Naga Indah (Agung Sedayu Group) mengantongi izin reklamasi untuk lima pulau dengan total luas 1.331 hektare. Ada pula PT Manggala Krida Yudha (Keluarga Cendana), yang memegang izin reklamasi Pulau L dan M, dengan total luas 1.068 hektare.

Di samping menggugat izin Pulau G, aktivis dan nelayan yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menggugat pemberian izin reklamasi Pulau F, I, dan K. Kuasa hukum koalisi, Wahyu Nandang Herawan, mengatakan sidang gugatan terhadap tiga pulau itu masih berlangsung. "Kami masih dalam tahap pengajuan bukti," ujarnya.

Menurut Nandang, substansi gugatan Pulau F, I, dan K sama dengan Pulau G. Perbedaannya hanya pada nomor penerbitan surat ketetapan gubernur. Izin Pulau F dan I diterbitkan Gubernur Basuki pada 22 Oktober 2015. Sedangkan izin Pulau K terbit pada 17 November 2015. "Prosesnya sama. Akan jadi aneh kalau gugatan Pulau F, I, dan K nantinya ditolak," ujar Nandang.

Linda Trianita, Larissa Huda, Danang Firmanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus