MASALAH perdamaian Mesir-lsrael dewasa ini tak menentu antara
maju denKan mundur. Ini sebagian disebabkan pendirian Israel
dalam hal pemukiman tepi barat Sungai Yordan yang tak mau
dikompromikan. Ada lagi alasan lain, yaitu perpecahan dalam
kabinet Israel sendiri dalam masalah pemukiman tersebut.
Berita vang diterima dari Tel Aviv baru-baru ini mengungkapkan
bahwa Menteri Pertahanan Ezer Weizman telah mengancam untuk
meletakkan jabatan. Ancaman ini disampaikan karena perintahnya
untuk membekukan usaha-usaha pemukiman Yahudi atas
wilayah-wilayah yang direbut dari Arab sejak perang tahun 1974
telah ditorpedo oleh orang-orangnya sendiri. Bahkan pelanggaran
atas perintah tersebut, kabarnya direstui oleh panglima angkatan
bersenjata Israel sendiri.
Berita lain mengatakan bahwa Menteri Keuangan Simcha Erich pun
mengancam pula untuk mengundurkan diri Sf bagai protes. Bahkan
perkembangan terakhir dari negeri bangsa Yahudi itu menunjukkan
pula akan adanya lima menteri lain dalam kabinet Menahem Begin
mengancam untuk meletakkan jabatan atas dasar alasan yang sama.
Begin Menolak Resolusi
Amerika pun, sebagai pihak luar yang paling ambisius bagi
terciptanya perdamalan dan mencoba membawa Mesir serta Israel
kembali ke meja perundingan, sedang dilanda keraguan pula.
Alasan utamanya tak lain dari sikap Begin -- tadinya tidak
terang-terangan tapi akhir-akhir ini dikatakan secara terbuka --
perihal wilayah-wilayah yang direbut dati orang-orang Arab
tersebut. Begin berpendapat bahwa resolusi PBB yang menyerukan
penarikan mundur pasukan Israel dari wilayah-wilayah yang
direbutnya tidak berlaku secara menyeluruh atas wilayah Tepi
Barat.
Resolusi 242 yang disetujui secara bulat oleh Dewan Keamanan PBB
pada tanggal 22 Nopember 1967 menyebutkan tentang dua prinsip.
Pertama, "penarikan mundur seluruh tentara Israel dari
wilayah-wilayah yang diduduki" dalam Perang Enam Hari di tahun
1967. Kedua, penghentian suasana permusuhan dan pengakuan bahwa
setiap negara di Timur Tengah punya "hak untuk hidup dengan
damai di wilayah-wilayah yang aman dan dalam perbatasan yang
diakui oleh semua pihak."
Karena resolusi itu mencakup kedua pengertian itu dan bukan cuma
penarikan mundur pasukan Israel semata-mata, maka itu dianggap
sebagai suatu kemenangan besar buat Israel. Pengakuan atas kedua
prinsip itu sejak saat itu telah jadi prasyarat bagi pencarian
jalan keluar dari kemelut Timur Tengah.
Sudah barang tentu ada macam-macam argumentasi dalam
menterjemahkan kata "penarikan mundur" ke dalam praktek. Pihak
Arab mengartikan itu sebagai pengunduran total seperti keadaan
dalam bulan Juni 1967. Amerika berpendirian bahwa tentu saja
akan ada penyesuaian yang didasarkan atas situasi dan kondisi
medan. Namun, akhir-akhir ini baru Begin seoranglah yang
mengatakan bahwa Resolusi 242 cukup dipenuhi dengan pengunduran
diri di satu front saja. Misalnya cuma di Sinai saja.
Ini benar-benar membuat orang melongo. Sejak Resolusi 242
diterima, tak ada satu pihak pun, termasuk Amerika, yang
mempunyai tafsiran seperti Begin.
Perisai Sadat
Ada hal lain yang membuat orang terpaku. Dulu, pagi-pagi sekali
Begin sendiri sudah menyatakan bahwa Resolusi 242 menuntut agar
setidak-tidaknya ada pengunduran diri Israel di kawasan Tepi
Barat. Namun kemudian ia berkeberatan justru dalam masalah ini,
ketika Israel menerima Resolusi 242 sebagai kerangka untuk
perundingan seperti yang diusulkan pemerintah Nixon pada tahun
1970. Begin yang tadinya jadi anggota kabinet koalisi meletakkan
jabatan karena Israel bersedia mundur dari "Judea dan Samaria."
Apabila Begin masih saja bcrpegang pada penafsiran dan syarat
ini, maka hari depan perdamaian di Timur Tengah bisa dikatakan
suram. Karena Israel telah membatasi kemungkinan perdamaian
secara terpisah dengan Mesir dengan mengecualikan masalah lain.
Di samping itu tak ada tanda-tanda bahwa Sadat akan mau atau
setuju atau mau mengambil risiko untuk mengadakan penyelesaian
dengan Tel Aviv secara bilateral.
Sejak kunjungannya ke Yerussalem Sadat mengatakan bahwa
persetujuan apa saja yang dicapai Mesir-lsrael, itu harus
merupakan patokan untuk memungkinkan kompromi antara Israel
dengan tetangga-tetangganya yang Arab. Secara gamblang Sadat
mengatakan bahwa itu diperlukannya sebagai perisai yang paling
tidak bisa melindunœi kritik dunia Arab terhadap
kebijaksanaannya. Dan perhatian utama Sadat justru tertuju pada
masalah Tepi Barat itu.
Di pihak lain Israel berpendapat bahwa ia tak dapat membicarakan
masalah Tepi Barat itu dengan Sadat. Israel mau agar Hussein
dari Yordania dan wakilwakil orang Palestina di Tepi Barat harus
duduk dalam perundingan. Namun, baik Hussein mau pun orang-orang
Palestina tak mau ikut berembuk kalau itu diadakan di luar
kerangka Resolusi 242.
Semua inilah yang menyebabkan mengapa Asisten Menteri Luar
Negeri Amerika L. Atherton Jr. tak berhasil dalam kegiatan
diplomasinya, walaupun ia harus mundar-mandir Tel
Aviv-Kairo-Washington. Dan sampai saat ini ia belum berhasil
membawa Israel dan Mesir ke meja perundingan. Penghalang
utamanya adalah penolakan Israel untuk menterapkan asas-asas
Resolusi 242 atas wilayah Tepi Barat.
Begin mengatakan bahwa ia telah diminta untuk menerima suatu
"prasyarat" bagi suatu perundingan. Sebenarnya Resolusi 242
hanya merupakan suatu "kerangka kerja" bagi adanya kesepakatan
di antara pihak-pihak yang bersengketa di Timur Tengah. Itu pun
diperlukan agar suatu jalan keluar yang kelak dihasilkan akan
memperoleh dukungan internasional. Padahal sejak awal Presiden
Carter sudah memperingatkan bahwa meninggalkan "kerangka kerja"
tersebut berarti menyia-nyiakan harapan bagi terciptanya
perdamaian. Akibatnya, menurut Carter akan terasa dan
berlangsung sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
Sayang
Penafsiran Begin atas Resolusi 242 mau tak mau telah membawa
orang untuk bercuriga bahwa ini merupakan usaha Begin untuk
memperluas wilayah Israel tatkala usaha-usaha damai sedang
dijalankan. Ini pasti membuat orang tak percaya bahwa Israel
benar-benar serius buat mencapai perdamaian di Timur Tengah.
Di seberang lain Sadat telah menawarkan kepada Israel hal-hal
yang selama 30 tahun cuma berupa impian di tengah hari bolong.
Yaitu hubungan diplomatik secara penuh, keuntungan dari hubungan
dagang dan sekuriti. Dan yang lebih utama lagi Israel mendapat
peluang baik untuk membentuk suatu entelte dengan
kekuatan-kekuatan moderat di dunia Arab yaitu Arab Saudi,
Yordania dan Mesir. Ketiga negara itu cukup punya pengaruh di
Timur Tengah.
Hal-hal seperti tersebut di atas bukan saja telah lama
dirindukan oleh Israel sendiri, tetapi juga oleh negara-negara
Barat yang bersimpati dan jadi penyokong negara Yahudi itu.
Sayang kalau Begin sampai menyia-nyiakan peluang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini