Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Rudolf, Si Buronan Malang

Max Rudolf Wenas memenangkan sengketa melawan 25 tergugat. Kini menghadapi perkara pidana, memutar balikkan petikan surat permandian dari gereja ST. Joseph. rudoff mengaku anak Michael Maxmillian.(krim)

18 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAX Rudolf Wenas, yang kemudian mengaku anak dan ahli waris Michael Maximillian Lachinsky (MML), selalu merasa dikejar-kejar bayangan yang menakutkan. Buktinya, begitu ia keluar dari salah sebuah rumah di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, 7 Pebruari lalu, ia disergap tim khusus anti bandit (Tekab) Komdak Metro Jaya di bunderan air mancur--di Jalan Thamrin. Padahal sebelumnya ia baru saja memenangkan sengketa melawan 25 tergugat, Januari sebelumnya, yang diwakili para advokat kenamaan dari Jakarta. Mulai pengacara Adnan Buyung Nasution SH sampai S Tasrif SH. Yang dikalahkannya juga bukan sembarangan: Mulai KSAL, Jakarta Lloyd, beberapa bank pemerintah dan asing sampai beberapa perorangan yang bertitel tinggi. Ia belum sempat menikmati kemenangannya memperoleh ganti rugi Rp 15 juta dari masing-masing tergugat dan sejumlah besar bungalow di Megamendung yang selama ini dikuasai para tergugat (TEMPO, 18 Pebruari). Dan kini ia harus duduk di muka hakim, di Pengadilan Negeri Bogor--yang memenangkan perkara perdatanya tempo hari -- untuk menghadapi perkara pidana. Max Wenas, oleh jaksa, diajukan dengan beberapa tuduhan. Yang pertama, ia harus mempertanggungjawabkan nama Lachinsky yang belwn lama disandangnya untuk menggantikan nama belakang namanya: Wenas. Ia dituduh "dengan sengaja telah menggunakan akte otentik yang tidak cocok dengan keadaan yang sebenarnya." Yaitu memutarbalikkan petikan Surat Permandian dari Gereja St. Joseph di Jatinegra, Jakarta, tertanggal 12 Nopember 1974, hingga ia yang mestinya disebut anak dari bapak A.l. Wenas dengan ibu A.V.I. Gubbels dan MML dan Jeanne Maria Paulus, masing-masing sebagai bapak dan ibu baptis, dirubah menjadi: MML dan A.V.I. Gubbels sebagai ayah dan ibu kandung, sedangkan A.F. Wenas dan Jeanne Maria Paulus sebagai bapak dan ibu baptis. Dengan memutarbalikkan isi akte itu, menurut jaksa, Rudolf telah minta Surat Ketetapan Pengadilan Negeri Bandung, yang diberikan 22 Pebruari 1975, yang menyatakan Rudolf itu anak dar ahli waris MML. Begitulah, dengan bekal surat-surat keterangan tersebut, udolf memenangkan gugatan atas Bungalow edrijf Sirnagalih di Megamendung, Puncak, Bogor. Tuduhan berikutnya, dengan surat-surat itu juga, Rudolf telah mengancam dengan kekerasan, malah menggunakan oknum ABRI sebagai pelindung, saksi Ny. Laluyan bersama 15 orang lainnya untuk menyerahkan kunci Villa Durno di Megamendung. Juga, bersama advokat Saleh Tompo SH, tertuduh pernah melakukan hal yang sama atas rumah saksi Ny. Siti Sarifah Soekotjo. Pun, "dengan memakai nama dan keadaan palsu," kata jaksa, tertuduh telah minta pembayaran tanan seharga Rp 1000/mmÿFD kepada lima orang saksi yang dianggapnya menduduki tanah peninggalan MML. Villa Durno. Pengadilan kini tengah memeriksa tertuduh dan para saksi -- terutama ibu tertuduh sendiri, Ny. Wenas atau Gubbels, yang nampaknya memberatkan posisi anaknya. Siapa Max Rudolf Wenas alias Lachinsky ini? Ibunya bilang, "saya tentu yang paling tahu anak siapa Max Rudolf itu." Akte kelahirannya memang sudah tak, ada lagi. "Sudah saya berikan begitu ia dewasa - tapi ternyata dihilangkannya atau mungkin sengaja disembunyikannya." Tapi ada surat keterangan lain, dari Kelurahan Bidaracina (1954), ketetapan pengadilan Jakarta (1960), Surat pendaftaran penduduk di aman Jepang (1943), yang semuanya menyatakan Max Rudolf itu anak ke III dari A.F. Wenas. Tapi Rudolf memiliki cerita dan pengalaman hidup yang ditulisnya sendiri. Berjudul "Max Rudolf Lachinsky Yang Dahulu Bernama Max Rudolf Wenas." A.F. Wenas, almarhum, pegawai Bank Indonesia (terakhir), berasal dari Kampung Tonsea, Manado (31 Desember 1898). Ibunya, Gubbels, seorang Indo: bapaknya Belanda totok dan ibunya asli orang Muntilan, Jawa Tengah. Rudolf sendiri, lahir 28 Desember 1934 di Polonia, Jatinegara (Jakarta). Namun keadaan fisiknya, katanya, berbeda dengan kelima saudara anak Wenas yang lain. Rudolf, tinggi 1,65 meter, kulit putih, rambut pirang, mata biru, hidung mancung, merasa seperti orang Barat. Tapi sampai dewasa Rudolf merasa sebagai anak Wenas dan tinggal di Jatinegara. Dari kecil hingga besar, ia merasa telah diperlakukan secara tak wajar oleh ibunya. Sebelum tahun 1950, katanya, ia telah ditempatkan di tempat tahanan anak nakal di Tangerang. Selama delapan bulan ia di sana. Karena "Saya merasa tak mendapat perhatian sebagaimana kasih sayang orang tua," tulisnya, ia ikut keluarga Kapten R. Djohari (sekarang berpangkat Mayor Jenderal di Bandung). Hanya sesekali saja pulang ke Polonia. Pada 5 Juli 1958, ketika ia berada di Polonia tiba-tiba saja ia digerebek tentara. Ia ditangkap dan dianiaya dengan popor bedil. Kepalanya cidera, sampai harus mengalami 11 jahitan, dan gegar otak. Selama di rumahsakit, katanya, ia dikawal dengan laras senjata api. Dari rumahsakit terus diangkut ke rumah tahanan militer di Glodok dan disel di bawah tanah. Baru dalam pemeriksaan yang berwajib ia tahu kesalahan apa yang dituduhkan. Yaitu sebagai matamata APRA-nya Westerling. Rudolf telah memperoleh sakramen suci terakhir sebelum dibebaskan oleh keputusan Mayor Soeroto (Desember 1958). Dari seorang militer Rudolf dapat menuduh ibunya sebagai yang menjerumuskannya ke bui. Juga, pada kejadian berikutnya yang menyebabkan ia harus keluar masuk tahanan dan mengalami beberapa siksaan, selalu disebutnya "fitnahan dari ibu kandung saya sendiri." Fotograf Sekneg Pernah Rudolf merasa bakal jadi orang. Ia menemukan Pengolahan Bahan Plastik Dengan Methode Wenas. Yaitu membungkus Surat Izin Mengemudi (SIM) dengan plastik. Dia memperoleh hak patent No. 25 36. Tapi, "tiba-tiba seluruh pekerjaan berikut rahasia pengolahan dan patent saya diambil alih oleh Kepolisian Metro Jaya." Alasannya, katanya, polisi menyatakan "Indonesia tidak mengakui adanya hak patent." Kejadian itu, katanya, juga atas fitnah ibunya yang melapor ke Kapolri Hoegeng dengan tuduhan Rudolf terIibat subversi. 18 Agustus 1972, ketika ia bekerja sebagai fotograf di Sekretariat Negara, rumahnya di Bogor digerebek orang bersenjata. Tapi Rudolf tertangkap di Jakarta, Oktober 1972, langsung ditahan di Satgas Intel KopKamtib di Jalan Jatibaru, Jakarta. Lalu dipindah ke tempat tahanan di Kebayoran Lama. Di sana sampai delapan bulan. Lalu dibebaskan tanpa surat keterangan -- malah tak pernah diperiksa apa-apa selama dalam tahanan. Pernah juga rumahnya di Jalan Layungsari, Bogor, 16 Januari 1975 "diobrak-abrik CPM untuk mencari senjata api dan bahan peledak." la ditangkap tapi dibebaskan kembali oleh CPM Jakarta karena tak terbukti berbuat kejahatan apapun. Siapa yang membuat pengaduan? Dari seorang petugas ia mendapat keterangan Pelapor adalah M.K., seorang Jepang menantu Ny. Gubbels. Tapi tiga hari setelah ia bebas, ternyata datang kembali tentara menggerebeknya. Dalam keadaan sakit Rudolf diang kut ke tempat tananan Kopkamtib. "Tuduhannya subversi darl senjata gelap lagi." Empat hari dalam tahanan, Rudolf mengaku telah diperlakukan dengan kekerasan, sehingga perlu dirawat di rumahsakit Advent di Bandung selama sebulan. Lalu dibebaskan. Pelapornya Dari petugas intel, kata Rudolf: " .... ibu kandung saya sendiri." Karena merasa terus dikejar-kejar selama dua tahun, akhirnya Rudolf mohon perlindungan hukum dari Menteri Hankam. Dan mencoba mempelajari siapa sebenarnya dirinya, sehingga orang perlu mengejar-ngejarnya sedemikian rupa. Dari keterangan kanan-kiri, kepada beberapa bekas sopir dan pegawai MML --yang disebutnya sebagai saksi hidup --lalu Rudolf mengaku sebagai Lachinsky yunior. MML lahir di Rusia sebagai warganegara Polandia, 19 Januari 1893, dan meninggal 3 Desember 1967 di Tilburg, Belanda. Di Indonesia MML tinggal sebagai pedagang dan tua.n tanah di Polonia. Dan berikut ini cerita versi Rudolf yang pertama: MML konon mempunyai serang sekretaris, Ny. A,V.I. Gubbels atau Ny. Wenas. Dengan sekretarisnya itu MML mengadakan hubungan gelap, sehingga lahirlah Max Rudolf. Nama anak inilah, menurut Kedutaan Besar Polandia di Jakarta, yang tercatat sebagai anak MML dalam dokumen di Warsawa. Khayal Merasa sebagai anli waris MML, maka Rudolf mulai mengumpulkan bahan tentang harta kekayaan MML di sini. Misalnya itu perusahaan Sirnagalih di Megamendung yang dipersengketakannya. Lalu ada sebidang tanah berikut bangunan pabrik di Jalan Rajawali I sampai Xll, tanah 200 Ha dengan 40 rumah, kolam renang, lapangan tennis, tarnan dan tanaman hias di Bidaracina--yang dikenal Polonia Park milik Lachinsky. Sebidang tanah berikut rumah, yang dulu disebut Kantor MML di Pulau Jawa, di Jalan Musium. Perkebunan teh hijau Pengalengan, 5000 Ha di Bandung Selatan, juga dituntutnya sebagai peninggalan almarhum MML. Harta kekayaan MML lain di Medan, yang dulu dikenal sebagai Supermarket Sja'sja' (1925) juga diincar. Juga tanah Lapangan Terbang Polonia, Medan, tengah dalam penelitiannya, Bahkan sebidang tanah di Negeri Belanda, yang terbangun beberapa rumah tinggal dan gedung pertemuan pemburu, Oisterwijk, tak luput dari mata Rudolf. Belum lagi kekayaan MML berupa dividen dari tak kurang 14 perusahaan yang jaya pada waktu MML hidup mulai dari NV. WM.H. Muller & Co, G. Kolff & Co, Java Enamel ac. sampai Yayasan Budi Mulia, Jakarta. Ny. Gubbels geleng kepala. "Apa yang dikatakan Rudolf itu hanya isapan jempol. Ia pemimpi dan tukang khayal. Dia itu dari dulu memang anak nakal. Sayalah ibunya dan saya yang melahirkannya. Ayahnya Wenas." Ibu ini sekarang duduk sebagai saksi dalam perkara pidana anaknya. Namun menurut pengacara Rudolf, Abdulwahab Bakri SH, bagi ibu ini tengah dipersiapkan pengaduan. Rudolf menuduh ibunya telah memalsukan surat kuasa dan surat hibah MML untuk menjual tanah dan rumah peninggalan almarhum di Polonia. Rudolf memiliki bukti yang lumayan. Pemeriksaan Laboratorium Kriminil Kepolisian, menurut Rudolf, membuktikan tandatangan dalam surat yang dipakai Ny. Gubbels tak identik dengan tandatangan MML. Lebih lagi, menurut Ahdulwahab Bakri, Rudolf punya cerita versi terbaru. "Malah Rudolf bilang, ia hukan anak MML dengan Ny Wenas." Lalu anak siapa? "Katanya, ia anak MML dengan ibu Jeanne Maria Paulus." Buktiny memang sulit. Tapi, "coba saja, apa ada seorang ibu hendak mencelakakan anaknya?" begitu kata Rudolf menurut pengacaranya Sang ibu sekali lagi geleng kepala "Oh, Tuhan," begitu keluhnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus