MAX Rudolf Wenas, yang kemudian mengaku anak dan ahli waris
Michael Maximillian Lachinsky (MML), selalu merasa dikejar-kejar
bayangan yang menakutkan. Buktinya, begitu ia keluar dari salah
sebuah rumah di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, 7 Pebruari lalu,
ia disergap tim khusus anti bandit (Tekab) Komdak Metro Jaya di
bunderan air mancur--di Jalan Thamrin. Padahal sebelumnya ia
baru saja memenangkan sengketa melawan 25 tergugat, Januari
sebelumnya, yang diwakili para advokat kenamaan dari Jakarta.
Mulai pengacara Adnan Buyung Nasution SH sampai S Tasrif SH.
Yang dikalahkannya juga bukan sembarangan: Mulai KSAL, Jakarta
Lloyd, beberapa bank pemerintah dan asing sampai beberapa
perorangan yang bertitel tinggi.
Ia belum sempat menikmati kemenangannya memperoleh ganti rugi Rp
15 juta dari masing-masing tergugat dan sejumlah besar bungalow
di Megamendung yang selama ini dikuasai para tergugat (TEMPO, 18
Pebruari). Dan kini ia harus duduk di muka hakim, di Pengadilan
Negeri Bogor--yang memenangkan perkara perdatanya tempo hari --
untuk menghadapi perkara pidana.
Max Wenas, oleh jaksa, diajukan dengan beberapa tuduhan. Yang
pertama, ia harus mempertanggungjawabkan nama Lachinsky yang
belwn lama disandangnya untuk menggantikan nama belakang
namanya: Wenas. Ia dituduh "dengan sengaja telah menggunakan
akte otentik yang tidak cocok dengan keadaan yang sebenarnya."
Yaitu memutarbalikkan petikan Surat Permandian dari Gereja St.
Joseph di Jatinegra, Jakarta, tertanggal 12 Nopember 1974,
hingga ia yang mestinya disebut anak dari bapak A.l. Wenas
dengan ibu A.V.I. Gubbels dan MML dan Jeanne Maria Paulus,
masing-masing sebagai bapak dan ibu baptis, dirubah menjadi: MML
dan A.V.I. Gubbels sebagai ayah dan ibu kandung, sedangkan A.F.
Wenas dan Jeanne Maria Paulus sebagai bapak dan ibu baptis.
Dengan memutarbalikkan isi akte itu, menurut jaksa, Rudolf telah
minta Surat Ketetapan Pengadilan Negeri Bandung, yang diberikan
22 Pebruari 1975, yang menyatakan Rudolf itu anak dar ahli waris
MML. Begitulah, dengan bekal surat-surat keterangan tersebut,
udolf memenangkan gugatan atas Bungalow edrijf Sirnagalih di
Megamendung, Puncak, Bogor.
Tuduhan berikutnya, dengan surat-surat itu juga, Rudolf telah
mengancam dengan kekerasan, malah menggunakan oknum ABRI sebagai
pelindung, saksi Ny. Laluyan bersama 15 orang lainnya untuk
menyerahkan kunci Villa Durno di Megamendung. Juga, bersama
advokat Saleh Tompo SH, tertuduh pernah melakukan hal yang sama
atas rumah saksi Ny. Siti Sarifah Soekotjo. Pun, "dengan memakai
nama dan keadaan palsu," kata jaksa, tertuduh telah minta
pembayaran tanan seharga Rp 1000/mmÿFD kepada lima orang saksi
yang dianggapnya menduduki tanah peninggalan MML.
Villa Durno.
Pengadilan kini tengah memeriksa tertuduh dan para saksi --
terutama ibu tertuduh sendiri, Ny. Wenas atau Gubbels, yang
nampaknya memberatkan posisi anaknya.
Siapa Max Rudolf Wenas alias Lachinsky ini? Ibunya bilang, "saya
tentu yang paling tahu anak siapa Max Rudolf itu." Akte
kelahirannya memang sudah tak, ada lagi. "Sudah saya berikan
begitu ia dewasa - tapi ternyata dihilangkannya atau mungkin
sengaja disembunyikannya." Tapi ada surat keterangan lain, dari
Kelurahan Bidaracina (1954), ketetapan pengadilan Jakarta
(1960), Surat pendaftaran penduduk di aman Jepang (1943), yang
semuanya menyatakan Max Rudolf itu anak ke III dari A.F. Wenas.
Tapi Rudolf memiliki cerita dan pengalaman hidup yang ditulisnya
sendiri. Berjudul "Max Rudolf Lachinsky Yang Dahulu Bernama Max
Rudolf Wenas."
A.F. Wenas, almarhum, pegawai Bank Indonesia (terakhir), berasal
dari Kampung Tonsea, Manado (31 Desember 1898). Ibunya, Gubbels,
seorang Indo: bapaknya Belanda totok dan ibunya asli orang
Muntilan, Jawa Tengah. Rudolf sendiri, lahir 28 Desember 1934 di
Polonia, Jatinegara (Jakarta). Namun keadaan fisiknya, katanya,
berbeda dengan kelima saudara anak Wenas yang lain. Rudolf,
tinggi 1,65 meter, kulit putih, rambut pirang, mata biru, hidung
mancung, merasa seperti orang Barat.
Tapi sampai dewasa Rudolf merasa sebagai anak Wenas dan tinggal
di Jatinegara. Dari kecil hingga besar, ia merasa telah
diperlakukan secara tak wajar oleh ibunya. Sebelum tahun 1950,
katanya, ia telah ditempatkan di tempat tahanan anak nakal di
Tangerang. Selama delapan bulan ia di sana. Karena "Saya merasa
tak mendapat perhatian sebagaimana kasih sayang orang tua,"
tulisnya, ia ikut keluarga Kapten R. Djohari (sekarang
berpangkat Mayor Jenderal di Bandung). Hanya sesekali saja
pulang ke Polonia.
Pada 5 Juli 1958, ketika ia berada di Polonia tiba-tiba saja ia
digerebek tentara. Ia ditangkap dan dianiaya dengan popor
bedil. Kepalanya cidera, sampai harus mengalami 11 jahitan, dan
gegar otak. Selama di rumahsakit, katanya, ia dikawal dengan
laras senjata api. Dari rumahsakit terus diangkut ke rumah
tahanan militer di Glodok dan disel di bawah tanah. Baru dalam
pemeriksaan yang berwajib ia tahu kesalahan apa yang dituduhkan.
Yaitu sebagai matamata APRA-nya Westerling.
Rudolf telah memperoleh sakramen suci terakhir sebelum
dibebaskan oleh keputusan Mayor Soeroto (Desember 1958). Dari
seorang militer Rudolf dapat menuduh ibunya sebagai yang
menjerumuskannya ke bui. Juga, pada kejadian berikutnya yang
menyebabkan ia harus keluar masuk tahanan dan mengalami beberapa
siksaan, selalu disebutnya "fitnahan dari ibu kandung saya
sendiri."
Fotograf Sekneg
Pernah Rudolf merasa bakal jadi orang. Ia menemukan Pengolahan
Bahan Plastik Dengan Methode Wenas. Yaitu membungkus Surat Izin
Mengemudi (SIM) dengan plastik. Dia memperoleh hak patent No. 25
36. Tapi, "tiba-tiba seluruh pekerjaan berikut rahasia
pengolahan dan patent saya diambil alih oleh Kepolisian Metro
Jaya." Alasannya, katanya, polisi menyatakan "Indonesia tidak
mengakui adanya hak patent." Kejadian itu, katanya, juga atas
fitnah ibunya yang melapor ke Kapolri Hoegeng dengan tuduhan
Rudolf terIibat subversi.
18 Agustus 1972, ketika ia bekerja sebagai fotograf di
Sekretariat Negara, rumahnya di Bogor digerebek orang
bersenjata. Tapi Rudolf tertangkap di Jakarta, Oktober 1972,
langsung ditahan di Satgas Intel KopKamtib di Jalan Jatibaru,
Jakarta. Lalu dipindah ke tempat tahanan di Kebayoran Lama. Di
sana sampai delapan bulan. Lalu dibebaskan tanpa surat
keterangan -- malah tak pernah diperiksa apa-apa selama dalam
tahanan.
Pernah juga rumahnya di Jalan Layungsari, Bogor, 16 Januari 1975
"diobrak-abrik CPM untuk mencari senjata api dan bahan peledak."
la ditangkap tapi dibebaskan kembali oleh CPM Jakarta karena tak
terbukti berbuat kejahatan apapun. Siapa yang membuat pengaduan?
Dari seorang petugas ia mendapat keterangan Pelapor adalah M.K.,
seorang Jepang menantu Ny. Gubbels. Tapi tiga hari setelah ia
bebas, ternyata datang kembali tentara menggerebeknya. Dalam
keadaan sakit Rudolf diang kut ke tempat tananan Kopkamtib.
"Tuduhannya subversi darl senjata gelap lagi." Empat hari dalam
tahanan, Rudolf mengaku telah diperlakukan dengan kekerasan,
sehingga perlu dirawat di rumahsakit Advent di Bandung selama
sebulan. Lalu dibebaskan.
Pelapornya Dari petugas intel, kata Rudolf: " .... ibu kandung
saya sendiri." Karena merasa terus dikejar-kejar selama dua
tahun, akhirnya Rudolf mohon perlindungan hukum dari Menteri
Hankam. Dan mencoba mempelajari siapa sebenarnya dirinya,
sehingga orang perlu mengejar-ngejarnya sedemikian rupa. Dari
keterangan kanan-kiri, kepada beberapa bekas sopir dan pegawai
MML --yang disebutnya sebagai saksi hidup --lalu Rudolf mengaku
sebagai Lachinsky yunior.
MML lahir di Rusia sebagai warganegara Polandia, 19 Januari
1893, dan meninggal 3 Desember 1967 di Tilburg, Belanda. Di
Indonesia MML tinggal sebagai pedagang dan tua.n tanah di
Polonia. Dan berikut ini cerita versi Rudolf yang pertama: MML
konon mempunyai serang sekretaris, Ny. A,V.I. Gubbels atau Ny.
Wenas. Dengan sekretarisnya itu MML mengadakan hubungan gelap,
sehingga lahirlah Max Rudolf. Nama anak inilah, menurut Kedutaan
Besar Polandia di Jakarta, yang tercatat sebagai anak MML dalam
dokumen di Warsawa.
Khayal
Merasa sebagai anli waris MML, maka Rudolf mulai mengumpulkan
bahan tentang harta kekayaan MML di sini. Misalnya itu
perusahaan Sirnagalih di Megamendung yang dipersengketakannya.
Lalu ada sebidang tanah berikut bangunan pabrik di Jalan
Rajawali I sampai Xll, tanah 200 Ha dengan 40 rumah, kolam
renang, lapangan tennis, tarnan dan tanaman hias di
Bidaracina--yang dikenal Polonia Park milik Lachinsky. Sebidang
tanah berikut rumah, yang dulu disebut Kantor MML di Pulau Jawa,
di Jalan Musium. Perkebunan teh hijau Pengalengan, 5000 Ha di
Bandung Selatan, juga dituntutnya sebagai peninggalan almarhum
MML.
Harta kekayaan MML lain di Medan, yang dulu dikenal sebagai
Supermarket Sja'sja' (1925) juga diincar. Juga tanah Lapangan
Terbang Polonia, Medan, tengah dalam penelitiannya, Bahkan
sebidang tanah di Negeri Belanda, yang terbangun beberapa rumah
tinggal dan gedung pertemuan pemburu, Oisterwijk, tak luput dari
mata Rudolf.
Belum lagi kekayaan MML berupa dividen dari tak kurang 14
perusahaan yang jaya pada waktu MML hidup mulai dari NV. WM.H.
Muller & Co, G. Kolff & Co, Java Enamel ac. sampai Yayasan Budi
Mulia, Jakarta.
Ny. Gubbels geleng kepala. "Apa yang dikatakan Rudolf itu hanya
isapan jempol. Ia pemimpi dan tukang khayal. Dia itu dari dulu
memang anak nakal. Sayalah ibunya dan saya yang melahirkannya.
Ayahnya Wenas." Ibu ini sekarang duduk sebagai saksi dalam
perkara pidana anaknya. Namun menurut pengacara Rudolf,
Abdulwahab Bakri SH, bagi ibu ini tengah dipersiapkan pengaduan.
Rudolf menuduh ibunya telah memalsukan surat kuasa dan surat
hibah MML untuk menjual tanah dan rumah peninggalan almarhum di
Polonia. Rudolf memiliki bukti yang lumayan. Pemeriksaan
Laboratorium Kriminil Kepolisian, menurut Rudolf, membuktikan
tandatangan dalam surat yang dipakai Ny. Gubbels tak identik
dengan tandatangan MML.
Lebih lagi, menurut Ahdulwahab Bakri, Rudolf punya cerita versi
terbaru. "Malah Rudolf bilang, ia hukan anak MML dengan Ny
Wenas." Lalu anak siapa? "Katanya, ia anak MML dengan ibu Jeanne
Maria Paulus." Buktiny memang sulit. Tapi, "coba saja, apa ada
seorang ibu hendak mencelakakan anaknya?" begitu kata Rudolf
menurut pengacaranya Sang ibu sekali lagi geleng kepala "Oh,
Tuhan," begitu keluhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini