CERITANYA bermula dengan munculnya sebuah berita dalam The
Manchester Guardian yang terbit di London awal bulan ini. Surat
kabar itu mengatakan adanya "sebuah kapal nelayan Filipina yang
berlayar menuju Pulau Panata yang terletak di gugusan
pulau-pulau Spratly di Laut Cina Selatan dan menancapkan bendera
Filipina di pulau tersebut."
Apa yang disebut perahu nelayan itu ternyata merupakan bagian
dari operasi militer sebuah satuan Angkatan Laut Filipina untuk
mendudukL salah satu pulau dari Kepulauan Spratly yang sudah
sejak lama menjadi sengketa antara beberapa negara Asia RRC,
Filipina, Taiwan dan Vietnam.
Tanggal 4 bulan ini langkah yang dilakukan Filipina itu diakui
sendiri oleh Menteri Muda Pertahanan Carmelo Barbero. Menurut
Barbero, sampai sekarang negaranya telah menduduki dan
menempatkan pasukan di tujuh pulau yang termasuk kawasan
Spratly, yaitu Pagasa, Parula, Jikae, Kuta, Lanak, Patag dan
yang terakhir Panata. Kalau diukur luasnya, Filipina sekarang
menguasai tanah seluas 100 hektar di gugusan pulau-pulau
tersebut.
Toleransi Vietnam?
Sebegitu jauh belum ada reaksi keras dari negara-negara lain
yang punya klaim atas daerah itu, kecuali dari pihak RRC.
Pasukan Vietnam yang telah berada di 3 pulau lain dekat Panata
yaitu Pugad, Namyit dan Sincove kabarnya tidak berusaha
menghalangi operasi tersebut. Para peninjau menduga bahwa
toleransi Vietnam itu adalah hasil perjanjian diam-diam ketika
Menteri Luar Negeri Nguyen Duy Trinh berkunjung ke Manila awal
tahun ini.
Yang protes pertama-tama dan keras sekali adalah RRC. Hanya 4
hari menjelang kunjungan Wakil Perdana Menteri Li Hsien-nien ke
Manila, seorang jurubicara Kementerian Luar Negeri Cina
mengecam tindakan tersebut sebagai tidak bersahabat. Ia
mengingatkan bahwa pernyataan RRC pada tanggal 14 Juni 1976
mengenai masalah tersebut masih berlaku.
Pada tanggal itu Peking telah mengeluarkan pernyataan mengecam
dan memprotes kegiatan mencari minyak yang dilakukan oleh
Konsorsium Minyak Swedia-Filipina di suatu wilayah yang diberi
nama The Reed Bank, 250 km sebelah timur laut Spratly dan
kira-kira 400 km sebelah barat pulau Palawan yang jadi wilayah
Filipina. Dalam pernyataan tersebut dikatakan bahwa segala
kegiatan militer atau pencarian minyak oleh siapa pun di sana
merupakan pelanggaran atas kedaulatan dan wilayah KRC. Klaim apa
pun atas daerah itu yang diajukan oleh negara mana pun adalah
tidak sah dan melanggar tata-cara pergaulan antar bangsa.
Pada mulanya para pengamat hanya melihat pada faktor
terkandungnya deposit minyak di wilayah itu dalam situasi dunia
yang sedang kehausan enerji. Diperkirakan bahwa Spratly
terbentuk dari gunung-gunung berapi yang muncul dari dasar laut.
Memang menurut penelitian wilavah itu mengandung deposit
sedimenter berasal dari Mekong dan sungai-sungai besar lain yang
mengalir melalui daerah yang sekarang bernama Laut Cina Selatan
dan Teluk Siam paling kurang 10.000 tahun yang lalu. Ketika itu
permukaan laut masih rendah. Deposit-deposit sedimenter
merupakan tempat yang paling ideal buat mencari minyak.
Continental Shelf
Namun, motif Filipina bukan sekedar perlu minyak saja. Ada
faktor sekuriti yang mempengaruhi. Negara mana saja menguasai
pulau-pulau itu berarti ia menguasai pula jalurjalur pelayaran
di Laut Cina Selatan yang luas. Selain itu Filipina pun
dikelilingi oleh laut dalam yang bisa dipergunakan oleh kapal
selam untuk beroperasi. Karenanya ia mengklaim dan menduduki
beberapa pulau atas dasar prinsip continental shelf. Atas dasar
ini negeri mana saja bisa mengajukan klaim atas pulau-pulau
Spratly.
Di awal tahun 70-an Marcos menyatakan bahwa Spratly adalah
wilayah tak bcrtuan dan sedang dipersengketakan. Karenanya
negara mana saja blsa mengajukan klaim dan mengadakan
pendudukan.
Adapun dasar yang digunakan oleh RRC dan Taiwan lain lagi.
Mereka mengajukan klaim atas Spratly atas dasar faktor-faktor
historis. Dinasti Yuan (1282) adalah penemu pertama pulau-pulau
itu, dan sejak itu terus-menerus berada di bawah administrasi
dinasti-dinasti berikutnya.
Klaim Cina atas Spratly baru mendapat sanggahan pada tahun 1931.
Ketika itu pemerintah Perancis mengajukan surat kepada
perwakilan Republik Cina ( Kuomintang) di Paris. Isinya menuntut
penguasaan kepulauan Paracel atas dasar historis pula. Katanya
pada tahun 1816 Kaisar Gia Long telah menguasai pulau-pulau itu
dan pada tahun 1835 Kaisar Minh-Mang telah mengirimkan beberapa
ratus bawahannya untuk mendirikan kuil di salah satu pulau.
Klaim itu disertai pula dengan klaim lain atas Spratly. Ketika
itu Perancis masih menjajah Vietnam, sehingga ia merasa punya
hak atas wilayah-wilayah yang secara historis pernah dikuasai
oleh Kekaisaran Vietnam. Di tahun 1938 ketika Cina sedang sibuk
berperang dengan Jepang, Paracel direbut Perancis. Dan seiring
dengan terdesaknya kaum kolonialis Perancis dari Indo Cina pada
tahun 1939, Jepang merebut Hainan, Paracel dan Spratly. Tahun
1945 dengan kekalahan Jepang Republik Cina kembali mengambil
alih wilayah-wilayah itu.
Dalam tahun 1950 RRC mendaratkan tentaranya di Hainan dan
Kuomintang pun kemudian menarik tentaranya dari Spratly dan
Paracel. Agustus 1951, hanya satu bulan sebelum Konperensi
Perdamaian Jepang di San Francisco dibuka Chou En-lai
menjelaskan klaim negaranya atas Kcpulauan Nanwei (Spratly) dan
Hsisha (Paracel).
Di bawah naungan perjanjian San Francisco sekali lagi Jepang
mengajukan yurisdiksi atas Spratly. Namun perjanjian itu
ternyata tidak secara khusus menyatakan siapa vang berkuasa
atas Spratly. Atas dasar inilah kemudian Filipina juga
mengajukan klaimnya.
Dalam tahun 1956 seorang pengacara Filipina bernama Tomas Clomas
mengadakan ekspedisi yang dibiayai sendiri ke Spratly dan
menyatakan dirinya berdaulat atas beberapa pulau di Spratly. Ia
menamakan pulau vang didudukinva "Freedomland" dan berusaha
memperoleh status protektorat dari pemerintah Manila.
Tindakan Clomas ini menimbulkan protes Taiwan dan mengirim suatu
satuan militer ke sana. Ketika mereka tiba orang-orang Filipina
sudah pergi dan pasukan Taiwan pun sejak itu menduduki pulau
yang bernama Itu Aba. Mereka masih berada di sana sampai
sekarang.
Pada waktu yang hampir bersamaan Sepasukan Vietnam Selatan tiba
di sana. Dan pada tahun 1975 mereka kemudian digantikan oleh
satuan tentara komunis.
Menurut rencana, Konperensi Hukum Laut Internasional akan dibuka
pada akhir bulan ini di Jenewa. Dan masalah sengketa mengenai
Kepulauan Paracel dan Spratly pasti akan jadi topik menarik bagi
para ahli hukum internasional. Di samping itu persoalan tersebut
pasti akan jadi bom waktu baru yang bisa mengganggu kestabilan
kawasan Asia di samping Korea, Selat Taiwan, perbatasan
Kamboja-Vietnam-Thailand-Laos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini