Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK mudah bagi rakyat Prancis ketika pada Ahad, 5 Mei kemarin, harus memilih antara seorang pemimpin partai yang cenderung fasis yang ditakutkan menjadi Hitler di abad ke-21 ini dan seseorang yang dianggap terlibat korupsi sehingga pemerintahannya dianggap tak bermoral. Dua calon presiden itu Jean-Marie Le Pen dan Jacques Chirac.
Kemenangan Chirac memang sudah membayang dari pol pendapat yang dilakukan berbagai pihak dan dari kampanye dua kandidat tersebut sebelum 5 Mei. Tak satu pun pol yang menyimpulkan Le Pen, pemimpin veteran Front Nasional, partai ekstrem kanan, bakal menang. Lalu, hanya di Marseilles, Le Pen mendapat dukungan yang agak berarti.
Tapi Chirac bukannya tanpa cacat berat. Presiden Prancis yang masa pemerintahannya berakhir pada tahun ini itu dianggap terlibat sejumlah kasus korupsi. Dan para pengkritiknya mengecap pemerintahannya tidak bermoral. Selain itu, selama tujuh tahun pemerintahannya, kriminalitas dianggap meningkat.
Dalam berbagai kampanyenya, Chirac memang berjanji, kalau terpilih lagi, ia akan mengubah undang-undang, yakni undang-undang yang tak memungkinkan seorang Presiden Prancis tak bisa diusut keterlibatannya dalam korupsi tanpa bukti-bukti yang sudah sangat kuat.
Tapi adakah Chirac masih didengarkan oleh rakyat Prancis? Yang mungkin terjadi, Prancis bakal memiliki oposisi yang kuat kali ini. Hitung saja, selisih perolehan suara pada pemilihan presiden putaran pertama antara Chirac dan Le Pen tipis, hanya sekitar 3 persen—Chirac 19,88 persen, sedangkan Le Pen 16,86 persen. (Itu sebabnya diadakan pemilihan putaran kedua karena tak ada pemenang mayoritas pada pemilihan pertama yang diikuti oleh 16 kandidat itu—demikianlah aturan main di Prancis sana.)
Chirac diuntungkan para pemilih yang takut akan munculnya Hitler kedua dan khawatir bila Prancis keluar dari Uni Eropa. Sedangkan Le Pen akan men-dapat suara dari para pemilih yang mencemaskan soal kriminalitas (yang meningkat di masa Chirac) dan yang tak merasa enak dengan meningkatnya imigran dari Afrika.
Alhasil, siapa pun Presiden Prancis untuk pemerintahan lima tahun ini (tahun lalu, masa jabatan Presiden Prancis di-kurangi dari tujuh menjadi lima tahun) akan menghadapi oposisi yang kuat. Dan itu bisa membuat masalah pengangguran, keamanan, korupsi, dan sebagainya tanpa solusi—bila pemerintah dan parlemen tak mudah berkompromi. Orang bilang, antara Chirac dan Le Pen seperti tiada kompromi.
Dan sebenarnya, para pemilih dihinggapi rasa malas dihadapkan pada pilihan yang bak memilih buah simalakama itu. Jumlah pemilih yang membuang hak memilihnya tampaknya makin besar. Tujuh tahun lalu, ketika Chirac memenangi pemilihan presiden, suara abstain cukup banyak, lebih dari 20 persen. April lalu, dalam putaran pertama pemilihan presiden 2002, "golput" Prancis mencapai lebih dari 28 persen.
Prancis kali ini berangkat dengan seorang presiden yang tak sepenuhnya mendapat dukungan. Mereka yang menjatuhkan pilihan seperti terpaksa memilih agar Prancis punya presiden. "Saya terpaksa memilh Chirac, yang tak saya sukai," kata seorang perempuan dalam satu kampanye.
Andari Karina Anom (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo