Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH bertahun-tahun terengah-engah, akhirnya Surabaya Post kehabisan napas. Mulai Rabu pekan lalu, koran sore yang pernah sangat berpengaruh di Jawa Timur itu berhenti terbit sama sekali. Tiras yang kian menipis—terakhir cuma mencapai 10 ribu eksemplar—dan keuangan yang terus "berdarah" mengakhiri sejarah panjang koran berusia setengah abad itu.
Didirikan pada tahun 1953 oleh pasangan Abdul Azis dan Toety Azis, Surabaya Post pernah mengalami masa jaya sekitar tahun 1960-an sampai l980-an. Saat itu tirasnya pernah mencapai 90 ribu eksemplar. Ketika terjadi Perang Teluk tahun 1991, tirasnya bahkan sempat melonjak jadi 120 ribu eksemplar.
Di masa jayanya, Surabaya Post mampu membeli mesin cetak offset, juga mendirikan gedung berlantai lima di Jalan Taman Ade Irma Suryani Nasution dan membangun Balai Perpustakaan. Kemakmuran Surabaya Post menetes juga ke karyawannya. Selain mendapat rumah, mobil, dan televisi, karyawan juga memperoleh asuransi kesehatan senilai US$ 100 per bulan. "Pak Azis tahu apa yang dibutuhkan para karyawannya," kata Ali Salim, salah seorang mantan wartawan Surabaya Post.
Surabaya Post tercatat sebagai surat kabar yang berhasil menggabungkan kepentingan bisnis dengan idealisme kewartawanan. Sejak jauh hari koran itu juga telah berusaha mengembangkan jurnalisme damai dan tidak mengambil keuntungan atas pemberitaan. "Kalaupun koran ini mengkritik, Pak Azis tidak ingin menyakiti orang," kata Ali.
Namun, zaman berubah. Tiras Surabaya Post mulai turun setelah muncul Jawa Pos, pesaing barunya di Jawa Timur yang juga terbit sore hari. Kemerosotan kian terasa setelah Abdul Azis wafat di tahun 1984. Toety, istri Abdul Azis, hanya mampu menahan sementara kemerosotan itu. Tapi, sepeninggalnya, Surabaya Post benar-benar ambrol.
Kondisi gawat itu tak bisa diperbaiki Glady Indriani Azis, anak perempuan Azis-Toety, ataupun Indra Jaya Azis, adik Glady, yang menggantikannya di tahun l999. Malah, sejak Indra tampil, kondisi koran itu terlihat semakin parah. Inovasi yang dilakukannya dengan menambah jumlah halaman, menerbitkan suplemen dan Tabloid Kredit, tampaknya justru membuat keuangan perusahaan kian "berdarah".
Tahun lalu, misalnya, koran itu menderita defisit Rp 1,2 miliar. Sejak Januari lalu, untuk membeli kertas serta bahan baku lain seperti tinta dan pelat, manajemen Surabaya Post harus berutang Rp 1 miliar. Bahkan untuk membayar petugas kebersihan pun perusahaan meminjam Rp 95 juta kepada koperasi karyawan. Tidak itu saja, tagihan telepon belum terbayar sehingga diancam putus oleh Telkom. Hal yang sama terjadi pada tagihan listrik. Dan akhirnya, 30 April lalu, persediaan kertas yang menjadi bahan baku untuk produksi koran habis. Sementara itu, gaji karyawan sejak Januari terus-menerus terlambat dibayar.
Tenggelamnya kapal Surabaya Post tak tertahan, kendati manajemen telah melakukan sejumlah langkah penghematan seperti mengurangi jumlah halaman, menaikkan ongkos langganan, dan menghentikan penerbitan suplemen serta Tabloid Kredit. "Padahal dari tindakan itu kita bisa menghemat Rp 400 juta sebulan," kata Angki Siswanto, Pemimpin Perusahaan PT Surabaya Post.
Anehnya, di tengah gunjang-ganjing yang menimpa Surabaya Post, Maret lalu Haryono, suami Glady, yang juga pernah menjadi petinggi harian tersebut, malah mendirikan koran Berita Sore. Langkah itu tak pelak menyuburkan kabar angin adanya cekcok antara ketiga anak Azis-Toety yang menjadi ahli waris Surabaya Post.
Kabarnya, perselisihan terutama bersumber pada masalah pengelolaan Surabaya Post. Menurut Haryono, Wakil Pemimpin Umum Surabaya Post, Glady dan Iwan Jaya Azis—ekonom kenamaan yang kini mengajar di Universitas Cornell, Amerika—ingin agar koran peninggalan orang tua mereka itu dikelola oleh manajemen profesional. Dan untuk menambah modal, bila perlu mereka bersedia menjual sahamnya kepada investor.
Belakangan, Glady, yang juga istri Haryono, malah bersedia menyerahkan saham miliknya kepada karyawan Surabaya Post. "Koran itu akan lebih baik bila karyawan ikut memiliki saham," kata Haryono, menirukan ucapan istrinya. Glady juga bersedia meminjamkan se-bagian depositonya untuk membayar gaji karyawan.
Namun, keinginan Glady tampaknya bertepuk sebelah tangan. Ketika Indra Jaya Aziz menjadi pemimpin menggantikan posisi Glady, keinginan berbagi saham dengan karyawan itu nyatanya tak pernah terwujud. Karyawan bahkan jarang bersua dengan Indra. "Datang ke Surabaya saja jarang sekali dan ia sulit dihubungi karyawan," kata Saiful Irwan, Ketua Serikat Pekerja Surabaya Post.
Tentu saja karyawan Surabaya, yang nasibnya tengah di ujung tanduk itu, kini berharap bisa bertemu dengan Indra. TEMPO sendiri, yang berkali-kali mencoba menghubungi Indra, juga belum berhasil meminta konfirmasi darinya.
Nugroho Dewanto, Zed Abidin, Sunudyantoro, Wahyu Dyatmika (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo