Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Rakyat Jepang diguncang kasus mutilasi mengerikan terhadap kucing. Kasus pertama dimulai ketika seorang wanita menemukan kepala dan cakar kucing berbintik coklat yang terpenggal saat sedang berjalan di sepanjang tepi Sungai Arakawa di Kota Saitama, Jepang. Beberapa hari kemudian, polisi menemukan sisa tubuh kucing ditemukan di halaman sebuah sekolah dasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak akhir Februari, anggota masyarakat telah menemukan dua lagi bangkai kucing yang dimutilasi. Satu bangkai kucing ditemukan di lapangan dan satu lagi di pinggir jalan kota kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tindakan mengerikan ini mungkin tidak melibatkan korban manusia, namun kota di wilayah Greater Tokyo dalam keadaan genting karena kasus mutilasi terhadap kucing. Sekolah setempat meminta guru untuk mengantar anak-anak pulang dan menasihati mereka untuk berjalan dalam kelompok besar. Polisi pun telah meningkatkan patroli, menurut penyiar publik Jepang NHK.
Pembunuhan terhadap kucing itu telah menimbulkan kenangan tidak nyaman di Saitama. Dalam beberapa tahun terakhir, kota Saitama telah memenjarakan seorang pembunuh kucing yang menyiksa beberapa hewan dan memposting video tindakannya secara online.
Jepang juga mencatatkan momok pembunuhan anak-anak Kota Kobe pada 1990-an, ketika seorang anak laki-laki berusia 14 tahun dengan riwayat melakukan tindakan kekejaman terhadap hewan membunuh dua anak berusia 10 dan 11 tahun. Pelaku yang masih belia ini juga melukai tiga lainnya.
Pembunuhan kucing itu terjadi pada saat yang membingungkan bagi sekolah-sekolah di daerah tersebut. Awal pekan ini, seorang guru di sekolah menengah pertama di Toda dilaporkan ditikam oleh seorang siswa, yang memicu evakuasi.
Seorang juru bicara polisi Saitama mengatakan kepada CNN bahwa mereka telah meluncurkan investigasi kekejaman terhadap hewan. Polisi sedang menyelidiki apakah berbagai pembunuhan kucing saling berkaitan.
Di Jepang, membunuh atau melukai hewan termasuk tindak kejahatan. Pelakunya dapat dihukum hingga lima tahun penjara atau denda sekitar 5 juta yen (US$ 36.600).
Seorang wanita berusia 80-an mengatakan kepada NHK bahwa dia merasa takut dan tidak nyaman mendengar berita tentang pembunuhan kucing. Setelah pembunuhan tersebut, berbagai ahli telah memperingatkan bahwa dalam beberapa pikiran kekejaman terhadap hewan dapat bertindak sebagai pintu gerbang menuju kejahatan yang lebih keji.
“Biasanya, tindakan kriminal dan kekejaman disembunyikan, tetapi berani menunjukkannya mungkin merupakan bentuk ekspresi diri,” ujar Kenji Omata, seorang profesor psikologi dari Universitas Surugadai kepada NHK.
Omata merujuk kedua kasus pembunuh kucing sebelumnya di prefektur Saitama. "Ada juga pelecehan hewan dalam kasus pembunuhan berantai anak di Kota Kobe," ujarnya. “Saya sangat prihatin berapa lama insiden serupa akan berlanjut dan apakah orang akan dirugikan,” kata Omata.
Kim J. McCoy, seorang pengacara yang mendirikan Organisasi Perlindungan dan Hukum Hewan Hong Kong, memperingatkan bahwa beberapa kasus kekejaman terhadap hewan berkembang menjadi pelanggaran yang lebih serius terhadap manusia. “Ada bukti empiris yang mendukung korelasi langsung antara mereka yang melakukan kekerasan terhadap hewan dan mereka yang melakukan kejahatan lain yang lebih kejam terhadap manusia,” kata McCoy.
Bahkan ketika kekerasan terbatas pada hewan, masih ada kebutuhan untuk bertindak. “Hewan rentan,” kata McCoy. “Mereka pantas dan membutuhkan perlindungan yang tepat dari bahaya.”