Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kebencian yang Bertahan Lama

Pembunuhan tiga pria, dua muslim dan satu Arab, menyulut kemarahan warga keturunan di Amerika. Diduga dipicu oleh Islamofobia yang meningkat selama masa kampanye pemilu presiden.

22 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KHALID Jabara, 37 tahun, akhirnya tersungkur di teras rumahnya sendiri. Jumat malam dua pekan lalu, empat peluru bersarang di tubuhnya. Di dekat genangan darahnya, ada sebuah telepon seluler yang masih menyala; alat yang memberi tahu ibundanya detik-detik terakhir kehidupan Khalid setelah seorang tetangga menembaknya.

"Haifa mendengar peristiwa paling mengerikan dalam kehidupan para ibu: tembakan yang menewaskan anaknya," kata Rebecca Abou-Chedid, kerabat keluarga Jabara, kepada CNN. Sebelum meninggal, melalui ponsel di atas, Khalid memperingatkan ibunya agar tak kembali ke rumah untuk sementara waktu—sebelum empat letusan mengakhiri hidupnya.

Khalid yang keturunan Libanon itu sempat menelepon nomor darurat 911. Ia meminta pertolongan Kepolisian Tulsa, Negara Bagian Oklahoma, karena melihat tetangganya, Stanley Vernon Majors, 61 tahun, membawa senjata api. "Saudara saya sudah menegaskan khawatir akan keselamatannya," ujar Victoria Jabara Williams, saudara perempuan Khalid, dalam pernyataan di Facebook-nya.

Tiba di kediaman Jabara, polisi menggedor rumah Majors, tapi tidak ada seorang pun muncul membukakan pintu. Apa mau dikata, delapan menit setelah polisi berlalu, Khalid tewas bersimbah darah.

Berita sepekan lalu itu menunjukkan Amerika Serikat bukan tempat yang nyaman bagi orang yang berpenampilan seperti muslim. Sabtu siang, setelah salat zuhur, imam masjid Queens, New York, yang berasal dari Bangladesh roboh oleh peluru sesama warga Amerika. Ya, hanya beberapa jam setelah Khalid ditembak tetangganya, Maulama Alauddin Akonjee, 55 tahun, imam Masjid Jami Al-Furqan, dan kawannya, Thara Uddin, 64 tahun, ditembak dari belakang dalam perjalanan pulang di Taman Ozone, Queens, New York. Keduanya tewas dalam perjalanan ke rumah sakit.

Kematian dua muslim dan satu Arab Nasrani yang susul-menyusul itu mengguncang komunitas muslim dan Arab Amerika. Badrul Khan, pendiri Masjid Al-Furqan, menegaskan, satu-satunya motif yang terpikir dalam kematian Akonjee dan Thara Uddin adalah kejahatan karena kebencian. Apalagi keduanya tewas mengenakan gamis, pakaian muslim. "Mereka adalah orang baik dan tak pernah bermasalah dengan orang lain. Ini adalah kejahatan karena kebencian, tak ada motif lain," tutur Khan.

Rangkaian kekerasan ini mendorong ratusan warga muslim keturunan Bangladesh berunjuk rasa menuntut keadilan. Saat pemakaman, Senin pekan lalu, Zead Ramadan, Direktur Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) wilayah New York, mengaitkan pembunuhan ini dengan retorika kontroversial Donald Trump, kandidat presiden dari Partai Republik.

"Kami hidup di mana kandidat mencoba mendapatkan kursi tertinggi dan paling berkuasa di dunia, dengan retorika kebencian terhadap muslim, termasuk terhadap sesama warga negara," kata Ramadan, seperti dikutip BBC. "Islamofobia semacam ini terus menjamur." Sementara itu, tagar #Justice4Khalid menjadi topik utama di Twitter di Amerika pekan lalu. Sejumlah warga keturunan Arab menyatakan kemarahan mereka atas pembunuhan Khalid. Akun @craziforlife mencuit, "Ini adalah musim memburu warga kulit hitam, Hispanik, muslim, Asia Selatan. Tapi #AllLivesMatter, kan? Omong kosong" #Justice4Khalid.

Kemarahan warga keturunan memuncak karena polisi dalam dua insiden itu sedari awal menepis dugaan kejahatan atas kebencian. Polisi New York telah menangkap Oscar Morrel, 35 tahun, pembunuh Akonjee dan Thara Uddin, tapi dugaan motifnya belum diketahui. Dugaan kejahatan karena kebencian malah diabaikan walau kedua korban tewas mengenakan pakaian muslim. "Tidak ada indikasi mereka dibunuh karena keyakinan," ucap Wakil Inspektur Henry Sautner. Adapun Wakil Jaksa Distrik Tulsa, John David Luton, pada Senin pekan lalu menegaskan masih terlalu awal mendakwa Majors dengan kejahatan berbasis kebencian atas kematian Khalid.

Bertahun-tahun keluarga Jabara hidup dalam teror Majors. Intimidasi, kekerasan verbal hingga fisik terjadi sejak pria homoseksual itu pindah ke lingkungan rumah Jabara pada 2012. "Ia menghina kami terus-menerus. Menyebut kami 'Arab kotor, pergi dari sini. Ayerab, Mooslims,'" ujar Haifa kepada CNN.

Bukan hanya keluarga Jabara, sejumlah tetangga dari kelompok minoritas juga mengeluhkan gangguan Majors kepada polisi. Pada 2013, Haifa mengajukan larangan mendekat terhadap Majors karena gangguan yang semakin meningkat. Dua tahun kemudian, Khalid juga mengajukan permintaan yang sama kepada pengadilan.

Tapi polisi tak bergerak sampai akhirnya, pada 12 September 2015, Majors ditangkap dalam kondisi mabuk berat. Dia telah menabrak Haifa dengan mobilnya. Seorang perempuan menelepon 911 dan Haifa dirawat selama delapan bulan karena bahu dan iganya patah, paru-paru luka, serta sejumlah luka lain. Polisi dalam insiden itu bersaksi Majors menyebut keluarga Jabara sebagai "Libanon kotor" yang membunuh orang-orang gay—mengacu pada hukuman Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) terhadap kelompok homoseksual.

Sempat mendekam delapan bulan di bui akibat tindakannya terhadap Haifa, Majors berhasil keluar dengan jaminan, meski diprotes keras jaksa pada Mei lalu. Hakim distrik hanya menetapkan jaminan sebesar US$ 60 ribu, yang langsung dibayar Majors.

Rami Jabara, adik Khalid, mengungkapkan kekhawatiran mereka terhadap jaksa. "Kami sudah menempuh semua jalur hukum yang ada untuk meminta perlindungan. Saya rasa sistem sudah tak bisa lagi melindungi korban," ucap Rami, yang berprofesi sebagai pengacara.

Meski Khalid telah melaporkan bahwa Majors melanggar perintah pengadilan karena memiliki senjata api, polisi menolak menggeledah rumahnya. "Kami sudah menyelidiki, tapi tidak menemukan aktivitas kriminal," kata Jeanne MacKenzie, juru bicara Kepolisian Tulsa, kepada The Electronic Intifada pada Rabu pekan lalu.

Beberapa bulan setelah masa kampanye pemilihan umum Presiden Amerika Serikat, kasus Islamofobia meningkat. Pernyataan Donald Trump dan koleganya yang terang-terangan antimuslim berbanding lurus dengan peningkatan kejahatan terhadap warga muslim dan minoritas lain yang dianggap muslim.

Hasil penelitian Pusat Pemahaman Muslim-Nasrani Universitas Georgetown menunjukkan, sejak pengumuman kandidat pada Maret 2015, terjadi 180 kali kejahatan antimuslim, termasuk 12 pembunuhan dan 34 serangan fisik. Sedangkan sejak masa kampanye presiden pada Agustus 2015, warga muslim Amerika mengalami serangan dua kali lipat dari sebelumnya.

Saat Trump menyerukan menutup masjid setelah serangan Paris dan penembakan massal di San Bernardino, California, pada Desember 2015, serangan terhadap masjid, sekolah Islam, dan kediaman warga muslim meningkat tiga kali lipat.

"Penelitian kami membuktikan bahwa retorika kebencian—termasuk ajakan Trump untuk melarang muslim masuk ke Amerika—berdampak terhadap meningkatnya Islamofobia," ujar Engy Abdelkader, ketua tim peneliti Bridge Initiative, Universitas Georgetown, yang membuat laporan itu, kepada ThinkProgress.

Abed Ayoub, Direktur Hukum dan Kebijakan Komite Amerika Arab Antidiskriminasi, sepakat bahwa pembunuhan Khalid sebagai Nasrani adalah bagian dari Islamofobia. Ayoub menegaskan, serangan Islamofobia juga terjadi pada etnis lain yang dikira muslim, seperti Sikh dan Hispanik. Meski Trump memicu eskalasi Islamofobia, Ayoub menekankan, "Kejahatan karena kebencian ini tidak dimulai oleh Donald Trump. Ini terjadi sebelum Trump dan akan berlanjut meski dia kalah. Sistem yang rusak memicu semua ini."

Sita Planasari Aquadini (CNN, The Washington Post, The New York Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus