Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Nestapa Pencari Suaka di Nauru

Lebih dari 2.000 kasus kekerasan, termasuk pelecehan seksual terhadap anak-anak, dilaporkan terjadi di pusat penampungan pencari suaka Australia di Pulau Nauru dan Manus. Pusat detensi di Manus akhirnya ditutup, tapi tetap menyisakan masalah.

22 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG perempuan hamil yang hampir tiga tahun bermukim di pusat penahanan pencari suaka di Nauru putus asa dan gelisah. Dokter memprediksi jabang bayi yang dikandungnya bakal lahir sekitar Oktober 2015. Namun, bukannya bahagia, perempuan itu malah histeris menangis. "Saya ingin bayi ini dibawa ke Australia dan dijaga di sana. Saya tidak ingin melahirkan di rumah sakit di Nauru atau di Papua Nugini, dengan lingkungan yang kotor."

Setahun sebelumnya, sekitar September 2014, sekelompok anak remaja laki-laki dan perempuan mengeluh lantaran sedikitnya waktu yang diberikan untuk mandi. Mereka meminta tambahan waktu dua menit kepada petugas di Nauru. Walhasil, sang petugas laki-laki setuju. Tapi, imbalannya, para petugas menonton anak-anak remaja itu bertelanjang mandi di bawah pancuran.

Inilah penggalan laporan yang bocor ke surat kabar The Guardian yang terbit di Australia tentang kondisi di pusat penahanan atau detensi para pencari suaka Australia di Nauru—negara kecil seluas 21 kilometer persegi di kawasan Mikronesia. Laporan online setebal 8.000 halaman itu bocor dari orang dalam Kementerian Imigrasi Australia. Anggota staf pekerja di pusat detensi di Nauru antara Mei 2013 dan Oktober 2015 itu sendiri yang menulisnya.

Dihitung-hitung, total ada 2.166 laporan yang bercerita tentang kondisi di Nauru yang penuh pelecehan dan kekerasan seksual, serangan, dan menyakiti diri sendiri. Yang memprihatinkan, lebih dari separuhnya menimpa anak-anak. Padahal anak-anak hanya 18 persen dari total tahanan di Nauru saat laporan itu dibuat. Data terakhir, pada akhir Juni, terdapat 442 orang pencari suaka di Nauru, yang terdiri atas 338 pria, 55 perempuan, dan 49 anak-anak.

Sebuah kejadian miris, menurut laporan itu, terjadi pada September 2014, tatkala seorang anak perempuan menjahit kedua bibirnya. Melihat adegan itu, penjaga justru menertawainya. Pada Februari 2015, seorang gadis muda menunjuk alat kelaminnya dan mengatakan seorang pencari suaka laki-laki "memotongnya dari bawah".

Laporan yang dipublikasikan pada dua pekan lalu itu kembali menjadi sorotan berbagi kalangan. Apalagi laporan tersebut terkuak hanya beberapa pekan setelah terungkapnya perlakuan brutal terhadap anak-anak muda dan remaja di penjara Northern Territory. Publikasi itu pun hampir bersamaan waktunya dengan munculnya dokumen Human Rights Watch (HRW). Michael Bochenek, Penasihat Senior HRW untuk Divisi Hak Anak, menyusup ke Nauru pada Juli 2016 bersama peneliti lain untuk menyambangi kamp di Nauru tanpa visa legal. Mereka mewawancarai 20 orang di sana dan melihat sendiri kehidupan di penjara.

Kepadanya, para pencari suaka mengaku diperlakukan sewenang-wenang dan tidak mendapat perawatan medis. Mereka juga acap jadi korban perbuatan kriminal, seperti perampokan warga sekitar. "Jiwa kami mati di tubuh yang hidup. Kami tidak punya harapan atau motivasi," ujar seorang imigran. Dari sejumlah orang yang diwawancarai, terungkap bahwa keinginan melakukan bunuh diri muncul dalam pikiran banyak orang.

Laporan yang dipublikasikan tersebut menyulut aksi protes berbagai kalangan. Bahkan 103 anggota staf Nauru dan Pulau Manus, seperti dokter, guru, manajer, dan pekerja sosial, mendesak pusat detensi itu ditutup. "Demi Tuhan, Malcolm, tutup kamp-kamp sialan itu," ujar seorang pengunjuk rasa dengan secarik kertas yang ditunjukkan kepada Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull, yang baru 15 menit berbicara di depan Komite Pengembangan Ekonomi Australia di Melbourne, Rabu pekan lalu.

Namun Menteri Imigrasi Australia Peter Dutton bergeming. Dia malah menuding pencari suaka berbohong soal pelecehan seksual dan menyakiti diri agar diperbolehkan masuk ke negeri kanguru itu. Dutton menegaskan tidak mentoleransi pelecehan seksual. "Tapi insiden dalam laporan itu dibuat karena dibayar para penyelundup yang ingin masuk ke negara kami," kata Dutton. "Laporan itu hanya mencari sensasi."

Australia, menurut Dutton, meminta dukungan pemerintah Nauru agar menyediakan layanan kesehatan, kesejahteraan, dan keselamatan bagi pengungsi. Dengan nada yang sama, Presiden Nauru Baron Waqa menolak tuduhan pelecehan berdasarkan bocoran laporan tersebut. "Itu tidak berdasar," ujarnya di Kuala Lumpur seusai diskusi panel Konferensi Internasional bersama Malaysia, Thailand, dan Maladewa.

Waqa menegaskan, pihaknya tetap memperhatikan penduduknya—sekitar 10 ribu jiwa—beserta warga pendatang. "Nauru adalah tempat yang unik. Kami menyambut dan menjaga mereka serta memperhatikan setiap keluhan secara individu." Presiden Waqa tidak menafikan terjadinya masalah di antara para pencari suaka. "Tapi kami melakukan yang terbaik untuk menangani semua masalah," katanya.

* * *

Berjarak sekitar 1.500 kilometer ke arah barat Nauru, para pencari suaka Australia juga bermukim di Pulau Manus, Papua Nugini. Berbeda dengan Nauru, di Manus terdapat 854 pencari suaka yang semuanya laki-laki. Kekerasan juga kerap terjadi di antara para pencari suaka di pusat detensi di Pulau Manus. Misalnya, kerusuhan massal ketika seorang pencari suaka asal Iran, Reza Berati, 23 tahun, dibunuh pada 17 Februari 2014.

Nauru dan Manus menjadi tempat bermukim para pencari suaka Australia sejak 2013. Ketika itu sekitar 1.200 pria, wanita, dan anak-anak dari kawasan negara-negara Timur Tengah—menggunakan perahu-perahu kayu—mengungsi dan mencari suaka ke sejumlah negara. Salah satu tujuannya, Australia.

Australia menerapkan kebijakan ketat terhadap para pencari suaka dan pengungsi. Ketimbang membiarkan mereka masuk secara ilegal, Canberra menempatkan mereka di dua pulau tersebut hingga mendapat status pengungsi dan ditempatkan di negara ketiga. Intinya, Canberra mencari cara menolak mereka.

Namun palu hakim Mahkamah Agung Papua Nugini membuyarkan beleid Canberra. Mahkamah pada 27 April lalu memerintahkan pusat detensi di Pulau Manus ditutup karena dianggap ilegal. Mahkamah menilai pusat detensi di Pulau Manus melanggar hak asasi dan status pencari suaka. Soalnya, mereka dilindungi sejumlah konvensi internasional dan konstitusi Papua Nugini.

Pemerintah Papua Nugini dan Australia akhirnya bersepakat menutup Pulau Manus sebagai pusat penahanan imigran. Meski ditutup, Dutton berkukuh tak seorang pun di pusat detensi di Manus dikembalikan ke Australia. Opsinya, mereka tinggal di Papua Nugini atau kembali ke negara asal. Namun Peter O'Neill lepas tangan. Perdana Menteri Papua Nugini ini mengatakan negaranya tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memberi tempat tinggal kepada mereka di Pulau Manus.

John Menadue, bekas Sekretaris Departemen Imigrasi Australia, mengatakan bahwa Australia harus menempa hubungan yang kuat dan saling percaya dengan sejumlah negara, seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Negara-negara itu menjadi transit para pencari suaka ke Australia. Tujuannya, kata Menadue, "Untuk membangun aturan regional yang tepat dalam menangani arus migrasi."

Frank Brennan, profesor hukum dari Universitas Katolik Australia, mengatakan kondisi pusat detensi Manus dan Nauru bak "bom waktu". Karena itu, menurut dia, pemerintah Australia harus memberlakukan batas waktu hingga akhir tahun ini untuk memfasilitasi pemukiman para pencari suaka ke negara ketiga atau membawanya ke Australia.

Namun Canberra tampaknya berkukuh menolak para pencari suaka. Bekas hakim pengadilan tinggi di New South Wales, Stephen Charles, menilai kebijakan Canberra terhadap pencari suaka adalah salah satu hal yang disengaja dan kejam.

Human Rights menilai Canberra sebenarnya tahu betul memperlakukan para pencari suaka di Nauru. Ditengarai, tindakan itu untuk memberikan efek jera agar tidak ada lagi pencari suaka yang datang. Apa pun pendapat mereka, hal yang terjadi di Nauru tidak ada bandingnya di tempat lain karena itu adalah duka nestapa, tragedi kemanusiaan, dan aib.

Sukma Loppies (The Guardian, Channel News Asia, BBC, CNN, ABC. Net.au, News.com. AU, The Irish Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus