KEBERUNTUNGAN sedang tak berpihak ke Sri Rejeki. Hari itu, pertengahan November lalu, di Lembaga Pemasyarakatan Bulak Kapal, Bekasi, baru saja ia membesuk suaminya, warga negara Afrika yang ditahan di situ. Tiba-tiba saja Sri dibekuk reserse narkotik dari Kepolisian Daerah Metro Jaya. Setelah ia digeledah, benar saja, dari balik celana dalamnya petugas menemukan heroin seberat 200 gram dalam dua bungkus plastik. Bubuk setan tentu tak menyelinap begitu saja ke area tersembunyi di tubuh Sri itu. Barang haram itu dia peroleh dari suaminya di hotel prodeo untuk diselundupkan keluar.
Dan sepak terjang semacam itu jelas tak hanya dilakoni Sri seorang. Penelusuran TEMPO membuktikan terali penjara tak kuasa menyetop bandar narkotik memutar roda usahanya. Malah banyak bui di negeri ini sekarang telah menjadi kawasan paling aman untuk mengembangkan bisnis terlarang itu. Selain tak mudah digerebek polisi, jaringannya ditutup rapat perlindungan sipir penjara yang biasanya dengan senang hati menyediakan diri untuk diajak kongkalikong. Dengan menutup mata, sipir mendapat tambahan penghasilan yang berlipat dari gajinya yang minim. Sedangkan para bandar dijamin tak terusik sesenti pun.
Dalam kategori ini, yang paling kondang adalah Rumah Tahanan Salemba di Jakarta Pusat. Di sinilah, sembari menunggu sidang pengadilan, biasanya para pengedar dan bandar ditahan bersama-sama di satu tempat, berkenalan, lalu mengembangbiakkan jaringan. Selain itu, Salemba merupakan penampungan dari tiga daerah tangkapan kasus narkotik di Jakarta: Barat, Pusat, dan Utara. Menurut seorang sumber TEMPO di situ, lapangan tenis di dalam penjara ini, senilai Rp 150 juta, bahkan dibangun dari hasil patungan para bandar narkotik. Tapi Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman, Marsono, membantahnya. "Lapangan tenis itu proyek kami, kok," katanya.
Di Penjara Salemba, para juragan serbuk awang-awang tinggal di beberapa blok yang mendapat perlindungan ketat dari petugas, yaitu Blok A, B, R, dan N. Di Blok B, antara lain, tercatat tinggal dua bandar besar ekstasi dan shabu. Di blok A ada seorang bandar shabu. Sedangkan di Blok R mendekam para bandar ekstasi yang dikenal sebagai tangan Ang Kim Soe, pemilik pabrik "pil geleng-geleng" yang kini tengah diadili di Pengadilan Negeri Tangerang.
Blok N sebenarnya area khusus yang ditinggali tahanan yang dianggap bermasalah: tahanan yang sering berkelahi, polisi yang ditangkap karena kasus kriminal, waria, pemerkosa, dan berbagai tahanan khusus lain. Di blok ini, setiap sel dikunci ganda—di kalangan narapidana dikenal dengan istilah double dir—dan tak bisa sembarangan didekati tahanan biasa. Justru karena ketatnya pengamanan inilah Blok N menjelma menjadi surga narkotik. Di blok ini, para bandar dan pengedar bisa berbisnis dengan aman tanpa perlu khawatir diganggu tahanan lain.
Apalagi transaksi berlangsung di bawah perlindungan sipir penjara dan kepala blok (voorman). Tak cuma itu, bahkan untuk menenangkan penghuni lain agar tak "bernyanyi", voorman mendapat jatah narkotik untuk diedarkan dengan harga miring di bloknya masing-masing. Dengan cara itu, lambat-laun jaringan pengedar narkotik semakin luas, terutama ketika tahanan yang telah masuk jaringan lalu bebas dari bui dan melebarkan sayap di luar.
Karena itu, menyelundupkan narkotik ke dalam dan ke luar penjara bukan soal sulit. Kiriman bisa disampaikan melalui pembesuk, seperti kasus Sri Rejeki di atas. Dengan pemberian "salam tempel" beberapa puluh ribu rupiah saja kepada sipir, barang bawaan tak bakal diperiksa ketat. Paling hanya dilihat sepintas, bahkan banyak yang lewat begitu saja.
Cara lain bisa dengan gampang ditempuh lewat perantaraan "kapal selam"—petugas penjara yang menyediakan diri menjadi kurir. Si petugaslah yang menemui bandar lain atau penghubung di luar penjara, lalu memasukkan barang ke dalam sel. Model pengirimannya bermacam-macam. Untuk jenis shabu, barang disusupkan dalam bentuk seperti bongkahan batu, baru di dalam penjara dipecah dan dihaluskan, kemudian dibagi-bagi dalam kantong-kantong kecil dari ukuran 1 gram sampai 100 gram yang siap edar. Sedangkan untuk ekstasi, biasanya yang dibawa masuk adalah bahan-bahan mentahnya, yang lalu dibentuk menjadi pil di penjara dengan alat cetak yang sangat sederhana, sebelum didistribusikan di jalanan.
Supaya lebih aman, umumnya barang diselundupkan lewat petugas pada malam hari. Toh, kalaupun ada petugas lain yang tahu, jangankan petugas itu turun menindak, laporan pun tak pernah ada. Di antara mereka berlaku sebuah kesepakatan semacam "di antara sesama bus kota dilarang saling menyalip." Mereka tak mau saling mengganggu. Apalagi biasanya "rezeki" itu toh juga menciprat ke saku mereka.
Jejak bisnis terlarang ini bukan tak pernah diendus aparat. Dua tahun lalu, kata sumber TEMPO yang mengetahui seluk-beluknya, polisi pernah menyatroni sel demi sel di Salemba. Hasilnya, ditemukan 4.000 lebih butir pil ekstasi berikut alat pencetaknya, plus shabu-shabu dan heroin. Tapi belakangan, kisah sukses penggerebekan ini seperti angin lalu, tak terdengar lagi kelanjutannya. Beberapa kali polisi pernah datang dalam jumlah yang cukup besar, belasan orang. Namun, setiap kali datang, mereka langsung balik kanan setelah disumpal amplop tebal para bandar yang disampaikan via tangan petinggi Rumah Tahanan Salemba.
Seorang perwira di Markas Besar Kepolisian RI mengaku instansinya pernah menerima surat pengaduan ihwal adanya oknum polisi yang menerima suap sehingga tak kunjung menggerebek sarang narkotik di Rumah Tahanan Salemba. "Surat itu sedang kami pelajari. Kalau benar, kami akan menyiapkan tim khusus untuk menyatroninya," ujarnya.
Jadi aman sudah? Belum tentu. Dengarlah suara pesimistis dari Ketua Gerakan Anti Narkotika (Granat) Henry Yosodiningrat. Menurut pengacara yang getol memburu kawanan pengedar obat terlarang ini, bisnis narkotik dan obat berbahaya dari dalam penjara sudah berlangsung tiga tahun belakangan tanpa bisa disentuh tangan aparat. "Tersebar di banyak penjara, bukan hanya Salemba," katanya.
Henry berharap pejabat Departemen Kehakiman tak lengah memonitor gejala baru ini. Untuk mempersempit ruang gerak para bandar, katanya lagi, Granat pernah berkirim surat ke Departemen Kehakiman dan Departemen Perhubungan, mengusulkan menjadikan kawasan penjara sebagai blank spot area, wilayah steril telepon seluler. "Mereka menjalankan bisnisnya dari dalam penjara memakai handphone. Sedangkan razia telepon genggam di bui terbukti tidak pernah berhasil," ujarnya.
Tak kurang dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan sendiri, Adi Sujatno, pernah mengakui praktek terlarang ini memang marak di sejumlah penjara dan bukan baru pertama kali ini terjadi. "Sudah pernah ada kasus-kasus sebelumnya yang melibatkan oknum pegawai, baik di LP Cipinang maupun di Rutan Salemba," ujar Adi seperti dikutip Koran Tempo beberapa waktu lalu. Ia menjanjikan akan ketat mengawasi setiap rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan.
Menambahkan bosnya, Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Marsono membantah pihaknya kedodoran. Menurut dia, pengawasan terhadap para tahanan dan narapidana kasus narkotik cukup ketat. "Intensif, seminggu bisa sampai empat kali digeledah selnya," kata Marsono, yang kini menjabat sebagai pelaksana harian direktur jenderal, menggantikan Adi Sujatno yang sedang ke luar negeri.
Di tengah wawancara dengan mingguan ini, ia mengontak Kepala Rumah Tahanan Salemba, Bambang Krisbanu. Dan seperti ditirukan Marsono, Bambang pun membantah transaksi haram marak berlangsung di penjaranya. Marsono lantas kembali mengulang janji yang pernah bolak-balik diutarakan atasannya: akan mengambil tindakan tegas terhadap setiap petugas yang terlibat. "Yang lalu sampai ada yang dipecat segala," kata Marsono lagi.
Ahmad Taufik, Ardi Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini