DELIGENT Marowa memiliki pekerjaan dengan taruhan nyawa. Sebulan silam, dia diculik oleh sekelompok orang bersenjata dan nyaris dibunuh. Ketika dirawat di rumah sakit, Marowa juga dianiaya oleh sekelompok orang tak dikenal. Dua pekan lalu, rumah Margaret Dongo diserang dan diporak-porandakan oleh segerombolan lelaki bersenjata. Dongo selamat karena bersembunyi di bawah meja. Tapi 20 orang lainnya yang rumahnya diserang milisi bersenjata tak ketahuan rimbanya.
Marowa dan Dongo adalah kandidat Partai Gerakan untuk Perubahan Demokratis (MDC), partai oposisi di Zimbabwe. Menjelang pemilihan umum anggota parlemen yang kelima sejak merdeka pada 1980 (24-25 Juni 2000), kekerasan terhadap kandidat dan pendukung partai oposisi semakin intens. Kampanye yang dilakukan MDC nyaris tak pernah selamat dari serbuan milisi bersenjata bayaran Presiden Robert Mugabe. "Banyak lagi dari kita yang akan mati sebelum pemilu," tutur Tendai Biti, salah seorang tokoh oposisi. Hingga akhir pekan lalu, sedikitnya 29 tokoh oposisi meninggal karena praktek kekerasan.
Pemilu Zimbabwe kali ini memang merupakan saat yang paling krusial bagi kelangsungan kekuasaan Mugabe. Meskipun pemilihan presiden baru akan berlangsung pada 2002, bila dalam pemilu kali ini Zimbabwe African National Union-Patriotic Front (ZANU-PF) kalah, posisi Mugabe—sudah 20 tahun berkuasa—juga ikut terancam.
Apalagi, kondisi dalam negeri sama sekali tidak menguntungkan penguasa. Perekonomian rusak berat sejak 1988. Nilai dolar Zimbabwe merosot hingga 70 persen, tingkat inflasi 40 persen, dan tingkat pengangguran mencapai 55 persen. Alhasil, Januari silam, 11 ribu anggota pasukan Zimbabwe yang terlibat perang di Kongo (Democratic Republic of Congo) harus ditarik mundur karena tak ada biaya. Situasi itu diperburuk dengan kekalahan ZANU-PF dalam referendum yang menjamin kelangsungan kekuasaan Mugabe, Februari lalu.
Mugabe pun panik, takut kehilangan kekuasaan. Maka, presiden yang terkenal ultranasionalis itu memerintahkan agar para veteran perang mengambil alih ratusan tanah pertanian milik orang kulit putih, memanfaatkan sentimen nasionalisme persaudaraan Afrika (lihat TEMPO Edisi 5-11 Juni 2000). Bahkan, setelah berhasil mengegolkan undang-undang yang memungkinkan pemerintah Zimbabwe mengambil alih tanah-tanah orang kulit putih secara cuma-cuma, pada April lalu, Mugabe berkampanye untuk mengambil tambang-tambang—terutama tambang berlian—milik asing.
Di atas panggung kampanye, Mugabe—dikenal pandai berpidato—menggaungkan pentingnya persaudaraan Afrika melawan dominasi kulit putih Eropa, untuk menarik dukungan bagi Zimbabwe. Kampanye ZANU-PF penuh dengan hujan bir dan kaus gratis. Media massa milik pemerintah mengumbar janji-janji bila penduduk memilih ZANU-PF, berupa rumah dan sekolah gratis serta makanan murah.
Di sisi lain, Mugabe juga menjalankan praktek kekerasan yang sistematis ke lawan-lawan politiknya dengan cara membunuh, menganiaya, dan menculik. Karena menguasai tentara, polisi, dan veteran perang, Mugabe dengan mudah menyebar teror ke kantong-kantong pendukung MDC. Malah, setelah kekalahan referendum pada Februari lalu, pemerintahan Mugabe semakin serius dalam menyebar teror. Menurut Grant Ferrett, koresponden BBC di Harare, ketakutan di kalangan penduduk, khususnya pendukung oposisi, sangatlah nyata. "Ketakutan itu seperti infeksi, menyebar cepat dan mematikan," kata Ferret.
Mugabe bahkan menolak 17 orang delegasi pemantau pemilu, yang terdiri atas bangsa Kenya dan Nigeria, yang disponsori oleh Uni Eropa. Alasannya, mereka adalah agen Inggris, negara bekas penjajah Zimbabwe.
Sementara itu, pihak oposisi MDC, yang baru berdiri setahun silam, hanya memiliki dukungan moral dari dunia internasional. Sedangkan dukungan dari penduduk Zimbabwe yang benar-benar menginginkan perubahan sangat rentan karena selalu berada di bawah ancaman. Menurut prediksi situs MDC, jika pemilu berlangsung dengan bebas dan adil, oposisi bisa menyabet 120 dari 150 kursi.
Tapi seberapa besar keberanian massa partai oposisi mencoblos MDC? Padahal, partai yang berkuasa—saat ini mengontrol 147 kursi dari total 150 kursi—hampir menguasai semuanya. Mugabe memiliki hak mengangkat 30 anggota parlemen. Dan pemilu ini diduga tak akan diselenggarakan dengan jujur dan terbuka. "Mereka berusaha menciptakan kekerasan agar bisa bertahan di posisi puncak," kata Tendai Biti. Keyakinan itulah yang membuat rakyat yakin, bila ZANU-PF kalah, kekerasan akan makin merebak.
Memang sulit untuk membayangkan kemenangan oposisi. Tapi keberanian untuk bersikap sebenarnya sudah merupakan kemenangan.
Bina Bektiati (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini