Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Israel
Barak Masih Bisa Bergerak
Ehud Barak urung terpuruk. Keputusan yang diambil partai ultraortodoks Shas, yang urung menyempal dari koalisi "Israel Satu", ternyata menyelamatkan posisi Barak dari kejatuhan. Meski anggota partai lainnya, Partai Meretz, meninggalkan koalisi itu, dengan urungnya partai ortodoks mundur dari koalisi, Barak masih bisa bernapas.
Sebelumnya, kekuasaan Barak hampir tamat ketika mayoritas anggota Knesset (parlemen) Israel menyetujui rancangan undang-undang untuk membubarkan parlemen dan mempercepat pelaksanaan pemilu. Rencana Partai Shas mengundurkan diri dari koalisi itu jelas membuat posisi Barak terancam.
Persoalannya, dengan 17 kursi dari 68 kursi kelompok koalisi, pemerintahan Barak menjadi pemerintahan minoritas dan akan membahayakan posisi Barak di parlemen. Padahal, PM Ehud Barak tengah menggalang dukungan politik untuk mencapai kesepakatan final dengan Palestina. Bila Barak jatuh, dikhawatirkan hal itu akan mengganggu proses perdamaian di Timur Tengah.
Namun, kebijakan yang diambil partai ini ada pamrihnya. Mereka meminta diikutkan secara aktif dalam keputusan proses perdamaian Timur Tengah. Hal itulah yang mengundang keraguan analis Israel terhadap keseriusan Shas. Sebabnya, pemimpin partai itu, yang beraliran konservatif, menentang penyerahan Dataran Tinggi Golan kepada Suriah dan Tepi Barat kepada Palestina dalam kerangka proses perdamaian Timur Tengah.
Belum lagi kekhawatiran itu hilang, Kamis pekan lalu pesawat-pesawat tempur Israel terbang di atas Beirut. Israel kembali melanggar wilayah udara Lebanon untuk pertama kali sejak mereka berjanji akan menghormati kedaulatan tetangganya itu dan mengakhiri pendudukan 22 tahun wilayah selatan negara itu.
Jepang
LDP Masih Berkuasa?
Menyongsong pemilu untuk memilih anggota parlemen majelis rendah (Diet), pemimpin tiga partai penguasa yang tergabung dalam koalisi melakukan kampanye bersama di Osaka, pekan silam. Kampanye yang dihadiri PM Yoshiro Mori dari Partai Demokrasi Liberal (LDP), Pemimpin Partai Komeito Baru Takenori Kanzaki, dan Partai Konservatif Baru Chikage Ogi itu bertujuan menjaring dukungan dari para pemilih. Dalam pidatonya mereka sepakat meneruskan koalisinya guna menjaga kestabilan pemerintah dan ekonomi dalam memasuki abad baru.
Pemilu kali ini ditetapkan Mori Mei silam, beberapa hari setelah pendahulunya, Keizi Obuchi, meninggal dunia. Tanggal 25 Juni, yang merupakan hari ulang tahun mendiang Obuchi, sengaja diambil Mori untuk menarik simpati publik. Mori menduduki jabatan setelah Obuchi terserang stroke.
Pemilu kali ini, menurut para pengamat di Negeri Sakura, tergolong berat. Bukan saja buat partai oposisi tapi juga mereka yang tengah berkuasa. Sebab, meski koalisi LDP-Komeito Baru-Konservatif Baru gencar menyatakan akan merevitalisasi ekonomi, kesalahan yang kerap dilakukan LDP ikut mempengaruhi para pemilihnya.
Mori memang sering ngomong sembarangan. Misalnya, mengatakan Jepang adalah negara dewa dan kaisar sebagai pusatnya. Boleh jadi, Mori menjadi salah satu kartu mati partai itu. Sedangkan pihak oposisi, yang lebih banyak menyerang, juga diperkirakan akan kehilangan pemilih. Para pemilih tampaknya ragu dengan kemampuan kaum oposisi itu.
Sebab lainnya, menurut Soichiro Tawara, seorang jurnalis senior, para pemilih kali ini memandang tidak ada satu pun partai yang bisa mempresentasikan pandangannya tentang masa depan Jepang yang akan dicapainya kelak. Kebanyakan pemilih merasa khawatir, standar hidup mereka akan jatuh dengan dipotongnya dana pensiun dan kesejahteraan lainnya akan dikurangi.
Meski begitu, agaknya, pemilu ini masih tetap akan dikuasai LDP. Menurut Mohammad Rum, pengamat politik masalah Jepang dari LIPI, dibandingkan dengan partai lain, Partai Sosialis misalnya, jumlah perolehan suara LDP masih tetap tinggi. "Kalaupun tidak memperoleh suara mayoritas, saya yakin LDP masih sanggup meraih suara 200 atau lebih," kata Rum kepada Hani Pudjiarti dari TEMPO. Benarkah? Kita lihat saja nanti.
Inggris:
Polisi Menyingkap Imigran Gelap
Pihak kepolisian Inggris terus berusaha menyingkap misteri tewasnya 58 imigran gelap asal Cina. Setelah menahan, mereka menyeret Perry Wacker, 32 tahun, sopir truk maut itu, ke pengadilan. Pria asal Rotterdam itu didakwa melakukan pembunuhan tidak berencana dan membawa imigran secara ilegal.
Jika terbukti bersalah, ia bisa diganjar hukuman penjara seumur hidup. Namun, menurut pengacaranya, kliennya itu mengaku tidak tahu bahwa truknya membawa 60 imigran gelap. Menurut pengakuannya, dia mengantar tomat ke sebuah alamat. Namun, ternyata alamat itu palsu.
Kepolisian Inggris juga menahan You Yi, 38 tahun, dan Ying Guo, 29 tahun, penduduk South Woodford, London Timur. Keduanya dituduh terlibat dalam konspirasi masuknya imigran gelap ke Inggris. Sedangkan kepolisian Belanda menginterogasi Arjen van der Spek, pemilik truk peti kemas tersebut. Namun, Spek menyangkal keterlibatannya dalam kasus itu.
Titik terang diharapkan dapat dikorek dari dua imigran yang selamat yang disembunyikan polisi. Dari merekalah diharapkan keberadaan kelompok Kepala Ular (Snakes Head)anggota sindikat kejahatan Triadyang disinyalir berada di balik kedatangan mereka itu bisa terungkap. Sementara itu, pemerintah Cina meminta peningkatan upaya internasional untuk memberantas sejumlah geng yang terlibat dalam penyelundupan manusia.
Kasus tewasnya 58 mayat imigran gelap yang ditemukan seorang petugas bea cukai Inggris saat melakukan inspeksi rutinnya ini memang mengejutkan. Peristiwa ini tercatat sebagai kasus imigran gelap yang paling tragis. Mayat-mayat itu bertumpuk dengan buah tomat di dalam sebuah bak truk sepanjang 18 meter. Yang jelas, ditemukannya imigran gelap ini menjadi santapan politik di Inggris. Tony Blair menjadi bulan-bulanan pihak oposisi.
Filipina
Drama Pembebasan Sandera Belum Usai
Dua puluh satu sandera kelompok Abu Sayyaf masih belum jelas nasibnya. Negosiasi antara gerilyawan Filipina dan para negosiator masih macet karena ternyata kelompok Abu Sayyaf menarik diri dari kesepakatan uang tebusan sebesar US$ 5 juta.
Tebusan ini semula diharapkan dapat membuka jalan menuju pembebasan 21 sandera, yang sebagian besar orang asing, demikian diungkap sebuah sumber yang menyaksikan perundingan itu, Sabtu silam. Kesepakatan pendahuluan mengenai jumlah uang tebusan itu sesungguhnya telah dicapai awal bulan ini, tapi kelompok Abu Sayyaf membatalkan kesepakatan itu tanpa memberi penjelasan.
Para sanderatiga warga Jerman, dua Prancis, dua Finlandia, sepasang warga Afrika Selatan, seorang Lebanon, dua Filipina, dan sembilan Malaysiadiculik pada 23 April lalu dari kawasan wisata selam Sipadan, wilayah yang sampai saat ini masih menjadi sengketa. Para sandera ini diangkut dengan kapal melintasi Laut Sulawesi ke Pulau Jolo di Filipina selatan. Saksi mata tersebut mengatakan, kelompok Sayyaf menawarkan pembebasan sandera warga Jerman yang sedang sakit, Renate Wallert, sebesar US$ 1 juta.
Perunding pemerintah menawar pembebasan semua lima sandera perempuan untuk jumlah uang sebesar itu. Kendati demikian, kelompok Abu Sayyaf menolaknya. Sebaliknya, mereka menawarkan akan membebaskan para perempuan itu dengan uang tebusan sebesar US$ 5 juta.
Irfan Budiman (dari berbagai sumber)AP Photo/Str
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo