Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
''Sudah berbau, berwarna pula," keluh Hikmah, warga Kota Madya Bengkulu. Air bersih menjadi barang langka bagi puluhan ribu penduduk. Tak mengherankan, pasokan air bersih dari truk tangki pada dijarah sebelum sampai ke tujuan.
Ke mana larinya air tanah? Gempa 7,3 skala Richter dua pekan lalu itu telah melumatkan peta hidrologi alam di bawah tanah. Mata air dan sungai bawah tanah makin susah ditemukan.
Gempa besar yang diikuti puluhan gempa susulan membuat tanah di Bengkulu merekah. Tak hanya di permukaan. Priyono Prawiro, pengamat lingkungan dari Universitas Bengkulu, mengingatkan adanya bahaya retakan yang terdapat di bawah tanah. ''Retakan itu menjadi jalan keluar zat beracun yang bercampur dengan sumber air yang masih tersisa," kata Priyono.
Melihat karakteristik gempa di Bengkulu, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Pusat tak menampik kemungkinan yang lebih buruk. Gempa tektonik kali ini terjadi akibat pergerakan lempeng Samudra India-Australia yang menumbuk lempeng Benua Eurasia, tempat pulau Sumatra bertengger. Tumbukan besar membuat sesar Sumatra ikut bergeser.
Besarnya getaran yang susul-menyusul membuat lapisan tanah dan air seperti dikocok. ''Kita perkirakan terjadi liquefaction," kata Fauzi, ahli gempa dari BMG. Artinya, lapisan pasir dan batu yang keras berubah menjadi bubur karena tercampur air yang terkocok gempa. Akibatnya, selain peta hidrologi dalam tanah lenyap, ''Mineral dalam tanah pun bercampur aduk," kata Fauzi.
Apakah kondisi ini terjadi di setiap gempa? Tidak, gempa di Bengkulu punya gaya sendiri. Hendy Suhendi Mukna, ahli hidrologi Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Pusat, membandingkannya dengan gempa yang terjadi di Flores (1992), Banyuwangi (1994), dan Biak (1996). Meski sama-sama disebabkan tumbukan lempeng, dalam ketiga peristiwa itu lempeng yang ditubruk tidak patah.
''Kondisi lempengnya lebih elastis," kata Hendy. Akibatnya, lempeng yang tertumbuk melenting dan kembali ke posisi semula. Lentingan ini menimbulkan gelombang tsunami setinggi 10 hingga 30 meter yang menyapu pantai. Namun, peta hidrologi di bawah tanah tak banyak berubah.
Adapun yang terjadi di Bengkulu, lempeng Benua Eurasia lebih crispy. Karena lempeng yang tidak elastis, tumbukan di bawah Pulau Sumatra itu membuat tanah patah dan tampak merekah. Rekahan yang muncul menelan air tanah dan menghancurkan bangunan irigasi di bawah tanah. ''Kondisi ini membuat Bengkulu selamat dari tsunami tapi tidak dari kehilangan air tanah," kata Hendy.
Kehilangan sumber air tawar yang paling parah terjadi di Pulau Enggano. Pulau di sebelah barat Bengkulu ini luasnya hanya sekitar 40 ribu kilometer. Karena posisinya yang terpisah dari daratan besar Sumatra, praktis cadangan air tawarnya terbatas. ''Jika sudah amblas, bukan tidak mungkin air yang keluar payau," tutur Hendy.
Saat ini di Pulau Enggano sumurnya berbusa dan berbau amis. Air tawar itu terkontaminasi limbah manusia, lumpur, dan limbah buangan rumah tangga lain. Bapedal Bengkulu mengkhawatirkan pencemaran bakteri e-coli. Sebab, gempa telah meruntuhkan dinding sumur dan tembok septic tank. Nah, di permukiman yang padat, ''Air kotor dan bersih tak jelas lagi batasnya," kata L.P. Sitorus, Ketua Bapedal Bengkulu.
Kekhawatiran itu terbukti dengan meningkatnya jumlah pasien penderita diare di sejumlah puskesmas. Meski penyakit itu belum dinyatakan sebagai wabah, di Pulau Enggano dari enam desa masing-masing ditemukan 3 hingga 15 penderita.
Bagaimana cara mendapat kembali sumber air? Ini masalah rumit dan makan waktu panjang. Harapan satu-satunya hanya menunggu datangnya musim hujan dalam satu atau dua kali siklus. Kalaupun curah hujan cukup banyak, sumber-sumber air yang lama belum tentu bisa menyimpan air. Sementara itu, untuk mendeteksi baskom alam baru di dalam tanah bukan hal mudah.
Namun, bukan berarti Bengkulu tak punya kesempatan punya air tanah. Asal, setiap air tawar yang jatuh dari langit dicegah selama mungkin sebelum terbuang ke laut. Pembuatan sumur resapan akan mempercepat tabungan air tawar itu di dalam tanah. Tujuannya, rekahan akan terisi air kembali dan dengan sendirinya akan keluar ke permukaan. Asal mau sabar.
Agung Rulianto, Endah W.S., Fadilasari (Bengkulu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo