Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Puluhan warga Venezuela terpaksa mengantre darah sapi di rumah jagal di barat kota San Cistobal karena kelaparan selama krisis virus corona.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah seorang yang mengantre adalah mekanik bernama Aleyair Romero, 20 tahun, yang mengantre dua kali seminggu di rumah jagal. Dia kehilangan pekerjaannya sebagai montir di bengkel setempat dan mengatakan sekotak makanan bersubsidi dari pemerintah Presiden Nicolas Maduro tiba terlalu lambat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya harus mencari makanan sebisa mungkin," kata Romero, memegang termos kopi yang berlumuran darah yang diberikan rumah jagal, dikutip dari Reuters, 15 Mei 2020.
Meskipun darah sapi adalah bahan tradisional untuk sup "pichon" di Andes Venezuela dan Kolombia, namun seiring memburuknya wabah Covid-19, semakin banyak orang yang mencari darah sapi.
Warga terpaksa mencari darah ternak karena harga daging sekitar dua kali lipat dari upah minimum bulanan.
Seorang pekerja rumah jagal mempersiapkan sapi sebelum disembelih dan menampung darah sapi di ember untuk diberikan kepada orang-orang yang mengantre di luar rumah jagal selama karantina nasional ketika penyakit virus corona berlanjut, di San Cristobal, Venezuela 13 Mei 2020. [REUTERS / Carlos Eduardo Ramirez]
Di rumah jagal kota San Cristobal, tiga puluh hingga empat puluh orang tiba setiap hari untuk meminta darah ternak, menurut seorang karyawan yang mengatakan darah sapi biasanya dibuang ketika masa-masa Venezuela masih makmur
"Kita akan kelaparan," kata Baudilio Chacon, 46 tahun, seorang pekerja konstruksi yang menganggur karena karantina ketika dia menunggu untuk mengumpulkan darah di rumah jagal.
"Kami adalah empat saudara lelaki dan seorang bocah lelaki berusia 10 tahun, dan kami semua hidup dari darah," katanya.
Meningkatnya konsumsi darah ternak, seperti halnya pohon mangga yang buahnya dipetik sebelum matang, merupakan simbol kelaparan yang mencolok karena hiperinflasi ekonomi Venezuela selama enam tahun terakhir semakin parah dihantam pandemi.
Seorang pekerja memberikan darah sapi kepada orang-orang di luar rumah jagal selama karantina nasional ketika penyakit virus corona berlanjut, di San Cristobal, Venezuela 13 Mei 2020. [REUTERS / Carlos Eduardo Ramirez]
Meskipun jumlah kematian resmi yang dilaporkan dan kasus-kasus dari virus tidak besar, Venezuela menderita karena penutupan ekonomi dan keterlambatan program distribusi makanan negara yang dikenal sebagai CLAP.
Situasi ini menghantam provinsi-provinsi yang paling sulit karena distribusinya dialihkan ke kota-kota besar termasuk Caracas, menurut badan amal yang berfokus pada nutrisi, Citizenry in Action.
Pemerintah telah bertahun-tahun memberikan akses prioritas modal ke layanan termasuk air dan listrik.
Di Caracas, 26,5% keluarga menerima kotak CLAP, dibandingkan dengan hanya 4% keluarga di wilayah seperti wilayah "Los Llanos" (The Plains), kata Citizenry in Action.
Dapur umum mengalami peningkatan penggunaan yang besar sejak karantina dimulai pada pertengahan Maret dan keterlambatan pengiriman kotak makanan, yang dalam banyak kasus terjadi setiap enam hingga tujuh minggu daripada setiap bulan seperti yang dijanjikan pada awal program pada tahun 2016.
"Pemerintah mengirim kotak semau mereka," kata Romero.
Di sebuah dapur umum di lingkungan miskin Carapita di Caracas yang dijalankan oleh kelompok bernama Feeding Solidarity, para pekerja mengatakan mereka terbiasa menyediakan makanan untuk 80 anak-anak tetapi di bawah karantina sekarang juga memberi makan sekitar 350 orang dewasa.
Setelah menerima semangkuk sup dan sandwich isi ham-keju, beberapa ibu mengeluarkan menyisakan ham dan keju untuk sarapan anak-anak mereka pada hari berikutnya. Mereka juga mengeluh kotak makanan negara lambat dan sedikit.
"Tidak cukup bagi kita untuk melewati ini," kata Ysimar Pernalete, 38 tahun, ibu dua anak yang mendapat bantuan dari kotak CLAP.
"Bagaimana Anda bisa memberi tahu seorang anak, 'Saya tidak punya sesuatu untuk diberikan kepadamu?' Anda memberi mereka nasi tanpa lauk dan mereka menangis," katanya.
Pemerintah pada tahun 2016 mulai mendistribusikan makanan secara langsung kepada jutaan rakyat Venezuela yang dikatakan pihak berwenang akan mencegah pedagang menaikkan harga semaunya.
"Bukanlah virus yang akan membunuh mereka, tetapi kelaparan," kata Edison Arciniegas, direktur Citizenry in Action.
Bahkan sebelum COVID-19, PBB menyebut Venezuela sebagai salah satu dari 10 krisis kemanusiaan terburuk di dunia pada tahun 2019, mencatat bahwa 9,3 juta dari 30 juta penduduk mengkonsumsi jumlah makanan yang tidak mencukupi.
Sekitar 5 juta orang Venezuela telah bermigrasi ke negara tetangga karena dalam negeri tidak bisa menyediakan makanan yang cukup.
Pemerintah kiri Nicolas Maduro menyalahkan sanksi AS atas krisis ekonomi Venezuela dan mengatakan lembaga bantuan internasional melebih-lebihkan tingkat migrasi.
Angka-angka resmi menunjukkan Venezuela memiliki 440 kasus virus corona dengan 10 kematian, meskipun oposisi meragukan angka ini.