Di Turki, orang Kurdi tak hanya ditindas secara fisik. Di sebuah sekolah, anak-anak Kurdi disuruh berteriak, "Kami orang Turki". SEJARAH Kurdi adalah sejarah penindasan dan tragedi. Mereka hanya berlari-lari dari satu penindasan ke satu pembantaian. Di Iran mereka ditipu dan ditindas. Di Irak, mereka diburu dan dibantai. Di Turki, mereka pun dibungkam dan dilenyapkan. Maka, bila beratus ribu orang Kurdi lari dari Irak ke Turki, yang berubah hanyalah cara penindasan dan siapa penindasnya. Dan di Turki, yang menyimpan sekitar 50% dari orang Kurdi seluruhnya (diduga populasi mereka kini sekitar 26 juta), penindasan tak hanya bersifat fisik. Bahkan, di sini kata "Kurdi" diusahakan hilang. Di sini mereka disebut "orang Turki pegunungan", yang dipaksa mengganti kebudayaan Kurdi dengan budaya Turki: termasuk bahasa dan adat-istiadat, bahkan nama diri. Konstitusi Turki 1982 melarang penggunaan bahasa selain Turki. Itulah, karena sejak zaman Kemal Attaturk, bapak modernisasi Turki, dilancarkan satu pembentukan nasion Turki yang tegas. Maka, terjadilah Turkinisasi terhadap Kurdi. Akibatnya, jumlah orang Kurdi di Turki itu saja sudah jadi bahan perdebatan. Bukan saja karena banyaknya orang Kurdi yang sudah diasimilasikan ke dalam masyarakat Turki, tapi juga lantaran banyak di antara mereka yang tak berani mengaku orang Kurdi. Padahal, menurut Dr. Ismail Besikci, seorang ilmuwan yang bukan keturunan Kurdi, bangsa Kurdi adalah kelompok etnis yang terpisah dari bangsa Turki. Dan gara-gara pendapatnya itu, dosen sebuah universitas di Turki ini terpaksa melewatkan lebih dari 10 tahun hidupnya di belakang terali besi. Ia baru keluar dari penjara pada 1987, setelah Amnesti Internasional turun tangan. Namun, mungkin justru pemaksaan itu yang mengutik timbulnya perasaan nasionalisme Kurdi yang lebih kuat. "Ketika saya berumur enam tahun, sebuah truk tentara masuk ke desa kami, dan membawa semua anak usia sekolah dasar," tutur Kamouran, seorang aktivis Kurdi. "Kami dimasukkan ke sekolah Turki untuk diasimilasikan. Kami memang mendapat pendidikan yang baik, tapi dipisahkan dari segala hal yang berbau budaya Kurdi. Tiap pagi kami semua dikumpulkan, dan disuruh berteriak, 'Kami adalah orang Turki, kami bangga ....' Di sekolah itulah saya menjadi aktivis. Dengan pendidikan itu, kami semua menyadari bahwa kami dijadikan orang Turki dengan paksa." Nasionalisme Kurdi di Turki muncul ke permukaan untuk pertama kalinya pada 1950-an, ketika negeri itu menganut asas demokrasi parlementer. Ketika itu banyak tokoh Kurdi yang mulai manggung dalam politik nasional dan memperoleh posisi strategis. Pada 1960 terjadilah suatu perebutan kekuasaan yang pada saat yang sama juga menyurutkan nasib orang Kurdi. Jenderal Gursel, yang menjadi ketua junta militer, menuduh tokoh-tokoh Kurdi yang duduk dalam posisi menentukan dan penting telah menyalahgunakan pengaruh mereka untuk mendorong timbulnya gerakan separatis Kurdi. Akibatnya, mulai 1961 pemerintah militer lebih menggalakkan lagi proses penturkian orang Kurdi. Nama-nama desa tempat suku minoritas itu tinggal diganti dengan nama Turki. Ratusan orang yang dicurigai terlibat aksi separatisme ditahan dan dijebloskan ke dalam penjara tanpa melalui proses peradilan. Pecahlah gelombang unjuk rasa di kota-kota yang dihuni orang Kurdi di Turki. Mereka menyatakan orang Kurdi lain dengan Turki. Mereka menuntut identitas mereka diakui. Pada waktu yang bersamaan pers Turki mulai tertarik pada masalah orang Kurdi. Tapi, untuk memelihara kesatuan nasional, kata mereka, koran-koran yang sering memberitakan gerakan Kurdi dibredel pemerintah. Namun, telanjur sudah pers Turki juga memberitakan gerakan perlawanan bangsa Kurdi di Irak, di bawah pimpinan Mullah Mustafa Barzani. Itu mengilhami orang Kurdi di Turki. Pada 1965 berdirilah Partai Demokrasi Kurdi Turki. Dukungan lain terhadap Kurdi datang dari gerakan kiri, Partai Pekerja Turki, yang berdiri pada 1960-an. Partai Pekerja menuduh "pemerintah fasis" memaksa asimilasi orang Kurdi ke dalam masyarakat Turki dengan kekerasan. Pada 1971 pemerintah baru yang ditopang militer membubarkan partai itu dan menjebloskan beberapa pemimpinnya ke penjara. Dukungan gerakan kiri di Turki terhadap Kurdi sebenarnya sangat bisa dimengerti. Soalnya, radikalisme dan gerakan kiri di Turki memang dimotori oleh tokoh-tokoh politik Kurdi. Dua tokoh radikal kiri Turki, Gezmis dan Kayan, punya darah Kurdi. Keduanya terbunuh pada 1972. Gerakan paling radikal yang menuntut berdirinya negara Kurdi yang terpisah adalah Partiya Karkaren Kurdistan, atau Partai Pekerja Kurdi. Gerakan yang berdiri di Ankara pada 1974 ini menempuh cara-cara kekerasan dan terorisme untuk mencapai tujuannya. Kelompok itu bercita-cita mendirikan sebuah negara Kurdi yang mempersatukan seluruh wilayah Irak, Iran, Turki, dan Suriah. Menjelang 1980 Partai Pekerja Kurdi memindahkan wilayah pertahanannya ke timur dan memproklamasikan perjuangan bersenjata menentang pemerintah Turki dan "unsur-unsur feodal" Kurdi yang mendukungnya. Ada beberapa distrik timur yang mereka sebut "wilayah yang dibebaskan". Namun, gerakan tersebut hanya didukung oleh minoritas orang Kurdi karena sebagian besar orang Kurdi tak menyukai cara-cara kekerasan yang dijalankan mereka. Pemerintah Turki dengan kejam menindas gerakan tersebut. Pada 1981 saja tak kurang dari 2.000 orang yang dituduh menjadi aktivis Partai Pekerja dipenjarakan. Sebagian lagi, 500 orang, diadili secara masal. Sejak itu Partai Pekerja Kurdi memang surut, tapi gerakan itu hidup terus. Malah kemudian terbetik kabar adanya kerja sama Tentara Rahasia Armenia untuk Kemerdekaan Armenia (ASALA) dengan Partai Pekerja Kurdi yang ditandatangani di Sidon, Libanon. Yang aneh, wilayah yang diklaim oleh orang Kurdi justru juga diaku-aku oleh suku Armenia untuk dibebaskan dari kungkungan "rezim militer" di Ankara. Sumber-sumber intelijen Turki mengatakan bahwa pada 1987 ada sekitar 12.000 pejuang Kurdi yang aktif di perbatasan Turki-Irak. Mereka beroperasi di wilayah sepanjang 70 km dan dipimpin oleh tokoh Kurdi Irak, Massoud Barzani, putra Mullah Mustafa Barzani, yang meninggal pada 1979. Diperkirakan, gerilyawan Partai Pekerja Kurdi bergabung ke dalam kelompok itu. Kekuatan mereka makin besar karena selama Perang Iran-Irak 1979-1988 mereka terbebas dari ancaman tentara Irak yang sibuk melayani tentara Iran. Krisis yang terjadi di perbatasan Irak-Turki sebagai akibat membanjirnya pengungsi Kurdi di sana bisa mengubah suasana perbatasan itu, yang menjelang 1990 bisa dikatakan "tenang". Tampaknya, Turki juga akan kena getah krisis di Irak, walaupun ia bersikeras tak mau membuka perbatasannya untuk para pengungsi Kurdi Irak. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini