Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kembali ke era putih?

Mulai banyak masyarakat australia kulit putih menunjukkan sikap benci terhadap pendatang dari asia hal ini dapat menimbulkan tindakan diskriminasi rasial.

19 Mei 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RASA dengki dan anti-Asia di kalangan warga Australia kini kian tebal, bersamaan dengan naiknya angka pengangguran dan sulitnya lapangan kerja di Benua Kanguru itu. Corat-coret di tembok di beberapa kota menyerukan agar "invasi orang Asia" dihentikan. Tetapi pemerintah koalisi Perdana Menteri Bob Hawke tampaknya akan meneruskan kebijaksanaan lama terhadap kaum pendatang. "Kebijaksanaan imigrasi yang dilandasi prinsip nondiskriminasi akan diteruskan. Ia diterapkan tanpa mempedulikan kebangsaan, ras, dan kepercayaan," kata Hawke belum lama berselang di Sydney. Pernyataan PM Australia itu adalah reaksi terhadap pendapat umum di sana yang beredar sejak Maret lalu. Masyarakat dan pers Australia cemas melihat tingginya jumlah orang Asia yang masuk ke negeri mereka belakangan ini. Hal itu dipandang dapat mencetuskan tindakan diskriminasi rasial kelak. Persoalan ini pada mulanya diungkit oleh Sejarawan Prof. Geoffrey Blainey, dekan Fakultas Sastra Universitas Melbourne, dalam ceramah di hadapan kelompok Rotary di Victoria. Menurut Blainey, yang juga menulis soal ini di surat kabar Sydney Morning Herald, dalam 30 tahun belakangan, Australia bergeser dari ekstrem yang mencita-citakan Australia Putih ke sikap ekstrem yang menghendaki Australia Asia. Sikap terakhir didukung kebijaksanaan imigrasi pemerintah yang lunak hingga, dalam perkiraan Blainey dapat mengancam toleransi sosial yang telah dibina beberapa dasawarsa. Blainey melihat, Australia bukanlah negeri yang bisa menampung harapan para pendatang yang mengidamkan kehidupan baru. Kepada Minuk S. Richard, koresponden TEMPO di Australia, sejarawan itu antara lain berkata, "Seharusnya pemerintah menerangkan bahwa alam Australia sebagian besar mirip padang pasir Gobi dan Sahara." Kekhawatiran Blainey muncul setelah menyaksikan corat-coret di tembok -- grafiti -- yang mengisyaratkan rasa benci terhadap pendatang-pendatang baru dari Asia. Grafiti ini banyak terlihat setelah jumlah pendatang Asia meningkat, padahal lapangan kerja terasa kian sulit. Dalam keadaan seperti itu, tutur Blainey, para pendatang Asia justru ditempatkan di kota-kota, kawasan yang lapangan kerjanya makin sempit. Walaupun jumlah orang Asia kini cuma 2,5% dari 15 juta penduduk Australia tingkat pengangguran di kalangan mereka hampir dua kali angka pengangguran nasional. Angka pengangguran Australia kini 9,4%, tapi pengangguran di kalangan pendatang Asia mencapai 18,7%. Menurut Blainey, kaum penganggur ini membangkitkan rasa cemburu warga pembayar pajak negeri itu. Belakangan, jumlah pendatang dari Asia memang meningkat. Tahun 1981/1982, di antara 115.000 imigran terdapat 21.500 orang Asia, atau 18,7%. Tahun 1982/1983, angka itu menjadi 26,3%, atau 24.500 orang Asia tercatat di antara 93.000 pendatang. Sebagian besar ialah pengungsi Indocina. Mereka masuk Australia, setelah terlebih dulu menyingkir ke Hong Kong, Indonesia, Singapura, Muangthai, Filipina, dan Malaysia. Antara Juli 1981 dan Juni 1982, Departemen Imigrasi Australia mencatat, 2.424 pendatang dari Indonesia dan 7.826 orang dari Malaysia. Sebagian besar ternyata orang Vietnam yang diberangkatkan dari kamp-kamp pengungsi di kedua negara itu. Walau begitu, pemerintah Australia memperkirakan, tahun 2000, jumlah orang Asia itu tak akan lebih dari 4% jumlah penduduk. Australia adalah negeri kaum pendatang yang berasal dari 100 negara lebih di dunia. Ini dimulai sejak Inggris mengirimkan orang hukuman ke benua selatan itu dua abad silam, 1788. Seusai Perang Dunia II dalam rangka menambah penduduk pemerintah Australia membuat perencanaan imigrasi dengan tujuan menghidupkan perekonomian dan menangani masalah keamanan. Kini 40% warga Australia adalah generasi pertama dan kedua pendatang baru itu. Mungkin untuk menetralisasikan sikap anti-Asia ini, Menteri Luar Negeri Bil Hayden mengingatkan, "Kita semua punya latar belakang asing, kecuali orang aborigin. Negeri ini adalah negeri kaum imigran." Hayden menegaskan, lewat pergantian generasi, pendatang baru nanti akan memberikan sumbangannya dan Australia akan lebih baik. "Tak terkecuali orang dari Asia." Tetapi isyarat yang dilontarkan Blainey, oleh beberapa surat kabar di negeri itu dipandang cukup beralasan. Surat kabar Age yang terbit di Melbourne, Times di Canberra, dan Sydney Morning Herald sama-sama mengingatkan pemerintah bahwa kebijaksanaan imigrasi hendaklah didasarkan pada ada atau tidaknya dukungan penduduk Australia. Blainey mengaku telah berbicara dengan orang-orang Asia tentang masalah. "Mereka sependapat dengan saya, tak setuju dengan banyaknya imigran Asia," katanya. Setelah kebijaksanaan Australia Putih ditinggalkan, kaum pendatang membanjir dan mencapai puncaknya tahun 1970 lalu. Masa itu imigran yang masuk tercatat 185.099 orang. Pembatasan kemudian mulai dilakukan karena kondisi ekonomi suram. Jumlah pendatang merosot tahun 1975/1976. Namun, tahun itu adalah tahun kemenangan komunis di Indocina yang mendorong terjadinya pengungsian dari kawasan itu. Dalam hal menerima kaum pengungsi inilah Blainey menilai bahwa kebijaksanaan pemerintahnya tidak adil. Dia -- penulis buku sejarah yang mengandung beberapa hal kontroversial tentang Australia -- tak setuju dengan program "reuni keluarga" bagi para pelarian itu. "Yang masuk haruslah betul-betul pengungsi. Jangan masuk dengan cara lain," katanya. Blainey tak mengerti kenapa Australia harus menerima pengungsi dalam jumlah besar, padahal peranannya dalam Perang Vietnam amat kecil jika dibandingkan Amerika Serikat ataupun Prancis. Sementara corat-coret membakar semangat anti-Asia, Blainey khawatir nanti orang Asia hanya akan menjadi warga kelas dua atau kelas tiga di Australia. "Kebijaksanaan Australia Putih dulu," katanya, "angkuh dan tak mempedulikan opini dunia. Tapi kebijaksanaan imigrasi sekarang justru mengabaikan pendapat penduduk Australia sendiri."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus