SI Pandir Kelana alias Slamet Danusudirdjo, 59, pekan lalu diundang penerbit Sinar Harapan ke pameran buku di Balai Sidang Senayan. Maksudnya untuk meramaikan stand, semacam jumpa pengarang, yang banyak menarik minat. Tetapi bekas dirjen bea cukai ini terbengong-bengong saja -- hanya satu dua pengunjung yang menegurnya. "Saya tak jadi perhatian orang, barangkali banyak yang tak tahu saya," katanya terus terang. Slamet Danusudirdjo, mayor jenderal purnawirawan ini, sudah menghasilkan lima novel, semuanya berlatar belakang sejarah perjuangan. Ia mengakui, karyanya tidak untuk konsumsi pembaca remaja, kecuali Rintihan Burung Kedasih. Sekarang ini, ia menyiapkan buku tentang pri dan nonpri, juga berlatar belakang sejarah. "Mau apa lagi, saya kenalnya cuma itu. Orang lain tak mau menulis, lalu apakah sejarah itu harus hilang begitu saja?" katanya. Risiko menulis novel sejarah, selain kurang diminati para remaja, pengarangnya tidak cepat populer. Ini pengakuan Pak Pandir lagi. "Pengalaman di pameran buku ketika saya diundang itu misalnya. Ternyata, saya bukan siapa-siapa. Saya penulis yang tak dikenal," kata novelis yang pernah terkenal sebagai ketua Tim Walisanga ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini