DARI lawatan 11 hari ke sejumlah negara Asia-Pasifik awal bulan ini, Paus Yohannes Paulus II agaknya mendapat sambutan yang paling meriah di Papua Nugini (PNG). Rakyat di sana jauh-jauh hari telah mempersiapkan upacara gegap gempita. Puluhan orang bertelanjang dada dengan gaya pakaian tradisional turun dari gunung memanggul salib kayu. Mereka harus menempuh jarak puluhan kilometer sebelum sampai di bandar udara Port Moresby, khusus mengelu-elukan kedatangan Paus. Inilah kunjungan Yohannes yang kedua ke PNG, negara berpenduduk 3,5 juta jiwa, 31% di antaranya beragama Katolik. Kunjungan pertama 10 tahun lalu, sewaktu ia menjadi uskup agung Krakaw. Kunjungannya pekan lampau terutama untuk merayakan satu abad Gereja Katolik di PNG, yang penyebarannya dulu dilakukan oleh misionaris Prancis. Untuk berkunjung ke Alaska, Korea Selatan, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Muangthai, Paus menempuh jarak 38.700 km. Ini merupakan lawatannya yang ke-21 sejak menduduki tahta suci kepemimpinan Gereja Katolik. Seluruh kunjungan berjalan mulus. Di semua tempat sistem keamanan sengaja diperketat apalagi setelah ada laporan dinas inteligen AS dan Italia mengenai kelompok teroris internasional yang berencana membunuh Paus. Pada awal kunjungan di Korea Selatan, kebetulan terjadi insiden kecil. Dengan pistol mainan, seorang pemuda Korea yang kurang waras menembak ke arah Paus. Di Kepulauan Solomon jumlah wartawan yang masuk dibatasi, takut ada anggota kelompok teroris internasional yang menyamar. Di Muangthai, selain mengunjungi dan memberikan berkat kepada para pengungsi Indocina, Paus juga bertemu dengan Aryawong Sakatyan, pemimpin umat Budha di sana. Dikabarkan, sejumlah warga Muangthai penganut Budha militan telah menentang kunjungan Paus. Memang dalam dua tahun terakhir ini, timbul pro dan kontra sekitar peranan Gereja Katolik di negara Ratu Sirikit. Sebuah kelompok Budha militan menuduh Gereja Katolik diam-diam punya rencana mengatolikkan seluruh Muangthai pada tahun 2000 nanti. Sementara itu, di kalangan Katolik sendiri kritik atas kunjungan Paus ke luar negeri bukannya tak ada. Sejumlah rohaniwan Katolik di Vatikan menyebut lawatan itu sebagai pemborosan dan menjauhkan Paus dari urusan administratif Gereja yang penting. Kunjungan ke Inggris dua tahun lalu, misalnya, menghabiskan US$ 10 juta. Biaya ini ditanggung Gereja setempat. Kini kritik semakin berkurang, karena banyak pengkritik sudah menyadarari arti dan manfaat kunjungan Paus ke tempat-tempat jauh. "Ia pergi ke tempat-tempat di mana gereja Katolik masih punya arti dan masih bisa berkembang," kata seorang rohaniwan Vatikan yang tadinya paling keras mengkritik. Di negara-negara yang Katolik, seperti Italia dan beberapa negara Eropa lainnya, Gereja Katolik telah banyak kehilangan vitalitasnya. Tapi di Asia dan Afrika, demikian menurut rohaniwan itu, masih banyak harapan. Contohnya, India, yang belum pernah dikunjungi Paus, tapi umat Katolik-nya lebih besar dibanding seluruh umat Katolik Irlandia. Seorang diplomat di Vatikan, yang mengamati perkembangan Paus Yohannes Paulus II selama lima tahun, menyebutnya sebagai "Paus yang universal atau Paus bagi seluruh umat Katolik dunia". "Saya kira Paus menyadari kesalahan Amerika dan Eropa yang mengabaikan Dunia Ketiga," katanya. Kedudukan Paus kini tampak semakin kukuh, baik di Vatikan sendiri maupun di mata dunia. Paus memiliki kredibilitas karena ia tidak terikat pada blok mana pun. Dan ia tampaknya cenderung menjadi juru bicara Dunia Ketiga. Untuk menjalankan tugas universalnya, Paus merombak hirarki Vatikan. Ia telah mendelegasikan wewenang memerintah Kota Vatikan pada Kardinal Agostino Casaroli, 69, menteri dalam negeri Vatikan. Dengan demikian, Paus bebas dari tugas-tugas administratif hingga dapat lebih berperan sebagai pemimpin spiritual tertinggi umat Katolik sedunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini