WAJAH Indonesia di arena internasional semakin babak belur. Senin pekan lalu, Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam sidang khusus di Jenewa, memutuskan untuk membentuk tim penyidik internasional untuk pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur. Itu merupakan resolusi sidang khusus yang digelar berdasar usulan Portugal kepada Mary Robinson, petinggi Komisi Hak Asasi Manusia PBB. Upaya para diplomat Indonesia bersama negara Asia untuk menghadangnya ternyata kandas. Ini jelas kekalahan diplomasi yang telak karena, dalam sepuluh tahun terakhir, komisi PBB hanya tiga kali menggelar sidang khusus, yaitu untuk kasus pembunuhan massal di Rwanda dan Yugoslavia.
PBB pun serius menindaklanjuti resolusi komisi tinggi HAM ini. Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan meminta Robinson—yang pertama kali melontarkan ide pembentukan tim penyidikan—untuk mengepalai tim internasional untuk Tim-Tim. Menurut beberapa sumber di komisi, tim tersebut dibentuk minggu ini. Adapun cara kerjanya, mereka bisa mendompleng Interfet, pasukan multinasional untuk Tim-Tim. Dalam konferensi pers setelah penunjukan resmi, Robinson sangat yakin mampu menemukan bukti-bukti terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang mendukung investigasi. Nah, setelah bukti-bukti terkumpul, tim internasional tersebut bisa mengajukan orang-orang yang ditengarai bersalah ke pengadilan internasional.
Lalu, bagaimana sikap Indonesia? Seperti biasa, pemerintah Indonesia cenderung gagap untuk urusan-urusan diplomasi. Mulanya, Menteri Sekretaris Negara Muladi menyatakan bahwa Indonesia menerima tim penyidik internasional dan bersikap kooperatif. Hal itu dikatakan pada 28 September lalu, segera setelah tim perunding Indonesia di Jenewa kembali ke Tanah Air. Tapi, sehari kemudian setelah Sidang Kabinet Terbatas Bidang Polkam, Muladi mengatakan pemerintah Indonesia menolak resolusi Komisi Tinggi PBB untuk HAM. Lalu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang mengenai Peradilan Pelanggaran HAM untuk penanganan kasus Tim-Tim.
Perubahan sikap pemerintah Indonesia itu tampaknya terjadi setelah Menteri Luar Negeri Ali Alatas menjelaskan apa yang terjadi di Jenewa. Menurut Alatas, resolusi Komisi HAM PBB itu tidak kuat karena hanya didukung oleh 27 anggota komisi. Sedangkan 12 negara menolak dan 11 abstain. "Jadi, bobot moral resolusi ini sangat rendah," kata Alatas. Apalagi usulan ke komisi juga tidak sahih karena datang dari negara yang hanya berstatus peninjau dalam komisi tersebut, yaitu Portugal. Lagi pula, banyak negara yang juga tidak patuh pada resolusi-resolusi PBB yang memang tidak mengikat secara hukum itu.
Pemerintah Indonesia juga merasa bahwa pembentukan tim internasional tersebut sengaja untuk memojokkan Indonesia. Menurut Menteri Alatas, kemungkinan ada persekongkolan, yang sangat sulit untuk dibuktikan. Sebuah sumber yang mengikuti sidang di Jenewa menjelaskan bahwa semula Indonesia sudah berhasil menggagalkan sesi khusus komisi ini. Lalu, Indonesia berusaha menghadang terbentuknya resolusi dengan mengumpulkan dukungan. Mulanya, Indonesia sudah berhasil mengumpulkan 27 negara yang mendukung. Tapi, karena penghitungan suaranya dilakukan secara tertutup, hasilnya jadi berubah. Tidak hanya Indonesia yang marah dengan hasil resolusi, tapi juga negara-negara Asia, yang sebenarnya menolak resolusi. Jepang, misalnya, masih terus mengungkit ketidakadilan pihak Komisi Tinggi HAM. "Kami sebenarnya bersedia melakukan penyelidikan, tapi tidak dengan ditekan-tekan seperti itu," kata Alatas.
Apa boleh buat, nama pemerintah Indonesia, terutama tentara, sudah kadung buruk untuk masalah Tim-Tim. Hingga, apa pun yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia cenderung dianggap salah oleh pihak luar negeri. Padahal, "Kalau mau jujur, komisi HAM itu juga harus mengusut pelanggaran HAM oleh Xanana Gusmao dan Falintil," kata Mayor Jenderal Sudrajat, Kepala Pusat Penerangan TNI, kepada Darmawan Sepriyossa dari TEMPO. Namun, cerita-cerita tentang kesadisan tentara Indonesia dan milisi pro-otonomi di Tim-Tim tampaknya lebih membentuk opini dunia dibandingkan dengan kebrutalan yang dilakukan oleh Falintil
Tapi, siapa tahu, hasil penyidikan nantinya justru akan menguntungkan Indonesia. Menurut Sidney Jones, Direktur Eksekutif Human Right Watch divisi Asia, di Tim-Tim memang telah terjadi pembunuhan, pembakaran, dan perusakan. "Tapi saya tidak yakin telah terjadi pembunuhan massal (genocide) seperti diberitakan oleh media massa luar negeri," kata Jones. Kalaupun Komisi Tinggi HAM PBB tidak percaya Indonesia mampu melakukan penyelidikan sendiri atas Tim-Tim, itu karena kredibilitas pemerintah memang sudah hancur di mata internasional. "Di tempat lain, reputasi Komnas HAM memang baik, tapi untuk Tim-Tim, Komnas hanyalah alat pemerintah," kata Jones.
Benar-tidaknya pendapat Jones ini akan teruji nanti, setelah laporan Komnas HAM soal Tim-Tim dapat disandingkan dengan laporan yang dibuat tim PBB setelah penyidikan usai.
Bina Bektiati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini