Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu Ma’ruf Rawashdeh tak masuk kerja lagi. Entah be-rapa lembar duit yang tertinggal di dompetnya. Yang terang, ia sudah berutang kepada semua yang ia kenal di Kampung Bitin, tempat tinggalnya di Tepi Barat.
Ma’ruf beranak tujuh. Ia pegawai ne-geri, teknisi pada badan penyiaran nasional Palestina, dan semakin hari ia menyaksikan dunianya menyempit. Berangkat kerja berarti mengeluarkan 20 shekel atau US$ 4,30 atau Rp 40 ribu untuk ongkos bus ke kantornya di Ramallah, dan itu sama dengan sepertiga gajinya sebulan. Hari itu, Jumat pekan lalu, genap dua minggu gajinya telat. Pemerintahan yang kini di tangan kelompok Hamas tak bisa memastikan kapan gaji pegawai negeri dibayar.
Menteri Keuangan Omar Abdel-Ra-zeq tak menyembunyikan kenyataan be-tapa kas negara kosong. ”Setidaknya, ekonomi bahkan lebih buruk dibanding ming-gu lalu,” katanya. Ya, sejak sejumlah negara donor menghentikan bantuannya, ada 140 ribu pegawai pemerintah belum menerima gaji. Pegawai negeri melayani 23 persen dari 3,5 juta penduduk Palestina yang tinggal di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Untuk mereka, pemerintah otoritas Palestina menyediakan US$ 118 juta setiap bulan.
Sekarang, jika keajaiban terjadi—tak tahu dari mana dan berapa besar dana itu—gaji mereka bakal dibayar pada 15 April. Pemerintah cuma berjanji: pe-gawai rendahan seperti Maruf, lapisan yang paling menderita, akan diprioritaskan.
Januari lalu, kelompok Hamas menang pemilu. Israel dan negara-negara donor membangun sebuah logika: sanksi bakal jatuh jika Hamas tidak menghentikan perjuangan bersenjata, tidak menyetujui paket perdamaian dan menolak mengakui Israel.
Hamas bertahan, kemudian pukulan pun datang bertubi-tubi. Israel langsung menutup perbatasan dan menghentikan hasil pungutan pajak warga Palestina yang nilainya US$ 50 juta setiap bulan. Dua minggu lalu, Amerika Serikat menghentikan suplai dananya. Dan terakhir, Senin pekan lalu, pertemuan para Menteri Luar Negeri Uni Eropa ditutup dengan kesepakatan untuk membekukan bantuan. Itulah hantaman terberat, karena nyaris separuh dari bujet mereka, US$ 600 juta, digelontorkan dari negara-negara itu.
Palestina tampak menderita. Toko-toko dan pasar-pasar yang biasanya sesak pada awal bulan sepi pembeli. Pembayaran cicilan rumah dan kredit lainnya, yang juga biasanya padat di awal bulan, menipis. ”Semua cek kosong,” kata seorang petugas bank di Ramallah, melambaikan bundelan kertas di tangannya.
Sanksi jatuh, dan sektor kesehatan jadi korban pertamanya. Israel melarang warga melintasi perbatasan. Akibatnya, terjadilah kelangkaan obat-obatan dan peralatan medis. Senin pekan lalu, sejumlah besar kiriman obat dan peralatan medis tertahan di perbatasan Rafah dan Bandara Internasional Kairo. Selama ini, Departemen Kesehatan membutuhkan lebih dari US$ 4 juta untuk menutup biaya operasional setiap bulan—semua itu habis untuk kegiatan medis, dokter, dan petugas rumah sakit, serta menambal kekurangan obat-obatan dan peralatan medis.
Pierre Kraehenbuehl, Direktur Komisi Operasional Palang Merah Internasional, melihat krisis kemanusiaan sedang merayap di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Pelarangan keluar-masuk Tepi Barat dan Jalur Gaza oleh Israel membuat ekonomi Palestina memburuk tiap hari. ”Pembatasan membuat hidup mereka sangat sulit dan standarnya turun secara signifikan,” katanya. Ia menyerukan dunia internasional cepat turun tangan. Sanksi dari negara-negara donor pada akhirnya akan memicu kerusuhan.
Palang Merah Internasional bersumpah akan menaikkan jumlah bantuannya. Sejauh ini, mereka sudah mengalokasikan US$ 32 juta untuk program-program di Israel dan Palestina tahun ini. Sementara itu, John Ging, kepala badan PBB untuk urusan pengungsi Palestina (UNRWA), di Gaza mencemaskan dampak keamanannya. ”Jika petugas keamanan tidak dibayar, mereka akan frustrasi. Apa itu artinya bagi keamanan di seluruh Gaza?” katanya.
Leanika Tanjung (Reuters, Washington Time, Associated Press)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo