Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Setengah Hati Memburu Perokok

Pemerintah Jakarta mulai mengadili perokok bandel. Tapi pengawasannya masih kedodoran.

17 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG di lantai 17 kantor Departemen Perhubungan itu sedang menikmati pagi. Di antara selarik meja, beberapa orang sedang mengobrol, mencecap kopi, dan ada yang mengepulkan asap rokok. Tiba-tiba kenikmatan pagi itu lenyap ketika belasan orang berseragam biru-biru menggeruduk. Mereka datang de-ngan mata melotot. Di belakang mereka, dua juru kamera dari dua stasiun televisi swasta juga langsung mengambil gambar.

Dalam waktu singkat, pasukan Bantuan Polisi (Banpol) itu ”membekuk” dua perokok di ruangan tersebut, yakni M. Rusli dan Mustafa Kamal. Mereka juga menyita puntung rokok sebagai barang bukti. Kedua pegawai Direktorat Jenderal Perhubungan Laut ini kemudian digelandang ke auditorium gedung KONI Jakarta Pusat yang disulap menjadi tempat pengadilan para pelanggar Peraturan Gubernur Jakarta No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok. ”Penangkapan itu seperti penyergapan penjahat yang ditayangkan di TV,” kata seorang pegawai bagian kebersihan Departemen Perhubungan yang menyaksikan peristiwa itu.

Sejak dua pekan lalu, Pemerintah Provinsi Jakarta mulai se-rius memberlakukan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 2/2005 tentang Pe-ngendalian Pencemaran Udara. Salah satu ketentuan baru di peraturan itu adalah larang-an merokok di tempat umum tertentu seperti sekolah, sarana kesehatan, arena bermain anak-anak, tempat kerja, tempat ibadah, dan angkutan umum. Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso tak main-main dalam soal ini: pelanggarnya bisa diganjar hukuman 6 bulan penjara atau denda maksimal Rp 50 juta.

Seharusnya aturan itu mulai berlaku Februari lalu, namun Sutiyoso menunda-nya karena ketidaksiapan anak buahnya. Nah, Kamis dua pekan lalu pemerintah membuat gebrakan dengan menerju-n-kan ”tim buru sergap” para perokok nakal yang terdiri atas 480 petugas Banpol dan Satuan Polisi (Satpol).

Pada hari pertama itu, pemerintah menggelar dua sidang darurat. Pertama, di gedung KONI Jakarta Pusat sekitar 300 meter di belakang gedung Departemen Perhubungan. Kedua, di lantai III pertokoan Pusat Grosir Cililitan, Jakarta Timur. Di tempat pertama, selain Rusli dan Kamal, ada lagi Wahidin yang dijadikan terdakwa. Hakim mengganjar denda bagi ketiganya masing-masing Rp 30 ribu. Sementara itu, di Cililitan, ada 31 pengunjung dan pemilik toko yang tertangkap tangan sedang mengebul. Di sini, hakim memvonis masing-masing membayar Rp 50 ribu.

”Saya lagi apes,” kata Rusli, terdakwa kasus rokok itu. Lelaki yang saban hari menghabiskan dua bungkus rokok itu bercerita, pagi itu dia mengunju-ngi bagian keuangan. Dia dan sohibnya, Kamal, lantas merokok sambil berbincang-bincang dengan staf keuangan. Saat itulah tim buru sergap perokok nakal datang. Sebenarnya, kata Rusli, banyak rekannya yang lain yang merokok di ruang kerja, namun lolos dari pelototan Banpol. Yang juga bikin Rusli kesal adalah kantornya tidak menyediakan ruang khusus bagi perokok. Kekesalan itu ia sampaikan kepada hakim tunggal yang menyidangnya. Tapi, sang hakim cuma manggut-manggut dan menutup persidangan yang berlangsung lima menit.

Terdakwa kasus rokok lainnya adalah Lupi dan 30 pengunjung Pusat Grosir Ci-lilitan. Di sidang, hakim Ahmad Gafar menceramahi mereka satu per satu. Se-telah itu, vonis de-nda Rp 50 ri-bu dija-tuh-kan kepada mereka. ”Denda-nya terlalu berat,” kata Lupi, penjaga kios telepon seluler itu, sambil bersu-ngut-sungut.

Sutiyoso, yang meninjau persidangan kilat di pertokoan itu, juga memberi wejangan. ”Tenang saja. Ini pelajaran bagi yang lain. Nggak bakalan diapa-apain,” kata Bang Yos, yang tidak mengetahui betapa sulitnya Lupi mendapatkan uang Rp 50 ribu.

l l l

Sudah satu jam Darwis Silitonga dan anak buahnya menunggu. Anggota Satpol itu harus bolak-balik dari lapang-an upacara Balai Kota Jakarta ke ruang-an Dinas Ketenteraman, Ketertiban, dan Perlindungan Masyarakat. Mer-eka menunggu rampungnya berita acara pemeriksaan (BAP) yang menjadi syarat untuk menggelar operasi menangkap para perokok nakal.

Ketika arlojinya menunjukkan pukul 10.15, Kamis dua pekan lalu itu, berkas BAP tersebut rampung dan selesai diperbanyak. ”Tim buru sergap” pimpinan Darwis itu kemudian menuju sasaran kawasan dilarang merokok di perkantoran dan pertokoan sepanjang Jalan Sudirman, Jakarta Selatan. Target pertama mereka adalah gedung Ratu Plasa. Ketika pasukan yang diangkut dua mobil itu memasuki tempat parkir Ratu Plasa, seorang satpam gedung menyambut mereka. ”Manajemen sudah menunggu di lantai 31,” kata Joko Muryanto, sang satpam.

Ketika mereka naik lift, dua peng-umum-an yang ditempelkan di dinding menyambut mereka. Pengumuman itu bertuliskan ”Kawasan Dilarang Merokok”. Dari warnanya yang putih bersih dan lem yang melekat, tempelan peng-umuman itu masih baru. Mereka diterima Maman Sulaeman, General Manager PT Ratu Sayang Lestari, pengelola Ratu Plasa. Dalam diskusi singkat dengan manajer pengelola gedung, Darwis terhenyak.

”Kami tidak bisa memaksa dan melarang, karena merokok sifatnya pribadi,” ujar Maman, seolah ingin melindungi para perokok di plasanya. ”Apa batasan melanggar aturan ini?”

Darwis segera membuka fotokopi peraturan gubernur. Dia membacakan pa-sal 4 dan 6 yang mengatur kewajiban pengelola gedung menetapkan kawasan larangan merokok. Pengelola gedung ju-ga diwajibkan menegur, memper-ingat-kan, dan mengambil tindakan terhadap pengguna yang merokok di kawasan tersebut. Bila aturan ini dilanggar, hukumannya bisa enam bulan atau denda maksimal Rp 50 juta. Akhirnya, para pemburu perokok nakal itu diperbolehkan memeriksa gedung.

Dua bulan rupanya belum cukup untuk mensosialisasi aturan baru itu. Maman adalah buktinya. Ia tak terlalu paham aturan tersebut. Pemerintah DKI tak bisa terus-terusan menggelar ”ope-rasi buru sergap”. Sebab, untuk setiap operasi, mereka harus membayar uang makan dan transportasi para petugasnya Rp 25 ribu per hari. Kalau Dinas Ketenteraman dan Ketertiban ha-rus mengerahkan 6.000 anggota Banpol yang mereka miliki ke setiap kelurahan, kecamatan, dan wali kota, DKI ha-rus mengeluarkan biaya Rp 150 juta. Kalaupun mereka cuma mengerahkan 480 orang seperti dua pekan lalu, mereka mesti menutup biaya operasi Rp 12 juta untuk sekali operasi.

Padahal saat ini banyak anggaran proyek DKI yang belum cair, termasuk proyek sosialisasi dan pengawasan peraturan larangan merokok ini. Terlambatnya proyek ini, menurut sumber Tempo, karena revisi Menteri Dalam Negeri yang menilai sejumlah pos anggaran pemerintah Jakarta kelewat mahal. Alhasil, sepanjang pekan lalu tidak ada lagi operasi penertiban bagi perokok dan pemilik gedung.

l l l

Kendurnya penertiban membuat perokok bebas ria mengebulkan asapnya. Di stasiun, terminal, angkutan umum, dan pasar, masih banyak warga yang tanpa takut merokok. Di sisi lain, aturan itu masih tampak bolong-bolong sehingga warga gampang menyiasatinya.

Syaharani, penyanyi jazz kondang, mengatakan masih bisa merokok di pusat perbelanjaan. Ia biasa menikmati asap tembakau di satu pojok pusat jajan di Plasa Senayan lantai tiga. Di sana, entah sejak kapan, konvensi boleh merokok di tempat jajan itu berlaku. Dan itulah tempat langganan merokok Syaharani. ”Saya tidak bisa membicarakan soal bisnis dengan mitra kerja tanpa ada-nya rokok, kopi, dan makanan,” kata-nya kepada Evieta Fajar dari Tempo.

Lain lagi siasat Pandu Meilaka, yang tinggal di Depok Timur. Dia kini harus memasang mata dan telinga jika naik kereta rel listrik (KRL) Jabotabek menuju Stasiun Kota. Karyawan swasta ini sebulan sekali membeli software atau peralatan komputer terbaru di Glodok. Dulu, tiap kali naik kereta, dia selalu ingat dua hal: mengempit tas dan dompetnya agar tak disambar pencopet. Kini, dia punya satu hal lagi yang harus diingatnya ketika naik kereta: ”Saya matikan rokok jika memasuki wilayah Jakarta,” kata pria yang menghabiskan sebungkus rokok setiap harinya itu. Meski belum pernah ada razia perokok di kereta, Meilaka mencoba menaati aturan itu.

Untung Widyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus