Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para tahanan berseragam biru itu duduk meringkuk dengan tangan dan tubuh terikat. Telinga mereka disumbat karet busa, mata di-tutup, dan mulut disumpal sehingga mustahil mengeluarkan suara. Kantong dikerudungkan di kepala mere-ka kemudian diikat tali agar ”penutup kepala” itu tidak bergeser. Sentuhan terakhir adalah memasang penutup telinga kedap suara.
”Saya kehilangan hampir semua rasa,” kata Muhammad Faraj Bashmilah, salah satu tahanan. ”Tapi, dalam penerbangan ini, saya masih merasakan keberadaan tubuh-tubuh lain di sekitar saya yang bergerak ke depan dan belakang.”
Kepada Amnesty International, Bashmilah memperkirakan penerbang-an itu makan waktu tiga jam. Orang-orang berpenutup kepala se-perti ninja menyiapkan segalanya de-ngan ce-pat dan profesional. Dalam 20 menit, mereka siap berangkat. Para tahanan t-idak saling tahu, saling lihat dan bicara.
Selain Bashmilah, ada Salah Nasir Salim dan Muhammad Abdullah Salah al-Assad, korban penangkapan, penyiksaan, dan pemindahan semena-mena. Me-reka bertiga ”menghilang” setelah ditan-gkap pihak Amerika Serikat dan menghabiskan dua setengah tahun hidupnya berpindah-pindah: dari satu ke lain ta-han-an. Untuk pertama kali, testimoni dijabarkan tiga orang Yaman ini. Amnesty menerbitkannya dalam laporan: Below the Radar: Secret Flights to Torture and ”Disappearance”, awal April ini. Hingga akhir pekan lalu, pemerintah AS belum memberikan tanggapan.
Sebenarnya Amnesty telah membuat la-poran tentang penahanan dan pemin-dah-an pertama kali pada 2005. Meski-pun tidak disebutkan menanggapi la-poran lembaga yang berpusat di New York ini, Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice mengeluarkan pernyataan tentang ”pemindahan”. ”AS tidak pernah memindahkan satu orang pun—dan tidak akan pernah melakukannya—ke ne-g-ara yang membuat orang itu disiksa. AS juga tidak meng-gunakan pesawat dan ban-dar udara di ne-gara mana pun yang diguna-kan memin-dah-kan tahan-an yang membuat dia di-siksa,” kata Rice, 5 Desember 2005.
Pemerintah AS memang menyangkal. Tapi apa yang diungkapkan Amnesty mem-perkuat fakta bahwa telah terjadi penyiksaan di beberapa tahanan AS, se-perti Guantanamo, Kuba; Abu Ghraib, Irak; Baghram, Afganistan, dan di tempat-tempat lain. Pengungkap-an Am-nesty ini juga membuktikan, demi pe-rang me-lawan terorisme pasca-9/11, AS telah melakukan banyak pelanggar-an hak asasi manusia dan kesepakatan inter-nasional lainnya, seperti soal penerbangan antarnegara. Semua itu tecermin dalam kisah tiga pria Yaman itu.
Bashmilah dan Salim ditangkap di Yordania sebelum dipindahkan ke penjara AS pada Oktober 2003. Sedangkan Abdullah ditangkap di Dar es Salaam, Tanzania, pada 26 Desember 2003, dan dipindahkan ke penjara AS beberapa jam setelahnya. Selama ”menghilang”, mereka ditahan setidaknya di empat penjara berbeda di tiga negara berlainan.
Tiga orang Yaman tersebut tidak secara pasti menyebut lokasi-lokasi penjara. Ta-pi dari berbagai bukti yang dipadu-kan dengan serpihan deskripsi cerita mereka, kemungkinan besar selama ”menghilang” mereka ditahan di berbagai penjara di lokasi rahasia—disebut ”situs-situs hitam”—di Djibouti, Afrika Timur; Afga-nistan, dan Eropa Timur.
Menurut Bashmilah dan Salim, mereka yakin diterbangkan dari Yordania ke Afganistan. Tapi mereka tidak tahu tepatnya penjara mereka di Afganistan. Dari berbagai bukti yang sudah dicek silang oleh Amnesty, di Afganistan ternyata tidak hanya ada penjara AS yang sudah di-kenal orang, seperti Baghram, tapi juga tahanan lainnya di tempat yang tak terdeteksi.
Menurut Bashmilah dan Salim, mere-ka ditahan bersama tahanan ”penting dan tingkat tinggi”. Penjagaan ekstraketat, dan semua penjaga mengenakan penutup kepala. Tiap tahanan dikurung dalam sel 2x3 meter dan diawasi ketat secara individual. Kamera pemantau ada di mana-mana. Leher tahanan dirantai dengan kait yang tertanam di lantai sel, yang ukurannya tidak memungkinkan si pesakitan meraih pintu sel. Jenis kait di leher juga bisa membuat tahanan tercekik jika bergerak ke arah tertentu.
Sementara itu, Abdullah diterbangkan dari Dar es Salaam ke Djibouti dengan pesawat kecil, sebelum fajar, 27 Desember 2003. Abdullah hanya bisa mengira-ngira lokasi tahanan barunya di Teluk Aden, Laut Merah itu. Tapi ada beberapa bukti pendukung. Menurut laporan beberapa media massa setelah 9/11, di Djibouti pada 2002 ditempatkan sekitar 800 personel gugus tugas kontra-terorisme AS. Negara itu juga punya landasan pesawat predator tak berawak milik Badan Intelijen AS (CIA). Bukti lain adalah pernyataan Komandan Pusat Komando AS (CENTCOM) Jenderal John Philip Abizaid—yang menguasai operasi di 25 ne-gara dengan 25 ribu prajurit, dari tanduk Afrika hingga Asia Tengah, termasuk Timur Tengah—di depan Senat, Maret 2005. ”Djibouti telah memberi dukung-an luar biasa sebagai tempat pangkalan m-iliter AS, latihan, dan operasi kontra-terorisme.”
Tidak ada kepastian apakah Abdu-llah pernah ditahan di ”situs hitam” yang sa-ma dengan Bashmilah dan Salim. Tapi mereka bertiga hampir bersamaan ditransfer ke tahanan di Polandia, selama 13 bulan. Identifikasi lokasi disimpulkan dari beberapa kepingan fakta, seperti lamanya penerbangan, ransum makanan yang bergaya Barat termasuk pernah dapat pizza, para petugas penjara yang berbicara dengan aksen Eropa, dan toilet yang menghadap kiblat (ini tidak mung-kin terjadi di negara Islam). Bukti lain adalah jatah cokelat Kit Kat yang mereka dapatkan setiap Jumat. Kit Kat adalah kesukaan Abu Zubaydah, pim-pin-an o-perasi Al-Qaidah yang ditahan di pen-jara AS di Polandia pada 2005.
Pada Mei 2004, ketiganya dikembali-kan ke Yaman, ditahan di penjara Sana’a. Pada 13 Februari 2006, lebih dari sembilan bulan dikurung di Sana’a atau dua setengah tahun sejak mereka pertama kali ditahan, mereka diadili dengan tuduhan terlibat kelompok pemalsu pas-por. Tidak ada bukti pemalsuan itu. Tapi mereka tetap divonis dua setengah tahun pada 27 Februari 2006. Karena masa ta-hanan yang sudah mereka jalani sekitar dua setengah tahun juga, mereka pun dibebaskan.
Pemindahan tahanan ke berbagai pen-jara rahasia adalah bagian tak terpisahkan dari perang AS melawan terorisme. Sebelum 9/11, ”pemindahan” dilak-ukan untuk mengembalikan tersangka tero-ris ke AS untuk diadili. Tapi, sejak 9/11, praktek pemindahan dilakukan justru agar para pesakitan tidak diadili, tapi diserahkan ke peme-rintah lain agar diinteroga-si. Lalu bermunculanlah be-berapa lokasi seperti Pa-kistan, Mesir, Suriah, Yor-dania, dan beberapa lagi yang masih menjadi ”situs-situs hitam”. Pada 2004, bekas Direktur CIA, George Tenet, di depan Komisi 9/11 Kongres, mengaku CIA telah pu-nya bagian khusus pemin-dahan tahanan sejak 1997. ”Bagian ini sukses menjalankan fungsi pasca-serangan 9/11,” katanya.
Hingga kini belum ada data pasti tentang letak dan jumlah penjara di bawah ”manajemen” AS serta jumlah tahanan, baik yang sudah mati maupun selamat. Bukti-bukti terjadinya pemindahan ta-hanan yang mendukung pengakuan beberapa korban juga bukan bukti keras, melainkan bukti tak langsung. Salah satunya adalah penggunaan pesawat sewa—je-nis jet Gulfstream dan Boeing 737—untuk meng-angkut tahanan. Lapor-an Amnesty menyebutkan nama beberapa perusahaan persewaan pesawat yang punya kaitan dengan CIA. Perusahaan-perusahaan tersebut punya keanehan, antara lain tidak ada kantor, hanya kotak surat.
”Situs-situs hitam” memang masih misteri. Tapi, melihat banyaknya pihak yang punya perhatian serius terhadap ulah AS, perlahan niscaya tabir itu terkuak.
Bina Bektiati (Amnesty International, Human Right Watch, New York Times, Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo