Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Donald Trump bertemu di Hanoi, Vietnam, untuk melanjutkan perundingan perdamaian dua negara yang saling bermusuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Permusuhan Korea Utara terhadap Amerika tidak terlepas dari Perang Korea pada 1950-1953, yang hanya ditangguhkan melalui perjanjian gencatan senjata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari CNN, 27 Februari 2019, gencatan senjata diteken pada 27 Juli 1953, di mana Korea Utara yang saat itu memiliki populasi 9,6 juta, harus kehilangan 1,3 juta warga sipil dan tentara akibat perang. Sementara Korea Selatan kehilangan 3 juta lebih warga sipil dan 225 ribu tentara dari total populasi 20,2 juta pada 1950.
Amerika sendiri kehilangan 33.000 prajuritnay dan Cina, yang ikut ambil bagian membantu mitra komunisnya, kehilangan 600.000 jiwa.
Warga berdoa di depan patung perunggu Kim Il Sung dan Kim Jong Il saat perayaan ke-62 berakhirnya perang Korea di Munsu Hill, Pyongyang, Korea Utara, 27 Juli 2015. Berawal dari konflik antara dua pemerintahan, perang Korea meningkat menjadi konflik multi-nasional. Korea Utara didukung oleh Rusia dan China sedangkan Korea Selatan memperoleh dukungan dari PBB dan Amerika Serikat. AP/Wong Maye-E
Gencatan senjata tidak berarti menghapus permusuhan keduanya. AS dan Korea Utara melarang warganya berkunjung ke masing-masing negara.
Bagi orang Korea Utara, Amerika adalah penyebab kehancuran dengan dimulainya serangan udara oleh Angkatan Udara AS USAF.
Amerika menjatuhkan sekitar 635.000 ton bom ke Korea Utara, jumlah yang lebih banyak dijatuhkan AS selama Perang Dunia II di teater Pasifik. Angka ini termasuk 32 ribu ton bom napalm.
Serangan udara mematikan AS dipakai oleh pemerintah Korea Utara untuk menggambarkan AS dalam setiap propagandanya bahwa Amerika adalah musuh yang bisa melakukan hal mengerikan itu lagi ke negara mereka.
"Pemboman itu dianggap sebagai dosa Amerika dalam propaganda (Korea Utara) dan tentu saja biadab," menurut Robert E. Kelly, seorang profesor ilmu politik di Universitas Nasional Pusan Korea Selatan. "Ini menjadi alat politik untuk membenarkan keadaan darurat permanen. Sama seperti penggunaan propaganda penjajahan Jepang."
Proganda Anti-Amerika
Pemerintah Korea Utara kemudian mulai mendidik generasi selanjutnya dengan pandangan anti-Amerika, di antaranya anak-anak TK menggambar potret anti Amerika, media menyebar video militer AS yang hancur terbakar. Pada 25 Juni, hari peringatan pecahnya Perang Korea, dirayakan orang-orang Korea Utara sebagai hari perjuangan melawan imperialisme AS.
Salah satu buku propaganda Korea Utara yang diperolej Vox, berjudul The US Imperialists Started the Korean War yang ditulis oleh tiga akademisi Korea Utara yang disetujui negara.
Buku ini adalah propanda lengkap tentang agresi Amerika, dengan narasi utama bahwa AS memprovokasi Perang Korea pada 1950-an sebagai bagian dari strategi yang jauh lebih luas dari dominasi global pasca-Perang Dunia II.
Seorang anak menggambar tank dan senjata selama kelas seni di Pyongyang, Korea Utara.[CNN]
Sebaliknya, bapak pendiri Korea Utara, Kim Il Sung, dipuja sebagai dewa di Korea Utara dan dipuji dengan prestasi yang tak terbatas.
Yang paling menonjol adalah menciptakan ideologi panduan negara, "juche" yang berarti kemandirian, dan membebaskan Semenanjung Korea dari Pendudukan Jepang.
Karya-karya sastra dan seni juga berisikan ode yang memuja-muji Kim Il Sung.
Contoh dari karya sastra ini adalah naskah drama "Lautan Darah". Ini dianggap sebagai karya budaya paling penting di negara itu, yang menceritakan tentang seorang petani miskin yang bergabung dalam perang melawan pendudukan Jepang. Dia terbunuh, tetapi istrinya, yang bergabung dengan perlawanan komunis, terus membantu mengalahkan Jepang.
Ideologi Juche telah ditanamkan ke dalam jiwa orang Korea Utara sejak Kim Il Sung pertama kali memperkenalkannya selama tahun 1950-an.
Karya-karya propaganda seperti "Lautan Darah" dan fakta bahwa hampir mustahil bagi rakyat Korut di dalam negeri untuk mendapatkan informasi dari dunia luar, membantu memperkuat sentimen orang Korea Utara terhadap Amerika Serikat.