SUASANA perang masih mencekam kota Ocosingo di selatan Meksiko. Serdadu bersenjata lengkap tampak di mana-mana. Helikopter militer berputar-putar di angkasa dan kendaraan lapis baja lalu-lalang di jalan-jalan. Tembok yang bolong oleh senjata berat dan reruntuhan gedung aula kota adalah monumen pemberontakan bersenjata puak Indian di tahun baru. Padahal, tahun baru 1994 semestinya merupakan hari bahagia bagi Presiden Meksiko, Carlos Salinas de Gortari. Itulah hari mulai berlakunya perjanjian kawasan perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA) yang menjanjikan kemakmuran masa depan negara berpenduduk sekitar 90 juta ini. Tapi yang terjadi justru tragedi. Tanggal 1 Januari 1994 ternyata ditandai dengan dikuasainya lima kota di Negara Bagian Chiapas oleh 800-an gerilyawan bersenjata. Indeks bursa saham pun langsung melorot 100 angka, dan 50 angka keesokan harinya. Para penyerbu tampaknya petani pedusunan, yang yakin bahwa NAFTA hanya akan memperkaya kelompok mapan, dan mereka akan semakin tercampakkan ke jurang kepapaan. "Perjanjian perdagangan bebas itu sertifikat mati bagi suku Indian, yang memang dikorbankan oleh pemerintahan Salinas," kata komandan gerilyawan yang dipanggil sebagai Komandan Marcos kepada para wartawan. "Kami yang bekerja, tapi mereka yang mengambil keuntungan," kata Jose Perez Mendez, seorang gerilyawan muda yang tertangkap. Siksaan penduduk kota yang menyebabkan tubuhnya babak belur tak menurunkan semangat marahnya. Bagi Mendez, dan warga asli Indian di Chiapas, mungkin memang tak ada pilihan lain. Mereka umumnya cuma petani miskin yang tak banyak berperan di bidang ekonomi. Tanah garapan mereka milik petani kaya berdarah campuran yang disebut orang Mestizo, pendukung utama PRI, partai berkuasa. Dan perebutan lahan garapan antara para petani kaya dan petani papa menjadi ciri khas daerah ini. Sejauh ini, militer dan polisi tampaknya dianggap berpihak ke yang berpunya. Maret tahun lalu, misalnya, dua serdadu diculik dan seminggu kemudian jenazah mereka, yang hangus terbakar, ditemukan. Sebulan kemudian, tentara melaporkan dua patroli mereka ditembaki kelompok tak dikenal. Tanda-tanda keributan ini rupanya kurang dihiraukan. Demikian juga kabar kegiatan latihan militer gerilyawan di daerah hutan pinus di perbukitan Chiapas, yang sempat diberitakan media lokal. Gubernur Gonzales Blanco secara resmi membantah kabar itu. Itu sebabnya Presiden Salinas mengaku terkejut oleh penyerbuan yang memakan korban 96 orang tewas itu. Fakta bahwa Chiapas adalah negara bagian Meksiko termiskin segera membuatnya menarik kesimpulan bahwa kepapaan adalah penyebab utama. "Kami sadar bahwa kepapaan dan ketidakadilan masih ada," katanya di depan parlemen Meksiko. "Kami sadar bahwa kesejahteraan dan peluang belum menjadi kenyataan bagi banyak orang." Maka, Presiden berpesan kepada sekitar 12.000 tentara yang segera meluncur ke lokasi pertempuran, untuk mencoba mencari jalan damai lebih dahulu sebelum menembak. Pun diumumkan, gerilyawan akan diampuni jika membebaskan tawanan, serta menyerahkan senjata, termasuk 1,5 ton dinamit yang diambil dari gudang pemerintah. Tapi pengumuman itu tak bersambut. Yang terdengar adalah tantangan. "Perang ini akan berlangsung 30 tahun," teriak seorang gerilyawan. Terpaksalah helikopter dan pesawat angkatan udara Meksiko memuntahkan roket ke lokasi-lokasi yang diduga menjadi tempat berkumpulnya para gerilyawan yang mengundurkan diri ke hutan. Lima hari setelah penyerbuan, tentara pemerintah berhasil membebaskan semua kota yang dikuasai oleh gerilyawan. Tercatat 8 tentara, 60-an gerilyawan, 22 polisi, plus lima penduduk sipil tewas. Suasana tak menentu sempat menyebabkan mayat yang bergelimpangan dibiarkan berserakan. "Saya menyesalkan metode bunuh diri mereka," kata Pendeta Samuel Ruiz, uskup di Kota San Cristobal de las Casas, ibu kota Chiapas, tentang tewasnya para gerilyawan. Ruiz dikenal karena kelantangannya dalam memprotes kegiatan pemerintah yang dituduh sering mengabaikan hak asasi penduduk Indian asli. Ia mengaku bahwa kepapaan dan penjajahan politik terhadap suku Indian semakin berkurang. Namun, ketegangan sosial justru memuncak karena proses konsentrasi kekayaan menyebabkan ketimpangan semakin terasa. "Orang Indian yang cuma punya gubuk kecil dan sepasang pakaian datang ke kota, melihat mobil bagus berseliweran, dan hotel mentereng serta berbagai kemewahan lainnya," katanya. "Mereka tentu punya kepekaan juga terhadap hal ini." Dugaan pendeta yang dikenal gencar membela kepentingan puak Indian ini tampaknya cukup jitu. Kenyataan bahwa para gerilyawan itu menamakan diri sebagai kelompok Zapatista jelas mengacu pada nama Emiliano Zapata, Indian revolusioner yang memimpin pemberontakan selama 19 tahun pada dasawarsa pertama awal abad ini. Zapata, yang berontak untuk merebut kembali tanah suku Indian, sempat menduduki Kota Meksiko tiga kali sebelum mengundurkan diri ke pedalaman dan dibunuh seorang pengkhianat. Selain Zapata, penduduk asli Chiapas juga membanggakan kejayaan leluhur mereka, suku Maya yang tersohor itu. Ini, kata penyair Meksiko Octavio Paz, menimbulkan keyakinan bahwa penderitaan mereka disebabkan oleh penindasan orang Spanyol selama berabad-abad. "Dan keluhan mereka tak didengar oleh kaum berada ataupun pemerintah," kata pemenang hadiah Nobel untuk sastra tahun 1990 ini. Atau, masih kata Paz, pemerintah terlambat mendengarnya. Sebab, tahun lalu Meksiko menganggarkan dana senilai Rp 1,5 triliun untuk program sosial di Chiapas. Itu jumlah yang besar, atau sekitar 8% dari anggaran program sosial bagi seluruh Meksiko, yang terdiri atas 31 negara bagian. Atau anggaran itu mungkin tak sampai ke tangan yang seharusnya? Korupsi bukan barang aneh di Meksiko. Coba dengar kata seorang gerilyawan yang hanya mau menyebutkan nama samarannya, Yesus. "Tak ada jalan lain untuk bertahan hidup di Meksiko," katanya kepada wartawan New York Times yang menjumpainya sedang menghancurkan aula Kota Altamirano. "Tak ada kesempatan kerja, tak ada tanah, dan tak ada pendidikan," kata pemuda berusia 20-an tahun yang mengaku tinggal dekat perbatasan Guatemala itu. Chiapas memang berbatasan dengan Guatemala. Itu sebabnya pihak berwenang curiga bahwa kegiatan Zapatista ini ada kaitannya dengan kegiatan gerilyawan kiri Guatemala atau kelompok kiri Amerika Latin lainnya. Memang, gerilyawan Guatemala kadang-kadang mengungsi ke hutan Chiapas. Hanya saja, kecurigaan ini tak dilengkapi bukti yang kuat. Satu-satunya bukti yang diajukan adalah kenyataan bahwa satu dari 34 tawanan pemerintah mengaku berasal dari Guatemala. Selain ke gerilyawan kiri asing, kecurigaan juga dilemparkan ke gereja, yang berhaluan "teologi pembebasan". Mereka kebanyakan orang Amerika Tengah, ketahuan dari logatnya. "Dan mereka dibiayai oleh Uskup Samuel Ruiz untuk membuat onar," kata Juan Ranchez Latour, seorang peternak kaya di Ocosiongo. Tuduhan Latour dibantah Ruiz, yang dikabarkan akan dipindahkan Vatikan ke tempat lain. "Penyebab utamanya adalah pengucilan dan kepapaan yang diderita mereka," kata Gonzalo Ituarte, juru bicara Ruiz. Diakuinya bahwa diskriminasi terhadap suku Indian tak lagi segawat 30 tahun silam, ketika mereka dilarang masuk kota. "Tapi mereka merasa terputus dari kereta pembangunan, dan kita tak seharusnya menjalankan pembangunan yang meninggalkan sekelompok orang yang merupakan leluhur asli tanah ini," ujarnya. Sederet data memang mendukung pernyataan Ituarte. Porsi penduduk berusia di atas 14 tahun yang melek huruf di Chiapas kurang dari 70% alias terendah di Meksiko, yang rata-ratanya 88%. Demikian pula dalam soal sarana listrik, kesehatan, maupun air bersih, Chiapas berada pada posisi paling bontot. Bila ada yang nomor satu di Chiapas, itulah angka untuk pelanggaran hak asasi manusia. Tentu, Presiden Salinas ingin mengubah citra ini. Selain menjanjikan bahwa pasukan pemerintah akan menghormati hak asasi manusia, ia juga menjanjikan berbagai program sosial bagi puak Indian, yang merupakan 29% penduduk Meskiko. Manuver doktor ekonomi lulusan Universitas Harvard ini rupanya cukup jitu meyakinkan pasar. Sepekan setelah penyerbuan tersebut, bursa saham Meksiko naik pesat, lebih tinggi daripada sebelum tragedi terjadi. Masalahnya, tidakkah dulu pernah ada janji semacam itu. Seberapa kuat pemerintah Meksiko kini berniat mewujudkannya, dan dengan cara bagaimana?Bambang Harymurti (Washington, D.C.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini