Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ketika Apartemen Sedingin Kulkas

Suhu dingin ekstrem melanda Amerika Serikat dan Eropa. Aneka pengalaman orang Indonesia menghadapinya.

16 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yoes C. Kenawas membeli tiket Japan Airlines untuk pulang ke Indonesia pada akhir Januari lalu. Mahasiswa yang tinggal di Kota Wenston,- Illinois,- Amerika Serikat, ini mendapat pemberitahuan soal suhu udara akan dingin karena sedang memasuki puncaknya. Tiga hari sebelum jadwal keberangkatan juga ada peringatan tambahan bahwa suhu akan lebih rendah daripada biasanya akibat udara dingin dari Arktik, seruak dingin (polar vortex), yang diprediksi melanda Eropa Utara, Eropa Barat, dan Amerika Serikat.

Untuk memantau keadaan, Yoes rutin mengecek akun Twitter maskapai penerbangan Jepang itu dan menengok jadwal penerbangan keluar-masuk Bandar Udara Internasional O’Hare, Chicago, Illinois. Sehari sebelum berangkat, ia mendengar ada sejumlah pesawat yang batal terbang. Namun Japan Airlines menyatakan tak ada perubahan. Mahasiswa S-3 jurusan ilmu politik di Northwestern University, Chicago, itu pun pergi ke bandara.

Hari itu suhu di wilayah Illinois berada pada titik terendah. Pemerintah Illinois menetapkan keadaan darurat setelah suhu turun ke angka minus 23 derajat Celsius pada Rabu pagi. Adanya angin dingin membuat suhu udara anjlok menjadi minus 49 derajat Celsius. Sekolah, dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, diliburkan. Suhu wilayah itu terakhir kali turun hingga di bawah 20 derajat Celsius pada Januari 1994. Wali Kota Chicago Rahm Emanuel menyebut cuaca dingin ekstrem ini “mengancam jiwa”.

Jalan menuju bandara juga lebih sepi karena hampir semua kantor diliburkan. Yoes mendengar ada dua jalan besar dan jalan tol ditutup karena ada kecelakaan akibat cuaca dingin, yang membuat banyak jalan tertimbun salju. Setiba dia di bandara, layar masih mencatat jadwal penerbangan Japan Airlines tujuan Jakarta sesuai dengan jadwal. Petugas maskapai hanya menyatakan akan ada keterlambatan karena pesawat masih diparkir di terminal 5, belum dipindahkan ke terminal 3.

Bandara Internasional O’Hare tak tampak seperti biasanya. Sejumlah penerbangan mengumumkan penundaan keberangkatan. Petugas darat, yang biasanya terlihat mengisi avtur atau memasukkan bagasi dan makanan ke pesawat, hanya terlihat satu-dua orang. Saat pesawat Japan Airlines- akhirnya tiba di terminal 3, terdengar pengumuman bahwa keberangkatannya ditunda. “Alasan penundaan adalah cuaca dingin yang terlalu ekstrem,” kata Yoes kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Menurut NBC News, lebih dari 1.500 kedatangan dan keberangkatan pesawat di bandara itu dibatalkan pada hari tersebut.

Maskapai menginapkan Yoes dan penumpang lain di hotel terdekat dan dijadwalkan terbang keesokan harinya. Menurut Yoes, pada 31 Januari itu cuaca memang lebih hangat. Suhu naik dari minus 46 derajat ke minus 30 derajat Celsius. Langit lebih cerah, matahari juga terlihat, meski tampak ada awan kehitaman. Tapi udaranya masih sangat dingin. Petugas darat sudah terlihat lebih banyak di sekitar pesawat dibanding sehari sebelumnya. Pesawat akhirnya terbang setelah sempat ada penundaan sekitar satu jam. “Saat terbang, saya melihat pemandangan Danau Michigan di bawah yang tampak membeku,” ujarnya.

Menurut situs The Weather Channel, seruak dingin pada akhir pekan Januari itu menyebabkan ribuan penerbangan di bandara di negara bagian barat-tengah Amerika dibatalkan. Menurut NBC News, seruak dingin juga menyebabkan setidaknya 17 orang tewas dan pengiriman melalui pos dihentikan sementara. Sampai Kamis itu, sebagian besar perguruan tinggi di negara bagian tersebut ditutup.

Suhu dingin ekstrem juga melanda Ohio, sekitar 429 kilometer ke arah timur Chicago. Suhu dingin ekstremnya terjadi pada 30 dan 31 Januari, yang tercatat -30 derajat Celsius. “Sepanjang hari itu anginnya sangat kencang dan berbahaya. Kalau keluar dalam lima menit, bisa merusak kulit akibat radang dingin (frostbite),” kata Ikhsan Darmawan, mahasiswa S-3 asal Indonesia yang tinggal di Kota Kent, Ohio, kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Radang akibat dingin itu membekukan kulit dan jaringan di bawahnya.

Suasana Kota Moskow yang tertutup salju, 13 Februari 2019./Reuters/Maxim Shemetov

Selain radang dingin, ancaman mematikan lain adalah hipotermia, kondisi ketika mekanisme tubuh tidak bisa mengatasi tekanan suhu dingin. Salah satu korban tewas di Ohio adalah perempuan 60 tahun yang tinggal di rumah tak berpenghuni. Dokter yang memeriksanya mengatakan bahwa wanita itu tampaknya meninggal karena hipotermia.

Menurut Ikhsan, warga Kent sudah diperingatkan soal cuaca dingin ekstrem yang akan datang. Pengumuman itu membuat warga memborong persediaan makanan di Walmart pada 29 Januari. “Saya kebetulan hari itu juga ke Walmart,” ucap mahasiswa Kent University itu. Kampusnya juga mengumumkan bahwa perkuliahan hari itu dan keesokan harinya diliburkan. Pemilik apartemen East Summit Street Kent, tempat Ikhsan tinggal, juga mengeluarkan edaran kepada penghuninya: kalau keluar dari rumah, pemanas tetap dinyalakan dan keran air harap tetap dibuka untuk menghindarkan air di pipa membeku.

Keesokan harinya suhu memang lebih dingin, yang membuat kota itu lebih sepi daripada biasanya. Orang masih tampak lalu-lalang dalam mobil. Tapi frekuensinya jauh lebih rendah dibanding hari biasa. Setelah itu, datang lagi pemberitahuan dari kampus bahwa perkuliahan tanggal 31 Januari juga diliburkan akibat suhu yang turun lebih drastis.

Cuaca ekstrem itu membuat Ikhsan memilih lebih banyak tinggal di kamar. “Pada hari Rabu atau Kamis itu saya tidak mandi sama sekali. Biasanya kalau musim dingin masih mandi walaupun cuma sekali,” katanya. Ia hanya makan, minum, dan tidur selama hari-hari dingin itu. “Apalagi saya juga tidak punya TV, jadi hiburannya paling buka-buka media sosial di telepon seluler.”

Meski di kamar sudah ada pemanas, dinginnya masih sangat terasa. Jendela terasa lebih dingin. “Saya sampai pakai jaket dan kaus kaki di kamar selama dua hari itu. Dingin di dalam kamar melebihi dingin AC di Indonesia,” ujar Ikhsan. “Rasanya seperti di dalam kulkas.”

Keesokan harinya, 1 Februari, suhu Ohio mulai membaik. Udara lebih hangat karena naik menjadi nol derajat Celsius. Ikhsan pun bisa lari pagi seperti rutinitasnya selama ini. Ia juga bisa ke Masjed of Kent, yang terletak di 326 E Crain Avenue, sekitar lima menit jalan kaki, untuk salat Jumat. Sore harinya, ia pergi ke kampus, yang hari itu menggelar diskusi bertema situasi politik di Mesir dan Yordania.

Meski sama-sama terkena seruak dingin, suhu udara di sejumlah negara Eropa tak seekstrem di Amerika Serikat. Di Swedia, dalam dua pekan lalu, udaranya memang dingin. Paling rendah suhunya sampai -19 derajat Celsius. “Di musim dingin Februari-Maret, suhu segitu biasa aja. Kalau di bawah -25, di daerahku masih biasa,” kata Sensen Gustafson, warga Indonesia yang tinggal di perdesaan yang terletak 100 kilometer arah utara Stockholm, Swedia, kepada Tempo, Senin pekan lalu. “Di Swedia paling utara, daerah Kiruna, sampai -30 derajat Celsius itu masih tergolong normal.”

Menurut Sensen, Swedia selalu siap menghadapi musim dingin. Mobil diwajibkan memakai ban khusus selama Desember-Maret. Begitu salju turun, mobil masih bisa jalan. Di musim dingin, tidak ada yang berubah dari kebiasaan banyak orang Swedia. “Orang kerja seperti biasa,” ujarnya.

Menurut Sensen, mereka justru tidak siap menghadapi musim panas, yang diprediksi terjadi ekstrem tahun ini. Udara panas membuat banyak orang kelimpungan, terutama di rumah-rumah panti jompo dan rumah sakit yang tidak memiliki penyejuk udara.

Biasanya orang mengharapkan suhu udara minus karena itu akan membuat jalan beku dan gampang dilewati. Pekan ini, kata Sensen, suhu diprediksi di atas nol derajat, yang membuat jalan becek dan licin. Kalau suhu di bawah minus 15 derajat, baru disarankan tidak banyak berkegiatan di luar. “Orang di sini justru aktif bekerja, lebih produktif, pada musim dingin. Kalau musim panas, orang justru memilih liburan, berjemur,” ucapnya. “Pepatah orang Swedia: tidak ada cuaca buruk, yang ada adalah pakaian yang tidak cocok dengan cuacanya.”

ABDUL MANAN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus