PARTAI Berjaya sudah tidak jaya lagi di Sabah. Dengan hanya memenangkan enam kursi DPRD, partai yang berkuasaitu terpaksa mengaku kalah pada PBS (Partai Bersatu Sabah), pendatang baru yang merebut 25 kursi. Sisa 17 kursi terbagi untuk USNO (United Sabah National Organisation), 16, dan Pusok, 1. Komposisi DPRD hasil pemilu 21 April itu ternyata berada di luar perhitungan semua pihak. Tapi agaknya yang paling terpukul adalah Datuk Harris Salleh, 54, presiden Berjaya. Ia "tewas" di tangan presiden PBS, Datuk Yoseph Pairin Kitingan, 45, seorang pribumi Dayak Kadaan, tokoh yang bergelar Huagan Siou - "pemimpin agung". Bekas pengacara ini pernah belajar hukum di Universitas Australia Selatan dan karier politiknya justru dimulai sebagai seorang tokoh pendiri Berjaya. Pairin, yang sempat menjadi wakil presiden Berjaya, pada 23 Agustus 1984 menyatakan keluar dari partai itu, lalu terjun ke gelanggang politik dengan bendera baru. PBS didirikannya hanya 47 hari sebelum pemilu berlangsung. Itulah awal jalan pintas yang ditempuh Pairin untuk - dan menang secara gemilang - merebut posisi orang No. 1 di Sabah. Tapi sejak pelantikannya yang direstui wakil PM Malaysia Datuk Musa Hitam 22 April berselang, Datuk Pairin malah tidak dapat bekerja dengan tenang. Keabsahannya sebagai ketua menteri Sabah digugat oleh Tun Datu Mustapha Harun, 67, lewat pengadilan tinggi d sana. Tidak cuma itu. Mustapha - ketua USNO dan pernah menjadi ketua menteri Sabah (1967-1976) menuntut agar Pairin tidak dibenarkan menjalankan tugas sehari-hari sebagai ketua menteri. Dan sejak pekan silam, beberapa tokoh, di antaranya Yang DiPertua Negeri Tun Haji Adnan Robert telah didengar keterangannya sehubungan dengan gugatan Mustapha itu. Bagaimana sebuah pemilu bisa berbuntut sampai ke pengadilan? Lagi-lagi duduk perkaranya terpaksa dipulangkan kepada Datuk Harris Salleh. Merasa pahit dan tidak bisa percaya akan kekalahan Berjaya, sang Datuk tampaknya masih ingin mencoba "mengguncang" Sabah, sebelum "terbuang" dari pentas kekuasaan. Melalui Majid Khan, ia menawarkan koalisi Berjaya-USNO dengan Datu Mustapha Harun sebagai ketua menteri. Menyadari koalisi ini (22 kursi) masih kalah suara dengan PBS (25 kursi), Mustapha menolak rencana gila itu. Tapi belakangan ia tergoda, konon karena ada jaminan bahwa Datuk Musa Hitam menyetujui. Maka, Senin dinihari, sekitar pukul 3, terjadilah insiden yang oleh seorang tokoh PBS Steven Kutai disebut sebagai "upaya menjijikkan untuk merebut kekuasaan". Sekitar 20 orang dari Berjaya dan USNO bergerombol masuk ke Istana tanpa dapat dicegah. Mereka bertingkah laku sedemikian rupa hingga waktu itu Yang DiPertua Negeri Adnan Robert merasa takut bukan alangkepalang. Ia begitu takut hingga - seperti yang diungkapkannya di depan pengadilan - diam-diam mempersenjatai diri dengan keris dan pistol. Tanpa upacara keriegaraan sebagaimana lazimnya, Adnan Robert di pagi buta itu menyelenggarakan pengambilan sumpah Tun Mustapha dalam keadaan terpaksa. Menurut UU yang berlaku di Sabah, seorang Yang DiPertua Negeri memang punya tugas-tugas ceremonial, di antaranya melantik seorang ketua menteri - dengan catatan harus dilakukan sesuai dengan hasil pemilu. Kini timbul pertanyaan, mengapa Robert menyimpang dari hasil pemilu. Bisa dipersoalkan pula mengapa rombongan Tun Mustapha dengan "mudah" menerobos Istana, sedangkan rombongan Datuk Pairin yang datang kemudian dicegat di pintu gerbang. Terlepas dari kekalutan itu, 22 April siang, Yang DiPertua Negeri - dengan persetujuan Wakil PM Datuk Musa Hitam - mengambil sumpah Datuk Pairin Kitingan sebagai ketua menteri. Adnan Robert juga mengeluarkan surat resmi yang membatalkan pelantikan Mustapha. Tapi karena surat itu, suhu politik di Kota Kinabalu justru menanjak. Oleh Mustapha - yang tetap dipandang masyarakat sebagai orang kuat Sabah - surat itu dijadikan bukti bahwa pelantikannya memang pernah terselenggara. Bertolak dari sini, ia, 23 Mei lampau, mengajukan gugatan ke pengadilan, menuduh pelantikan Datuk Pairin tidak sah sama sekali. Apa kata Datuk Harris? Kepada harian The Star, rencana koalisi Berjaya-USNO dibantahnya keras. Ditegaskannya bahwa dengan enam kursi di DPRD, Berjaya tidak punya alasan untuk bicara macam-macam. "Orang-orang saya bebas memilih. Dari Berjaya tidak ada koalisi, tidak ada menteri," ucapnya tandas. "Ini memang suatu straregi politik . . apa yang saya inginkan adalah pemilu baru," katanya lagi. Maksudnya, agar pemilu diulangi, dan siapa tahu Berjaya bisa menebus kekalahannya. Dalam pada itu, Datuk Pairin tidak tinggal diam. Ia minta supaya DPRD mengadakan sidang darurat, yang walaupun diboikot 16 wakil USNO, tetap berhasil mengumpulkan dukungan penuh bagi Pairin. Baharom Titingan, satu dari tiga anggota Berjaya yang menyeberang ke PBS menyatakan bahwa sidang darurat itu sebetulnya tidak perlu karena PBS menguasai mayoritas DPRD. Tapi bagi Pairin suatu "pameran kekuatan" memang harus ditunjukkan untuk menghadapi Harris dan Mustapha. Dia juga menyatakan rencana PBS menjadi anggota Barisan Nasional, front partai-partai yang berkuasa di Kuala Lumpur. Sebegitu jauh, belum ada jawaban dari pusat. Mengenai gugatan Mustapha, tampaknya Kuala Lumpur juga lebih suka menunggu. Sementara itu, suasana di Sabah tak ubahnya seperti api dalam sekam. Penduduknya yang berbeda agama dan ras itu (Kadazan 42%, Melayu 28%, Murut dan Bajau 10%, Cina 20%) belum terpancing oleh beberapa ledakan dan kebakaran masjid. I.S. Laporan Ekram Atamimi (Kota Kinibalu) Bambang Harymurti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini