Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Matinya raja anwar

Enver hoxha, tangan besi albania, meninggal. negeri ateis yang terisolir dari dunia luar, terutama sikap bermusuhan dengan rusia & cina. tak segan-segan membantai lawan politik & melarang kegiatan beragama. (sel)

8 Juni 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NEGERI aneh, memang. Terletak di Benua Eropa - wilayah yang kemilau dengan berbagai kemajuan - tanah air yang satu ini terkungkung bagai daerah suku terasing di kawasan reservasi. Rakyatnya hidup terpisah dari dunia luar, di balik tembok politik isolasi yang tebal, dan papa - walau tak diwajibkan membayar pajak. Rasa tertekan dan ketakutan, ibarat kata, adalah udara yang mereka hirup sehari-hari. Toh negeri itu bernama "negara rakyat". Komunisme, dengan semangat internasionalisme yang terkenal itu? Bukan. Komunisme mereka dari jenis yang tertutup - jauh lebih menguncup dari sikap introver RRC zaman Mao. Mereka nyata tak suka pada internasionalisme - bahkan bersemangat antiasing dengan pengertian paling harfiah. Rasialisme, dan ketegangan etnis yang menekan kaum minoritas dalam negeri, adalah angin kericuhan sehari-hari yang sah. Komunisme di sana, yang tak purlya kiblat, adalah paham yang justru benci Uni Soviet dan benci Cina. Mereka bilang, merekalah komunis paling murni. Paham materialisme memang telah mereka lengkapkan pula: agama bukan cuma bahan nistaan, tapi sekaligus larangan. Negeri garang itu, yang - dikatakan - kaya dengan gagasan puisi, terletak di pesisir Laut Adriatik yang paling teduh. Dan itulah Albania, Albania yang dikenal jelita. Albania? Ya, kawan lama yang puluhan tahun tak melayangkan berita. Sejarah bangsa-bangsa pernah memperkenalkannya sebagai sebuah tonggak. Di sana bermukim bangsa Illyria, bangsa tertua di Eropa. Juga sejarah kebudayaan Islam mencatatnya sebagai anggota warganya. Dan Karl May, lewat novel petualangan tentang Kara ben Nemsi, mengakrabkannya dengan para remaja. Tetapi pada zaman akhir, kawan lama itu menutup diri. Tiada wartawan yang pernah mampu menyingkapkan tabir untuk menjual berita. "Tak ada apa-apa yang bisa kaulihat," jawaban biasanya datang dari seberang dalam. Itu bukan saran, tapi kalimat lain dari: "Tak usah kau kemari." Dan orang pun kemudian memang tidak ke sana. Sampai kemudian, negeri yang luasnya hanya 28.748 km2 dan berpenduduk kurang dari tiga juta jiwa itu tiba-tiba menarik perhatian kembali. Yakni ketika pemimpin besarnya, Enver Hoxha namanya, meninggal akibat penyakit jantung dan gula, April yang lewat. Enver Hoxha, yang namanya susah diucapkan (dan ternyata cuma Anwar Hoja), penguasa selama 42 tahun - masa yang lebih panjang dari usia Republik Rakyat Albania sendiri - dan berusia 76 tahun ketika mati, memang pokok pangkal segala yang khas di sana. Ia suka mondar-mandir dalam politik - tidak dalam arti berdiplomasi ke sana ke sini, tapi mencari-cari tempat parkir yang cocok. Pada masa awal kemerdekaan, waktu Republik Rakyat baru diproklamasikan, Hoja membawa Albania dalam suasana bersahabat dengan Yugoslavia, negara tetangganya yang dipimpin Joseph Broz Tito. Kerja sama ekonomi dikuatkan, politik diselaraskan, dan kesatuan-kesatuan militer menjalani masa bulan madu. Pada masa pra-kemerdekaan keduanya memang berjuang bahu-membahu. Namun, masih di sekitar masa awal republik komunis, ketika Stalin menuding Tito bersama Yugoslavianya sebagai "revisionis", Hoja banting setir: dengan sadar ia menyundut sumbu permusuhan dengan negara tetangganya. Ketahuan, Hoja sebenarnya memang umat Stalin - yang kaku pula. Itulah sebabnya ketika orang kuat Uni Soviet Khrushchev menjalankan destalinisasi pada 1961, ia berang - dan serta merta mengikrarkan permusuhannya dengan Rusia, kawan sejak 1948. Dan sebagai gantinya ia berpaling ke Republik Rakyat Cina, negara musuh Rusia yang ketika itu lagi garang-garangnya di bawah Mao Zedong. Tapi kisah cinta dua negara komunis ini pun tidak langgeng bisa ditebak. Menjelang akhir Perang Vietnam, ketika Cina bersengketa dengan negeri terakhir itu, Hoja jatuh simpati kepada negara yang lagi berusaha mempersatukan bagian-bagiannya yang di utara dan selatan itu. Maka, ia pun membenci RRC, dan seluruh Albania jadi anti-Cina. Persahabatan 10 tahun lebih bubar dalam sekejap. Ini belum bagian akhir. Menambal kerusakan ekonomi dalam negerinya akibat pemutusan hubungan dengan Cina, tiba-tiba ia merasa perlu membuka beberapa celah Albania: angin Barat bisa masuk, sedikit. Pada masa akhir hidupnya malah ia kelihatan bermain mata dengan Italia, Yunani - yang juga tetangganya - dan Prancis. Yugoslavia, "kawan-musuh" lama, termasuk pula yang didekati. Siapa yang tahu selera si Anwar. * * * Nama Anwar itu sendiri menunjukkan bahwa si Anwar punya latar belakang Islam. Dan Islam, harap diketahui, adalah agama mayoritas di kalangan orang Albania yang hanya separuhnya berada di Albania - sisanya menetap di Yugoslavia, negeri yang juga punya jumlah besar penduduk Muslim, Yunani, atau Italia. Pada awal sejarah modern, pun kawasan ini tercatat dikuasai para bey, kepala suku dan pemilik tanah dengan gelar model Turki. Pada tahun 1925 Ahmed Bey Zogu, dengan bantuan Amerika Serikat, berhasil menancapkan kekuasaan di wilayah itu: ia diangkat sebagai presiden. Lima tahun kemudian ia menobatkan dirinya menjadi raja. Bey yang satu ini mengharapkan bisa membentuk dinasti, rupanya, maka jauh-jauh hari ia sudah menyebut dirinya Raja Zog I. Nyatanya, tak sampai satu dasawarsa ia bisa bermain raja-rajaan. Pada Perang Dunia II, ketika pada 1939 Italia menyerbu dan mencaplok Albania, Raja Zog lari lintang pukang. Dan kaum komunis, yang mengambil alih perlawanan terhadap agresi Mussolini itu, memecatnya - sebagai presiden, bukan sebagai raja. Pada 7 April 1939 Mussolini resmi menguasai Albania. Dengan backing Nazi Jerman, Italia menyatakan kawasan itu sebagai bagian dari negaranya, seperti juga sejumlah negara Eropa di bawah Jerman. Perlawanan menghadapi penjajahan tentunya muncul di mana-mana, tapi yang dicatat adalah kelompok cendekiawan komunis, yang umumnya mendapat pendidikan di luar negeri, yang segera membentuk kesatuan-kesatuan perlawanan. Merekalah yang kemudian membangun Partai Komunis Albania, November 1941. Bahu-membahu dengan partisan komunis Yugoslavia dan Yunani, para pejuang Albania menentang fasisme. Dan September 1942 ketiga kelompok besar itu membentuk Front Pembebasan Nasional (LNC). Kemudian, dari awal sampai pertengahan 1943, Italia terpukul di mana-mana - juga di Albania. Saat itu kelompok partisan di bawah bendera LNC, yang untuk mudahnya saja dianggap seluruhnya komunis, berhasil membebaskan sebagian besar wilayah Albania dan mendapat dukungan sangat luas di seluruh negeri. Tapi September 1943 Jerman masuk Albania. Sebagian besar kota jatuh. Dan Albania kini beroleh giliran menjadi bagian dari Jerman Raya. Tak seluruh Albania, tapi. Di kawasan pedalaman, para pejuang punya kekuatan yang memang berakar dari rakyat, hingga praktis tak ada tentara Jerman berani menjarah sampai ke pelosok. Dari basis-basis ini para partisan melakukan perlawanan. Menjelang akhir Perang Dunia II, ketika Jerman didesak Sekutu dan mengalami berbagai kekalahan, para partisan Yugoslavia dan Albania berhasil memperlebar wilayah. Pada tahun 1944 LNC membentuk semacam pemerintahan provinsi di Albania, seperti juga di Yugoslavia. Nah, ketika itulah Anwar Hoja terpilih sebagai pemimpin - sementara di Yugoslavia Joseph Bro Tito memegang kekuasaan. Kedua pemerintahan yang didukung Uni Soviet, mempersiapkan kemerdekaan ketika Hitler mulai keteter. Akhir tahun itu juga Jerman angkat kaki dari Yugoslavia dan Albania. Perang usai Albania menyatakan kemerdekaannya, dengan menyandang predikat republik rakyat. Empat tahun lamanya Anwar Hoja mendesain organisasi pemerintahannya. Stalin, itu diktator Rusia yang kaya dengan gagasan politik kotor, melalui pengaruhnya pada Hoja punya andil besar dalam pengorganisasian itu. Tahun 1948 Hoja mengubah Partai Komunis Albania menjadi Partai Rakyat Albania (PRA). Ia sendiri duduk sebagai sekretaris partai, pucuk pimpinan seluruh negeri, jabatan yang dipegangnya sampai akhir hayatnya. Sejak itu "Anwar dari Albania" mulai melukis-lukis negerinya mengikuti gerak jiwa. * * * Dan Anwar mati sudah. Dunia luar pun bertanyatanya. "Akan berlanjutkah politik isolasi Albania?" Henry Kamm, seorang kolumnis, juga bertanya di International Herald Tribune, tiga hari setelah matinya Pak Anwar. Dan Kamm lalu memutuskan sendiri: sikap bermusuhan negeri itu terhadap dunia luar tak akan berubah. "Yunani dan Yugoslavia, yang berbatasan dengan Albania, dan Italia yang berseberangan di Laut Adriatik," tulis Kamm, "tahu persis apa yang mereka hadapi." Negara-negara itu masih saja berhati-hati dalam menjalin hubungan. "Bahkan sebagai partner dagang, Albania itu menyebalkan." Tirana (ibu kota Albania) tak pernah surut dari mabuk curiga terhadap setiap orang asing, kendati pada dekade terakhir seolah-olah mau ikut-ikutan buka pintu seperti Cina. "Sampai-sampai mereka merasa perlu menyatakannya dalam undang-undang," tulis kolumnis itu. Minoritas etnis di sana ditekan habis-habisan, terutama orang Yunani. Juga siapa saja yang memeluk agama. Juga perwakilan negara komunis di Tirana terus-menerus diteriaki sebagai "revisionis", sementara perwakilan negara Barat diteriaki lebih keras. Kamm tak habis heran mengapa negara yang lemah dan sengsara itu bisa begitu garang. Tapi yang lebih mengherankan adalah sikap Uni Soviet. Menjejakkan kaki saja, negara adidaya itu tak berani, atau tak mau - di negeri yang cuma secuil itu. Apalagi mendirikan pangkalan di Laut Adriatik. Yugoslavia, Italia, Yunani, bahkan NATO, menurut Kamm, boleh berterima kasih kepada negeri kecil tapi bermental bromocorah itu. Pangkalan AL Uni Soviet di Adriatik bakal merupakan kecemasan yang menghantui mereka. Keberanian Albania memang punya arti tegar yang paling asli. Ketersinggungan perihal perbatasan, baik darat maur pun perairan - menurut ukuran mereka sendiri - tak pernah sampai merepotkan meja diplomasi atau menimbulkan protes berkepanjangan di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ungkapan rasa tak suka muncul segera setelah laporan digenapkan. Segerombolan tentara akan ramai-ramai turun dari pos-pos perbatasan - akan membalas melanggar perbatasan, dan dengan sukacita memetik picu-picu mitralyur menembaki apa saja yang mereka temui. Lalu lenggang kangkung, seperti pulang berburu. Ada beberapa contoh ala kadarnya. Tanggal 18 Juni tahun lalu beberapa serdadu Albania menembaki tiga penyelam scuba Prancis di siang bolong. Satu di antaranya tewas seketika. Tanggal 16 September, beberapa bulan kemudian, seorang pengawal perbatasan Yunani mendapat giliran mati diberondong. Apa pasal? Tak jelas. Uni Soviet, menurut Kamm, mestinya pernah mencoba menggoyahkan kekuasaan Hoja di Tirana, baik melalui operasi inteligen maupun penyuapan mencari kamerad yang mau diajak bersekongkol, dengan imbalan kekuasaan sebagai pengganti, untuk memecahkan cengkeraman Hoxha - seperti yang dilakukan negara adidaya itu di Afghanistan. Namun, dengan hukum diktator yang brutal, Hoja lebih cekatan: secara bertahap ia meniadakan setiap kemungkinan untuk itu melalui "operasi sapu jagat" yang terang-terangan. Sejumlah penembak misterius disebar untuk membabat semua agen kekuatan asing, yang cukup divonis dengan kecurigaan, dan saingan politik yang dinilai terlalu potensial. Korban terakhir si Anwar adalah perdana menterinya sendiri, Mehmet Shehu namanya. Shehu tewas dihantam peluru, Desember 1981. Penyisihan paling berani inilah yang membangun keyakinan dunia Barat: Hoxha punya "cara tangguh" untuk meniadakan setiap campur tangan asing, termasuk Soviet. Acuan kekuasaan ini agaknya masih akan diteruskan - paling tidak begitu kata televisi Albania yang siarannya bisa ditangkap di beberapa negara tetangga. Ramiz Alia, presiden Albania yang kini, yang juga menjadi ketua Presidium Dewan Rakyat sepeninggal Hoja, adalah pengganti yang sudah lama dipersiapkan. Dewan Rakyat pun terdiri dari sekelompok pejabat tinggi yang formasinya sudah diatur Hoja sebelum ia mendapat serangan jantung paling akhir. Kesepakatan untuk tetap setia kepada Hoja bersama semua konsep yang pernah dibuatnya, tak syak, sudah diikrarkan penguasa kolektif yang kini menjalankan pemerintahan itu. Maka, garis-garis Anwar Hoja tampaknya masih akan lama terentang di sana. Termasuk dalam garis itu adalah kebijaksanaannya mengintip Barat. Pada tahun-tahun terakhir pemerintahannya, Hoja memulai sebuah proses lamban tapi kelihatan: meninggalkan kerja sama ekonomi dengan negara-negara komunis yang berganti-ganti, dan memperluas hubungan dagang dengan Barat. Kontak yang semakin meningkat hampir sepenuhnya di bidang ekonomi - tanpa merasa perlu mengurangi gempuran pernyataan anti-Barat di bidang politik. Betapapun, para tetangga tak bisa menutup-nutupi rasa gembira. Yugoslavia, Yunani, Italia, Jerman Barat dan Prancis menyambut gagasan itu dan mengulurkan tangan selamat datang, walaupun tidak tanpa menahan diri. Yunani telah membuka dua jaringan jalan raya menuju ke perbatasan dengan negara tetangganya itu, tak peduli jerih payah itu bisa-bisa mubazir. Pasalnya, Albania bukan saja melarang orang asing masuk, tapi juga mengancam tembak anak negeri yang berani-berani melancong ke luar. Tapi melihat jalan raya Yunani itu, Hoja tenang-tenang saja - gembira tidak, bertanya pun tidak. Tirana kadang-kadang memang sulit dimengerti. Bukankah terasa ganjil bila tiba-tiba negara itu grusa-grusu merampungkan jaringan rel kereta api sampai ke perbatasan Yugoslavia, persis ketika Yugoslavia sedang merentangkan jalur kereta api pula ke perbatasan? Toh sampai pertengahan tahun ini anak negeri hanya bisa melambaikan tangan dari seberang perbatasan masing-masing sambil celingak-celinguk. Adapun Roma telah menandatangani persetujuan peningkatan perdagangan. Bahkan untuk keperluan itu telah pula menyusun jalur feri. Namun, lagi-lagi, pengoperasiannya belum juga jalan. Jerman Barat malah tidak tanggung-tanggung. Sejumlah diplomatnya segera terbang ke Tirana begitu "lampu hijau" diberikan. Dan berlangsunglah perundingan bagi peningkatan hubungan kedua negara. Tak perlu susah-susah berdagang, Jerman Barat langsung menawarkan bantuan berbagai proyek ekonomi - sambil dengan berhati-hati menolak menyebutkannya "pampasan perang" seperti yang diminta tuan rumah. Tak ada berita apakah dengan basis "bantuan" dan bukan "pampasan", tawaran diterima. Semua ikhtiar itu diburu ketika Hoja mulai terlihat sakit-sakitan. Kubu Barat seperti takut kehabisan waktu. Pasalnya, setiap pergantian kekuasaan memungkinkan segala hal terjadi. Di segi lain, kerusakan ekonomi biasanya dijadikan dalih untuk menjatuhkan suatu pemerintahan, sedangkan sepeninggal Hoja dikhawatirkan Albania tidak lagi kebal menghadapi Soviet. Perebutan kekuasaan akan menjadi sangat berbahaya: akan ada terlalu banyak penembak misterius, dan sebagian besarnya orang Rusia, dan sesudah itu Uni Soviet akan masuk. "Sejarah panjang Albania yang penuh seteru, dendam dan kekerasan membuat kekhawatiran dunia Barat itu realistis," tulis Henry Kamm. * * * Kecemasan pada kemerosotan ekonomi Albania bukan monopoli negara-negara blok Barat. Tapi juga Hoja sendiri. Wartawan Amerika Serikat David Binder yang menulis karangan di The New York Times Maazine November tahun lalu mencatat angkaangka statistik pertambahan penduduk yang sangat laju: tiga sampai empat kali lebih tinggi dibanding dengan di negeri-negeri Eropa lain. Usia rata-rata penduduk 26 tahun. Para pejabat di Tirana memperkirakan jumlah kawula akan mencapai empat juta dalam masa 15 tahun mendatang. Hoja sendiri pada tahun 1981 sudah mencemaskan angka enam juta, tapi ia menghitung pula orang-orang Albania yang menetap di Yugoslavia, Turki, dan Yunani. Pertumbuhan penduduk inilah pangkal kecemasan. Dan karena ini pula Albania dengan hati-hati membuka portalnya kepada dunia Barat. Perbaikan juga dilakukan di tubuh pemerintahan. Pada saat yang sama, berlangsung regenerasi. Para pemimpin 40 tahun silam, dari generasi revolusioner zaman perang (alias angkatan '45) yang umumnya tidak efisien secara bertahap mulai digantikan mereka yang muda-muda yang lebih profesional. Kecenderungan ini hampir berbarengan dengan kejarangan Hoja muncul di depan umum, karena sakit atau alasan lain. Namun, itu semua bukan hasil liputan Binder. Ia tak pernah bisa masuk ke negeri itu: Albania agaknya mau memusuhi Amerika Serikat sampai kiamat. "Tepat 21 tahun lalu, aku meminta visa masuk Albania melalui Yugoslavia," tutur Binder, asisten editor TNYT Biro Washington yang sempat bertugas sebagai koresponden di Semenanjung Balkan. "Konsul Albania di Beograd cukup ramah, tapi ia teguh menolak permohonan. Surat-suratku ke Tirana bertahun-tahun tidak dijawab, walaupun namaku tertera - bertahun-tahun pula - di dalam daftar nama resmi instansi penerangan Albania." Belakangan, permohonan Binder untuk bicara melalui telepon dengan kepala delegasi Albania di pertemuan PBB pun ditolak. Seorang diplomat menjawab kaku, "Anda tidak dapat berbicara dengan seorang pun, kapan pun P Toh Binder dengan rajin mengumpulkan bahan bagi tulisannya: mengamati Albania dari negaranegara tetangganya, merekam keadaan, mengunyah laporan resmi pemerintah Tirana atau laporan kalangan akademi dan koresponden yang semat berkuniun ke sana, juga wawancara intensif dengan orang Albania yang lari. * * * Hoja - Binder menulis - terlihat sangat sakit akhir tahun lalu. Ketika menghadiri pertandingan oah raga di Tirana, 20 Oktober, ia melangkah tertatih-tatih dibimbing para pembantu. Ia hampir tak berbicara di depan umum sejak awal tahun itu. Acap kali mewakilkan tugas-tugas penting, dan hanya mengirimkan ucapan selamat. Sudah sejak itu orang mereka-reka apa yang bakal terjadi jika sang ketua ko'it. Di Yugoslavia segera bangkit kegugupan: janganjangan Albania pasca-Hoja terjerumus kembali ke pelukan Uni Soviet. Apalagi, ada isyarat lewat Hungaria dan Bulgaria: Uni Soviet menginginkan perbaikan hubungan dengan negeri Balkan itu. Sungguh tidak mudah: bertahun-tahun Albania mempersamakan Soviet dengan AS. Kedua-duanya "imperialis". Kedua-duanya dinilai sebagai tukang usik negeri-negeri kecil. Maka, orang pun sempat heran pada tahun-tahun belakangan ini. Persetujuan perdagangan yang lebih luas telah disepakati di Tirana, Maret tahun lewat, oleh Nikola Capria, menteri urusan luar negeri Italia, dengan Shane Korbeci, rekannya dari Albania. Malah kedua negara juga meneken kerja sama di bidang kebudayaan, termasuk pembukaan jurusan Bahasa Italia di Universitas Tirana dan pengajaran bahasa Italia di sekolah menengah Albania. Pada waktu bersamaan, ditandatangani pula persetujuan kerja sama antara kantor berita Albania, ATA, dan rekannya ANSA dari Italia. Menandai peristiwa itu, ANSA memperoleh anugerah wawancara langsung dengan Deputi Perdana Menteri Manush Myftiu. November tahun silam Albania membuka jaringan feri komersial yang menghubungkan pelabuhan Durres dengan Trieste di Italia di seberang Adriatik meski tetap belum fungsional. Sementara itu, pelayanan feri melintasi selat sempit Otranto ke Brindisi juga diangan-angankan Italia-Albania. Orang Albania malah menyatakan keinginan agar perusahaan Italia dapat membangun fasilitas telekomunikasi baru, proyek listrik tenaga air, dan pabrik-pabrik, yang kesemuanya akan dipertukarkan dengan barang-barang Albania. Toh semua keinginan maju itu punya sekeranjang hambatan. Di antaranya penolakan Albania terhadap pinjaman luar negeri, kredit, dan bantuan ekonomi dalam bentuk apa saja. Juga berbagai tawaran kontrak dengan jangka maksimal satu tahun. Akibatnya, sebagian besar hubungan dagang dilakukan dalam bentuk barter, itu jenis hubungan dagang dari zaman batu. Misalnya Albania menukar krom ( chromium) dan minyak dengan hasil pabrik. Beberapa negara Barat bisa berdagang dengan cara ini. Tetapi Italia ragu-ragu apakah pembayaran dengan cara barter bisa diandalkan sebagai imbalan melaksanakan proyek skala besar dan berjangka lama. Sudah tentu. Kebijaksanaan "biarkan aku sendiri" ini dipergunjingkan menjadi sumber keretakan antara Hoja dan bekas perdana menterinya, Mehmet Shehu. Shehu memang diduga mati dipetrus. Atau bunuh diri, ketika berlangsung Sidang Sentral Komite Partai Rakyat Desember 1981. Yang pasti, kematian perdana menteri berusia 73 tahun itu diikuti pembersihan besar-besaran di lingkaran dalam kekuasaan keempat kalinya terhitung sejak 1948. Para rekan dan kerabat Shehu segera diciduk dengan tuduhan klise: "musuh rakyat". Sedikitnya empat di antara mereka, termasuk menhankam, mendagri, dan menkes, serta kepala polisi rahasia Kota Vlore, kena bidas. Mereka dieksekusi pada September 1983 oleh sepasukan tentara. Begitu menurut orang Albania yang berhasil kabur ke luar. Adapun pengganti Shehu, Adil Carcani, berusia 63 tahun, seorang tokoh revolusioner. Begitu juga Ramiz Alia, kepala negara berusia 59 tahun. Sejak zaman perang ia sudah bergabung dengan Brigade Gegar ketika berusia 19. Orang ini pada kekuasaan Hoja berperan sebagai ideolog partai. Sekitar setahun sebelum kematian Hoja, para pengganti sudah pada antre untuk mengisi berbagai jabatan yang secara beranting akan lowong: regenerasi harus berlangsung, diniatkan atau tidak. Mereka adalah Lenka Cuko, anggota Politbiro. Lalu Deputi Perdana Menteri Besnik Bekteshi dan sekretaris partai, Vanjel Cerrava. Semua berusia 40-an. Nikalaos A. Stavrou, profesor ilmu politik pada Universitas Howard, yang menulis tesis tentang kekuasaan elite di Albania, menyimpulkan dari penelitiannya bahwa Komite Sentral PRA terdiri dari orang-orang berusia rata-rata lebih muda dari partai komunis mana pun. Dan Albania ternyata berani memberikan tanggung jawab berat kepada wanita sebagai pejabat senior. Untuk keanggotaan Politbiro, di belakang Lenko Cuko antre Menteri Pertanian Themie Thomai, Menteri P dan K Tafta Cami, dan Menteri Industri Ringan dan Makanan Vito Kapo. Sementara itu, istri Hoja, Nexhmije (baca: Najmiah), telah memegang posisi penting selama bertahun-tahun di Institut Marxisme-Leninisme, sekolah partai tingkat senior. * * * Adalah mustahil untuk mempelajari apa pun tentang cara kerja pimpinan partai. Juga sulit mendapat informasi dari tangan pertama tentang kehidupan sehari-hari di Albania. Kaum wisatawan - sekitar 3.000 setahun - hanya dapat menyaksikan beberapa peninggalan sejarah di bawah kontrol yang ketat. Pengunjung bertemu dengan kenalan atau kerabat yang sudah disumpah untuk tutup mulut. Kisah kaum pelarian sukar dicek ulang. Pegunungan Dinarig yang kerontang menguasai Albania. Kawasan ini dihuni dua pertiga penduduknya. Hanya 13% tanah tandus ini yang bisa didaya-gunakan, dan rakyat Albania banyak mereklamasikan kawasan pantai yang berpaya-paya dan merupakan sarang malaria. Juga dataran tinggi, yang banyak ditumbuhi pohon ek, sejenis kenari, beech atau pinus, dan sejenis cemara ( fir). Pohon ara, zaitun, dan jeruk ditanam penduduk di kawasan lebih rendah yang beriklim sedang. Hidup di Albania keras dan tegang, konon. Masa kerja berlangsung "48 jam sehari". Tidak ada pemilikan pribadi atas mobil. Jumlah pesawat televisi bisa diketahui: hanya 45.000 menurut hitungan 1981, yang meningkat sangat perlahan. Tetapi, bagi sebuah negeri yang hanya memiliki dua radio transistor pada 1945, peningkatan di bidang jaringan telekomunikasi bisa dibilang memadai. Siaran gelombang pendek program bahasa Inggris Radio Tirana dapat didengar dengan jelas di beberapa negara tetangga. Berarti, stasiunnya bagus. Edisi terakhir majalah berbahasa Inggris milik pemerintah, New Albania, memuat gambar sekelompok mahasiswi berpakaian rapi - pakaian kembang-kembang, blus dan rok kulit imitasi - sedang memajang diri di depan gerbang Universitas Tirana. Gadis-gadis lebih muda tampil memakai kerah berenda, stoking putih, dan sandal bersetrip merah. Cewek-cewek tanggung muncul pula dengan pakaian putih bergambar bintang-bintang besar, pada arak-arakan veteran perang. Hartmut Albert, ahli Jerman yang sempat empat minggu menetap di Albania tahun silam, menggambarkan dalam tulisannya, "Gaya busana relatif sederhana, lugu, tanpa asesori macam-macam, bahkan pakaian wanita sekalipun. Panjang rok dikendalikan oleh norma larangan yang cukup keras. Tapi pada tahun terakhir ada sedikit keleluasaan." Berbeda tajam dengan keadaan dulu, kini laki-laki jarang memakai kumis. Pengunjung pria berambut gondrong dari Barat segera digiring ke tukang cukur, dan dipangkas, tidak lama setelah mendarat di bandar udara Tirana. Sajak Dritero Agolli, ketua Persatuan Seniman dan Pengarang Albania, yang dimuat dalam berkala Drita (Cahaya), Maret 1984, mencerminkan sikap kaku negeri itu. Dalam sajak berjudul Anti Borjuis Kecil itu Agolli bersyair sambil bersyiar: Ratapan cengeng lancung, betapa aku hinakan! Ratapan cengeng itu: ah! Mengapa celana dalam tidak mereka rumbaikan dengan pita sutera! Ratapan cengeng itu: ah! Mengapa punggung kita harus bungkuk oleh beban penghematan Ratapan cengeng itu: ah! Mengapa itik angsa tidak dipanggang di oven listrik. Agolli meneruskan bersyair tentang dambaan perjalanan ke luar negeri, tentang keinginan mempunyai vila di tepi pantai, dan entang kosmetik. Dan kemudian ia, seperti sudah diduga, mengecam semua itu dan juga kaum penguber kenikmatan di baliknya sebagai "makhluk gila-gilaan". Yang dituding Agolli adalah kelas baru sejumlah kecil birokrat di Albania yang terasa menginginkan hidup lebih nikmat. Toh Profesor Hartmut Albert terkesan pada masa menetapnya di sana. Ia melihat munculnya rasa bangga yang sangat mendalam akan kemajuan teknologi yang dicapai Albania. Di dalamnya termasuk pameran tetap hasil industri dan teknologi Albania di Tirana. Masyarakat, konon, juga bangga punya pusat-pusat manufaktur dan kesuksesan mengekspor minyak. Produksi minyak Albania kini mencapai sekitar 3,5 juta ton setahun. Usaha swasta sangat dibatasi di sana. Industri rumah tangga dapat dikembangkan di sebidang kecil tanah di sekitar rumah. Memelihara ternak juga didorong untuk kebutuhan keluarga sendiri, tidak untuk dijual. Kelebihan hasil boleh dilego ke pasar setempat, tapi hanya dengan harga yang ditentukan negara. Di kota-kota terdapat pasar-pasar kecil (bazaar), seperti yang berlaku di masa pendudukan Turki dulu. Albania kini mengembangkan kawasan kota. Penduduk ibu kota Tirana, yang 25.000 jiwa pada 1939, kini mencapai 200.000 orang. Shkoder, kota kedua, hampir 100.000 jiwa. * * * Pada 1967, para pemimpin Albania memulai sebuah kampanye mahakeji: pemusnahan masjid dan gereja dari kehidupan anak negeri. Padahal, sebelum Perang Dunia II,70% penduduk negeri ini umat Islam dan 20% lagi pemeluk Ortodoks Yunani, sisanya umat Katolik Roma. Setelah pengganyangan agama berhasil, Albania menjadi penyandang predikat "negara ateis pertama di dunia". Pada tahunpertama kampanye, tiga pendeta Gereja Francisca dibakar. Pada 1972 pendeta Kota Shkoder juga dibunuh karena berani membaptis seorang anak. Masjid dan gereja segera menjadi bangunan umum biasa. Profesor Albert melaporkan bahwa di Shkoder ia sempat berkunjung ke Museum Ateis. Di sana ia menemukan bahwa sebenarnya di kawasan Shkoder saja terdapat 150 masjid - tentunya tercatat sebelum kampanye laknat itu dilaksanakan. Ketika melawat ia menemukan hanya 10 masjid, itu pun melompong. Semua organisasi keagamaan di Albania bergerak di bawah tanah, walaupun ada pengunjung yang sempat melihat orang salat magrib di daerah pedalaman. Berdasarkan laporan kaum pelarian, minoritas Yunani Albania juga sangat terpukul oleh tindakan sekularisasi kasar itu. Sampai-sampai Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan kutukan paling keras terhadap pemusnahan kehidupan beragama di sana. Berbicara di Bari, Italia, 26 Februari tahun lalu, Paus menyatakan rasa sangat prihatin. "Hati nuraniku bersama saudara-saudara kita di Albania, yang tidak leluasa melakukan ibadat agama," katanya. Tentu saja tanpa guna. * * * Pada bulan-bulan terakhir 1984, ketika pemerintah Albania mengambil langkah-langkah meningkatkan hubungan dengan dua negara bertetangga, Yunani dan Yugoslavia, hubungan antarnegara itu sebenarnya sudah sampai taraf paling buruk. Yang menjadi ganjalan adalah masalah kaum minoritas di negara masing-masing. Sejak 1981, sebagian besar keturunan Albania di Yugoslavia - sekitar 1,7 juta jiwa - menuntut republik yang terpisah. Rezim Hoja meniupkan angin simpati, dan ini tentunya menambah biji kekhawatiran Beograd. Bahan bakar perselisihan di sebaliknya juga datang dari sekitar 40.000 orang Macedonia keturunan Slavia yang menetap di Albania bagian timur. Hak minoritas Yugoslavia ini tidak pernah dihitung. Toh Yugoslavia, yang masih menghitung-hitung jurus silat mana yang akan diambil Albania sepeninggal Hoja, lebih senang memilih jurus pendekatan. Mereka mencoba melakukan hal-hal yang menguntungkan kedua belah pihak. Apalagi Albania, walaupun bermusuhan, masih menjadi rekan dagang terbesar Yugoslavia. Keduanya sama-sama meraih neraca perdagangan berimbang, sekitar 112 juta dolar Amerika pada 1984. Dalam ikhtiar meningkatkan iklim usaha, justru delegasi Tirana yang datang ke Beograd untuk meneken kesepakatan bersama. Langkah-langkah pertama: kerja sama di bidang ilmu, teknologi, dan pendidikan. Seorang komentator Yugoslavia, melalui surat kabar Delo, mencatat bahwa pembicaraan dilakukan karena Albania menyadari keadaannya yang terisolasi dan mencoba menjalin hubungan dengan partner asing tertentu yang selektif, misalnya Italia. Dengan Yunani, Albania juga punya perselisihan soal minoritas. Athena menyesali pemburuan - terutama atas dasar pemelukan agama - terhadap kaum etnis Yunani di Albania. Jumlah mereka sedikitnya 40.000 jiwa, tetapi bisa jadi dua atau tiga kali lebih banyak. Pihak Albania di sebaliknya juga punya tudingan. Tirana menuduh bahwa Yunani melakukan diskriminasi terhadap beberapa ribu minoritas Albania yang menetap di Yunani bagian utara. Tetapi ketika perdana menteri Yunani, Andreas Papandreou, menyatakan pada Februari tahun silam bahwa minoritas Yunani di Albania berada dalam "keadaan menyedihkan", pihak Albania sigap menangkisnya begini: ucapan itu adalah tindakan "campur tangan urusan dalam negeri orang lain". Lagi, Juni 1984, Tirana mengirimkan delegasi ke Athena, yang dipimpin Deputi Menlu Muhamet Kapllani, untuk rundingan masalah pembukaan kembali pintu perbatasan kedua negara. Jurusan studiYunani dalam pembicaraan itu juga dirasa perlu dibuka di college di Gjirokaster - kampung kelahiran Hoja. Di samping itu, ada pula pembicaraan samping, kira-kira: hubungan perdagangan kedua negara perlu digalakkan. Ada cakrawala lain dari hubungan Albania dengan para tetangganya: melancarkan arus pengungsi dari Albania ke negara-negara itu. Ketika berlangsung huru-hara kaum minoritas Albania di Provinsi Kosovo, Yugoslavia, sejumlah golongan muda minoritas Albania itu menyusup ke tanah leluhurnya untuk mencari perlindungan. Kecuali beberapa, sebagian besar mereka dikembalikan pemerintah Albania ke tanah rantau. Tiba kembali ke Yugoslavia, mereka bercerita kepada pejabat setempat bahwa mereka ternyata diisolasikan oleh penguasa Albania, seolah-olah kehadiran mereka - yang juga orang Albania dapat mengotori paham Marxisme-Leninisme yang "murni". Namun, dari petualangan itu para pemuda tadi jadi saksi, standar kehidupan di Kosovo, walaupun terendah di Yugoslavia, tetap lebih tinggi ketimbang di Albania, yang pendapatan per kapitanya paling-paling 550 dolar per tahun. Kaum minoritas Albania di Yugoslavia juga menikmati kebebasan lebih besar ketimbang para saudara di kampung halaman sendiri. Maka, tidak aneh bila pada bulan-bulan terakhir 1984 jumlah orang Albania yang kabur ke Yugoslavia dan Yunani melesat dengan tajam. Menurut seorang pejabat Beograd, jumlah yang masuk ke Yugoslavia sejak awal tahun sampai "ratusan". Mempertimbangkan betapa ketatnya Sigurami - polisi rahasia Albania - mengawal perbatasan dan mengontrol anak negeri, jumlah itu terbilang cukup mengesankan. Yunani juga melaporkan pelarian yang makin besar. Di antara mereka termasuk dua bersaudari yang berenang enam mil ke Pulau Corfu, Yunani, pada 29 Juli. Banyak di antara para pelarian mengaku pernah mendekam di penjara Albania dengan tuduhan melakukan aktivitas politik terlarang. Profesor Stavrou - ia sendiri perantau Yunani yang lari pulang menyimpulkan dalam tulisan yang dilengkapi dengan dokumen autentik tahun 1983, bahwa Albania menyimpan sekitar 40.000 tahanan politik. Dari jumlah itu, sekitar 2.500 tapol adalah bekas anggota rezim yang ditahan karena dituduh "pro-Soviet". Atau, lebih kecil jumlahnya, "pro-Cina". Para ahli seperti Dr. Albert dan Dr. Milutin Garasanin dari Universitas Beograd mencoba mendiskusikan berapa tinggi identitas nasional Albania. Dr. Garasanin, profesor Universitas Beograd yang menspesialisasikan diri pada Illyria pra-Kristen, melihat bahwa setiap nasionalisme memiliki fase romantik, juga fase eksplosif dan agresifnya masingmasing. "Sekarang, giliran orang Albania," katanya. Tema nasional sebenarnya terbilang baru di Albania. Pada 1968 didirikan sebuah patung di Tirana, untuk memperingati jasa seorang pangeran abad XV yang melawan Turki dan hampir saja membebaskan negeri itu. Sang pangeran menjadi pahlawan bagi semua orang Albania. Tapi baru tahun 1983 Museum Sejarah Nasional dibuka. Sementara itu, pakaian nasional hampir lenyap dari kehidupan sehari-hari, dan hanya dapat disaksikan jika ada pertunjukan tari-tarian atau upacara penguburan. Anehnya, anggota kaum minoritas Albania di Yugoslavia justru menggunakan pakaian nasional sebagai pakaian sehari-hari. Para pengunjung, termasuk Dr. Albert, terperangah melihat tingkat kerja sama di bawah sistem komunis yang ternyata sangat parah. Di negara komunis itu kekuasaan clan, tradisi, ternyata jauh lebih menonjol. * * * Pemerintah AS suatu kali yakin dapat mendongkel Hoja. Antara 1947 dan 1952, AS, bersama Inggris, mengirim sejumlah agen rahasia ke Albania. Gagal, tentu saja. Bahkan Rusiayang lebih mengenal Albania juga gagal. Toh hingga hari ini, menurut Binder, sang wartawan, AS masih tetap blo'on perihal masalah Albania. April 1973, misalnya, deputi menlu AS Kenneth Rush ditugasi melakukan penjajakan ke Tirana. Dia diminta menyampaikan kesiapan AS untuk membicarakan peningkatan hubungan. Hasilnya? Sebulan kemudian Washington mengetahui bahwa Hoja menjawab penjajakan itu dengan mengganyang habis unsur pro-Barat dari pemerintahannya. Tiga tahun yang lalu Hoja menulis: "Ada pihak-pihak, kaum imperialis dan para kacungnya, berkata bahwa kita mengisolasikan diri dari dunia yang beradab. Tuan-Tuan, itu salah. Sejarah getir negeri kita dulu dan kenyataan dunia yang mereka sanjung-sanjung sebagai 'dunia beradab' adalah dunia yang menindas dan menguliti yang lebih kecil dan lebih lemah. Di sana uang dan korupsi adalah hukum, dan ketidakadilan serta khianat adalah kehebatan." Paling kurang selama 1.000 tahun, dan mungkin 3.000 tahun, rakyat negeri itu mencoba mempertahankan akar identitas nasionalnya dalam syair kepahlawanan dan adat istiadat lama. Pada akhir abad ini ia mencoba tampil di tengah dunia yang terus memperbarui diri. Orang Jerman membantu dalam urusan linguistik. Negeri-negeri adidaya membangunkan pemerintahan pada awal tahun-tahun berdirinya Republik Rakyat Albania. Tetapi akhirnya - dengan segala kekurangan - mereka mencoba tegak di atas kakinya sendiri. Hoja berulang kali menggagaskan kepada bangsanya bahwa sikap isolasi mereka dari dunia luar, dari negara adidaya terutama, adalah wawasan utama keamanan nasional. Kenyataannya, Tirana meraih kemajuan dalam pergaulan dengan para tetangga dan kekuatan asing - ketika sang pemimpin besar masih hidup dan berkaok-kaok. Agaknya ada isyarat akan muncul Albania lain dari bayangan Hoja pada dasawarsa berikutnya. Cuma, waktu harap sabar menunggu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus