Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perubahan itu mendesir dari Tokyo, Jumat pekan silam. Awalnya, Perdana Menteri Junichiro Koizumi mengumumkan perpanjangan tugas Pasukan Bela Diri Jepang (Jieitai) yang ditempatkan di kota Samawah, sebelah tenggara Bagdad. Mestinya, pada Maret 2005, Jieitai dan tentara Belanda yang bertugas di situ akan ditarik mundur. Namun, keputusan Koizumi di atas bakal membuat pasukan Negeri Matahari Terbit dengan personel 550 orang itu akan tinggal sendirian di Samawah. Sumber-sumber di kabinet Koizumi menyatakan, mereka sedang melobi pemerintah Inggris agar memindahkan markas pasukan Inggris ke kota itu untuk menemani para serdadu Jepang.
Keputusan Koizumi itu dengan serta-merta membuat kontroversi kembali menggelegak sejak ia mengirim Jieitai ke Irak pada awal Januari 2004. Koizumi dianggap mencederai Pasal 9 Konstitusi Jepang yang melarang Jieitai terlibat di daerah konflik. "Kami meminta Koizumi segera mundur. Tindakannya inkonstitusional," kecam Naoto Kan dari Partai Demokrasi Jepang. Pendapat masyarakat pun terbelah, seperti yang direkam harian Asahi Shimbun. Perbandingan antara yang setuju dan yang tidak adalah 40 persen berbanding 48 persen dengan 12 persen abstain. Membaca gelagat itu, Koizumi berjanji akan segera menarik mundur pasukan bila perang pecah di Samawah.
Perang memang tak pernah pecah di Samawah, tapi berkobar di Fallujah. Toh, masyarakat Jepang tak peduli apakah Samawah jaraknya ratusan kilometer dari Fallujah atau cuma sepelemparan batu. Alhasil, suara yang menentang perpanjangan tugas pasukan Jepang di Irak membesar hingga 60 persen. "Saya tak mengerti mengapa Jieitai tetap dipertahankan di Irak. Jepang seperti anjing pudel milik Bush," ujar Yoshioka Tatsuya, Direktur Perahu Perdamaian, suatu lembaga swadaya masyarakat.
Menurut harian terbesar Jepang, Yomiuri Shimbun, keberadaan Jieitai di Irak amat vital dalam upaya mempercepat proses perdamaian di Irak. Pendapat berbeda datang dari Jeff Kingston, Direktur Kajian Asia dari Universitas Temple, Jepang. "Strategi Koizumi ini," katanya, seperti dikutip kantor berita BBC, "adalah jalan untuk melicinkan niat Jepang mendapatkan kursi tetap di Dewan Keamanan PBB." Dalam konteks ini, Jepang amat berkepentingan untuk bisa memantau perkembangan militer negara-negara tetangga, terutama Korea Utara dan Cina.
Koizumi kabarnya sudah gerah melihat rudal-rudal percobaan nuklir milik Korea Utara dan Cina melesat di atas wilayahnya. Itu sebabnya, Jepang merasa perlu merumuskan kembali strategi pertahanannya. Dengan anggaran US$ 42,6 miliar (sekitar Rp 384 triliun) per tahun, Jepang menggeber peningkatan kinerja pertahanannya. Kebijakan defensif Jieitai dianggap sudah ketinggalan zaman, terutama sejak peristiwa 11 September 2001. Koizumi pun memperkenalkan Garis Besar Program Pertahanan Jepang. Isinya, antara lain, melonggarkan kekangan terhadap Jieitai agar bisa melakukan "tindakan-tindakan militer yang lebih fleksibel" dan lebih berperan dalam proses perdamaian di luar negeri.
Bahkan para pejabat di Departemen Pertahanan sudah mulai mendiskusikan kemungkinan Jepang menerapkan kebijakan serangan penangkalan (pre-emptive strike) yang telah dianut Amerika Serikat.
Akmal Nasery Basral (Asahi Shimbun, Yomiuri Shimbun, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo