Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DICARI, gajah dengan syarat-syarat: berjenis kelamin jantan, memiliki gading, badan tinggi dan besar. Satu lagi: bersedia dilatih. Ini bukan lelucon. Iklan lowongan gajah ini menjadi pegangan bagi para pawang untuk merekrut gajah-gajah yang akan dilatih sebagai gajah pengusir atau gajah pengendali satwa, khususnya gajah liar.
Soenaryo, staf penanggung jawab gajah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan, mengatakan itu semua syarat mati, tak bisa ditawar. Pasalnya, tugas menggiring gajah liar kembali masuk hutan adalah pekerjaan berisiko tinggi. "Kalau gajah pengusir tidak besar dan tidak bercula (gading), nanti kalah sama gajah liar," kata pria asal Kebumen, Jawa Tengah, yang selama empat tahun terakhir menjadi pawang gajah itu.
Mengadu gajah "satpam" dengan gajah liar memang salah satu kiat yang harus mereka lakukan. Pekan ini, BKSDA Sumatera Selatan kembali mengirim empat gajah satpam untuk mengusir kawanan gajah yang menyerang Desa Segamit, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muaraenim, pekan sebelumnya. Dalam serangan terakhir ini, amukan raksasa seberat hampir tiga ton itu menewaskan Yun, 27 tahun, petani desa.
Sebetulnya, warga Desa Segamit sudah biasa melihat gajah liar masuk kampung. Saban sore, makhluk bongsor itu keluar hutan mencari makan di sekitar desa penghasil kopi yang berbatasan dengan Kabupaten Bintuhan, Bengkulu Selatan itu. "Tapi bahwa mereka menyerang dan membunuh orang, baru kali ini," kata Habib, salah seorang warga.
Desa Segamit bukan satu-satunya korban amuk gajah. Menurut Kepala BKSDA Sumatera Selatan, Dulhadi, kerusuhan serupa juga terjadi di wilayah lain. Bulan sebelumnya, kawanan gajah mengobrak-abrik sedikitnya lima desa di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan. Desa Serumpun, Sipin, Tanjung Sembilang, Danau Kuning, dan Buai Pemanan pun pernah dimasuki kawanan gajah liar. Daftar itu masih bisa ditambah serangan di Provinsi Daerah Istimewa Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Bengkulu, dan Lampung.
Bila para gajah mulai menjarah lahan penduduk, tentu ada sebabnya. Menurut Dulhadi, ini semua akibat ulah manusia sendiri. Maraknya pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan bahan baku bubur kertas (pulp), unit permukiman transmigrasi, perladangan berpindah, membuat habitat gajah tergusur. Data Dinas Kehutanan Sumatera Selatan menyebutkan, dari total luas 3,7 juta hektare hutan di Sumatera Selatan, hampir 60 persen sudah rusak. Angka itu belum termasuk 1,2 juta hektare hutan produksi di provinsi itu yang rusak dari total.
Makin menyempitnya hutan itu jelas membuat para gajah tidak nyaman. Dalam kondisi normal, mereka harus memiliki wilayah jelajah (home range) minimum 165 kilometer persegi di hutan primer dan 60 kilometer persegi di hutan sekunder. Sebagai hewan yang memiliki jalur jelajah alami, mereka akan melewati rute yang sama dalam tiga bulan atau satu tahun sekali. Di musim kemarau, mereka bergerak mencari makan dari hutan dataran tinggi ke dataran rendah, begitu pula sebaliknya pada musim hujan. "Nah, ternyata, saat mereka kembali, ada tanaman penduduk di rutenya. Tentu saja ini ibarat restoran, maka mereka menjarah untuk makan," katanya.
Menyempitnya habitat bukan satu-satunya penyebab. Nazir Foead, Director of Species Program World-Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, menduga masuknya gajah ke permukiman manusia juga lantaran nafsu makan hewan berkulit tebal (pachyderm) ini yang luar biasa. Seekor gajah membutuhkan makanan hijau hingga 150 kilogram sehari. "Kalau satu rombongan 10 ekor saja, mereka membutuhkan setidaknya 1,5 ton per hari," kata Nazir.
Begitulah. Walhasil, perebutan wilayah antara gajah dan manusia membuat makhluk itu dicap sebagai hama pengganggu. Bedanya dengan hama serangga, gajah tak boleh diusir atau dibunuh seenaknya. Undang-Undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya menyebut pembunuhan satwa yang dilindungi dapat dijatuhi hukuman maksimal lima tahun penjara atau denda Rp 100 juta.
Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan gajah terkecil dan mungkin yang tertua dari tiga jenis gajah Asia. Satwa langka yang dilindungi sejak tahun 1931 ini tersebar dari 48 titik mulai dari Kabupaten Aceh Barat, Pidie, Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh, Bukit Rimbang, Bukit Tiga Puluh, Hutan Lindung Bukit Betabuh, Tesso Nilo di Riau, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Kerinci Seblat, serta Lampung. Meski ada juga populasi kecil yang terpisah-pisah.
Sayangnya, hingga kini tidak ada catatan pasti mengenai populasinya. Pada 1985-1990, menurut Widodo Sukohadi Ramono, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan, populasi gajah terdapat di sekitar 48 titik populasi dengan jumlah 4.000-4.800. "Saat ini diprediksi titik populasi tinggal sekitar 38 dengan jumlah 3.000-3.500 ekor," katanya.
Antisipasi sebenarnya sudah sejak dulu dilakukan. Widodo mengatakan, pada awal tahun 1990-an sudah ada kesepakatan mengenai tata guna hutan. Di situ jelas disebut pembagian mana kawasan untuk hutan, perkebunan, pertanian, pemukiman, dan sebagainya. Tapi nyatanya, demi keuntungan ekonomi, pengalihan kawasan hutan melaju jauh lebih kencang. "Orang maunya buru-buru membuka lahan, tak peduli di sana ada kawasan konservasi atau tidak," katanya.
Jika pengelolaan hutan dilakukan dengan baik, sebenarnya tidak perlu khawatir gajah menyerbu. Pembukaan hutan yang terencana dengan mengambil kayu tertentu pada ruas tertentu akan membuka rumpang yang berefek menumbuhkan daerah ekotom atau pertemuan ekologi dengan ekologi lain. "Ekotom ini kaya pakan untuk mamalia besar seperti gajah," kata pria yang merintis pembukaan Taman Nasional Way Kambas, Lampung, pada 1985 itu.
Upaya lain, menurut Widodo, adalah merelokasi gajah seperti di Way Kambas atau yang dilakukan WWF Indonesia di Tesso Nillo, Riau. Namun cara ini terlalu mahal. Selain perlu lahan luas, biaya menangkap seekor gajah untuk relokasi bisa mencapai Rp 2,5 juta. Ini belum termasuk dana operasional karyawan.
Jadi siapa yang harus didahulukan? Manusia atau gajah? Widodo yakin, keduanya sebetulnya bisa hidup sejalan. Masyarakat yang tinggal di sekitar habitat harus disadarkan bahwa gajah bukanlah pengganggu. Selain itu, juga harus diterapkan sistem verifikasi sebelum pembukaan sebuah kawasan hutan. Jika tidak, perebutan wilayah bakal meletup lagi.
Raju Febrian, Arif Ardiansyah (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo