Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabel telepon ternyata bisa menjadi sarana untuk menggoyang kedudukan. Setidaknya, itulah yang terjadi pada Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Mohamed El Baradei.
Ahad dua pekan lalu, harian The Washington Post memuat pengakuan tiga pejabat AS yang menyadap lusinan pembicaraan El Baradei dengan para petinggi Iran. Operasi rahasia ini dikepalai tokoh neokonservatif garis keras John Bolton. Dia salah seorang petinggi di Departemen Luar Negeri AS untuk bidang pengawasan senjata. "El Baradei dianggap terlalu lunak menangani Iran," ujar pejabat yang tak disebutkan namanya itu kepada Post.
Ihwal penyadapan telepon El Baradei ini bukanlah pertama kali. Tiga pekan sebelum penyerbuan AS ke Irak pada Maret 2003, harian The Observer (Inggris) melansir ada perintah rahasia Badan Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat untuk menyadap semua pembicaraan telepon El Baradei dengan sejumlah diplomat PBB. Saat itu El Baradei secara tegas menyatakan tak ada indikasi Irak memiliki senjata pemusnah massal seperti dituduhkan Gedung Putih. Bahkan dia menyatakan tudingan itu sebagai "klaim omong kosong". Harian The Guardian, yang juga terbit di Inggris, menulis bahwa komentar El Baradei itu menimbulkan dendam di kubu neokonservatif.
Markas besar IAEA di Wina memilih bersikap tenang menanggapi penyadapan telepon bos mereka. "Kami sudah menduga hal ini akan terjadi," ujar juru bicara IAEA, Mark Gwozdecky. "Kami berharap hal itu tak pernah terjadi, tetapi inilah kenyataannya," ia menambahkan. Kejengkelan Washington terhadap El Baradei rupanya sudah menggunung. Sudah lama Amerika ingin menghancurkan program riset nuklir di negeri-negeri "Poros Setan"Korea Utara, Iran, dan Irak. Namun, berkat kepiawaian diplomasi El Baradeidia mengepalai IAEA sejak 1997negara anggota IAEA lainnya tak mendukung niat AS itu.
Kedongkolan AS memuncak menjelang pemilu pada awal November lalu. Saat itu El Baradei mengabarkan hilangnya 337 ton bahan peledak dari fasilitas militer AS di Irak. Menteri Luar Negeri Colin Powell bereaksi keras dengan meminta El Baradei berhenti melayani pers karena hal itu "akan berpengaruh terhadap pemilu". El Baradei menyahut protes Powell dengan tajam: "Ada dunia lain (yang berhak mengetahui hilangnya bahan peledak itu) di luar soal pemilu AS."
Upaya penggembosan popularitas El Baradei pun kian gencar. Washington mulai mengutak-atik peraturan IAEA yang menyatakan seorang direktur jenderal hanya bisa menjabat selama dua periode. Kebetulan, masa jabatan kedua El Baradei akan berakhir pada musim panas 2005. Namun, manuver AS ini tak disokong 35 negara anggota yang ingin El Baradei tetap menjabat hingga periode ketiga. Bahkan Inggris, sekutu terdekat AS di Perang Irak maupun di IAEA, berpendapat ide sekutunya itu tak lebih dari "balas dendam terhadap El Baradei karena kasus Irak".
Kandas di peraturan masa jabatan, AS mencoba memanfaatkan waktu sebelum 31 Desember sebagai tenggat untuk mengajukan nama calon bos IAEA yang baru: Menteri Luar Negeri Australia, Alexander Downer. Alih-alih girang, Downer menanggapi dingin usulan AS. Downer bilang, dia menghormati integritas El Baradei. Eh, Amerika agaknya pantang menyerah. Pemerintah Bush mengajukan lagi lima nama calon, dua diplomat Jepang, dua dari Korea Selatan, serta seorang pakar nuklir dari Brasil, Sergio Duarte. Calon dari Korea Selatan dan Brasil memiliki peluang yang lemah karena pengembangan nuklir di kedua negara itu masih di bawah pengawasan IAEA.
Alhasil, tinggal calon dari Jepang yang masih berpeluang. Itu pun kalau direstui Perdana Menteri Junichiro Koizumi. Sementara itu, di Jepang sendiri ada kontroversi di dalam negeri tentang sejauh mana Jepang bisa terlibat dalam peta konflik nuklir dunia (lihat boks, Kiat Memikat Bush-San).
Kritik keras terhadap polah AS itu justru datang dari mantan Menteri Luar Negeri Australia, Gareth Evans. Kini dia mengepalai satu panel tingkat tinggi untuk reformasi PBB. Evans menilai El Baradei mengerjakan tugasnya dengan amat baik. Dan adalah satu kesalahan besar bila Washington mencoba menggoyang posisinya. Begini kata Gareth Evans: "Jika mereka berpikir bisa mendapatkan seseorang yang mampu mengendalikan masalah-masalah sulit dan rumit di seputar Korea Utara, Iran, dan negara-negara lainnya, sebenarnya mereka tidak mengerti dunia saat ini."
Akmal Nasery Basral (The Washington Post, The Guardian, The CS Monitor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo