Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Etnis Rohingya dan Uighur adalah dua suku minoritas yang hidup di negara masing-masing, Myanmar dan China, namun seringkali merasa tersia-sia di tanah airnya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari britannica.com, Etnis Rohingya merupakan minoritas Muslim di Myanmar yang tinggal di Rakhine, negara bagian termiskin di Myanmar. Sementara itu, etnis Uighur adalah masyarakat berbahasa Turki di pedalaman Asia Tengah bagian Timur, khususnya di negara Tiongkok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meskipun kedua etnis tersebut berasal dari negara yang berbeda, keduanya menghadapi tantangan yang serupa, yaitu penganiayaan dan diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah setempat.
Baik etnis Rohingya maupun Uighur mengalami pembatasan hak-hak dasar, termasuk hak pendidikan, kesehatan, dan kebebasan beragama. Kedua etnis tersebut juga telah mengalami konflik yang berkepanjangan, yang telah mengakibatkan jutaan orang terpaksa mengungsi dan kehilangan rumah serta mata pencaharian.
Etnis Rohingya
Etnis Rohingya merupakan minoritas Muslim di Myanmar yang menggunakan bahasa Rohingya dan memiliki kemiripan dengan bahasa Bengali. Dengan sekitar satu juta orang dari total 50 juta penduduk Myanmar, etnis Rohingya bermukim di Rakhine. Asal-usul mereka mencakup bangsa Arab, Moor, Pathan, Moghul, Bengali, dan beberapa orang Indo-Mongoloid.
Pada 1982, pemerintah Myanmar mengeluarkan undang-undang yang menyatakan bahwa hanya warga yang telah menetap di negara tersebut sebelum kemerdekaan pada 1948 yang diakui.
Hanya 135 etnis yang diakui dalam undang-undang tersebut, dan kelompok minoritas yang ingin diakui secara resmi harus membuktikan bahwa nenek moyang mereka telah tinggal di Myanmar sebelum 1823.
Klaim warga Rohingya yang telah bermukim sejak abad ke-15 seringkali tidak diakui oleh pemerintah. Akibat tidak diakui, warga Rohingya sering mengalami diskriminasi dalam memperoleh pendidikan, bekerja, bepergian, menikah, beribadah, dan layanan kesehatan.
Pada 2012, terjadi insiden pembersihan etnis Rohingya di mana sedikitnya 90 orang tewas dan 3.000 rumah hancur akibat kekerasan tersebut. Pemerintah Myanmar membatasi 140 ribu Rohingya dalam kamp pengungsian yang dibatasi dengan kawat berduri.
United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) mencatat bahwa sejak 2012, sebanyak 110 ribu warga Rohingya melarikan diri ke Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Demonstran etnis Uighur terlibat bentrokan dengan polisi saat aksi protes di depan konsulat Cina di Istanbul, Turki, 30 November 2022. Aksi protes itu menyusul tragedi kebakaran di gedung bertingkat tinggi di Urumqi, Xinjiang, Cina yang menewaskan 10 orang pada 24 November lalu. REUTERS/Dilara Senkaya
Etnis Uighur
Etnis Uighur adalah masyarakat berbahasa Turki di pedalaman Asia Tengah bagian Timur, khususnya di negara Cina. Mereka memiliki sejarah panjang dan pernah menjadi salah satu kekaisaran terbesar di dunia.
Suku Uighur mendirikan Kekaisaran Uighur di daerah Uighur, Toquz Oghuz, Orkhon, Khanate yang membentang dari Laut Kaspia hingga Manchuria yang berdiri dari 745-840 Masehi. Akan tetapi, kerajaan ini diserbu oleh orang Kirgis pada 840 Masehi yang membuatnya bermigrasi ke arah Tien Shan.
Etnis Uighur sebagian besar adalah orang-orang desa yang tinggal menetap di jaringan oasis yang terbentuk di lembah dan lereng yang terletak di Tien Shan, Pamir. Karena tinggal di salah satu wilayah tergersang di dunia, masyarakat Uighur selama berabad-abad telah mempraktekkan irigasi untuk menghemat persediaan air untuk pertanian.
Pada 1950-an, Suku Uighur di Xinjiang yang hidup berdampingan dengan etnis Han, etnis mayoritas Tionghoa yang berbondong-bondong datang ke Xinjiang. Seiring waktu, mereka saling bersitegang akibat kesenjangan ekonomi dan etnis.
Puncaknya pada Juli 2009 ketika 200 orang Han tewas dan 1.700 lainnya luka-luka. Kemudian, otoritas China menanggapi dengan menindak orang Uighur yang dicurigai sebagai pembangkang dan separatis.
Tindakan pihak yang berwenang ini termasuk penembakan, penangkapan, dan hukuman penjara pada 2017. Usaha pemerintah yang paling kontroversial yang ditanggapi dengan protes dari organisasi hak asasi manusia adalah penahanan tanpa batas waktu hingga satu juta orang Uighur di kamp khusus.
Pada Agustus 2018, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta Tiongkok untuk mengakhiri penahanan tersebut, namun para pejabat pemerintah membantah keberadaan kamp-kamp tersebut.
M RAFI AZHARI | ANANDA BINTANG | MUHAMMAD SYAIFULLOH