Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kisah Imam Dan Panti Pijat

Sejak timbulnya gerakan nur zaman (islam songsang) di batu pahat yang dipimpin mohamad nasir ismail yang mengaku sebagai imam mahdi, pemerintah malaysia cemas atas perkembangannya.

14 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH Islam songsang semakin populer di Malaysia. Ini semata-mata ditujukan kepada kelompok yang menyelewengkan ajaran Islam. Tak sedikit kelompok Islam lainnya yang merasa bahwa tuduhan songsang atau sesat ini digunakan secara berlebihan. Terutama kalangan penguasa sering menyebutnya. Memang sejak timbul gerakan Nur Zaman di Batu Pahat, Johor, Pemerintah Malaysia semakin cemas terhadap perkembangan ajaran Islam songsang. Gerakan itu telah menggunakan kekerasan dalam aksinya. Dan tak tanggung-tanggung, mereka menyerang pos polisi hanya dengan bersenjatakan keris dan pedang. Itu terjadi 16 Oktober tahun lalu. Gerakan itu dipimpin oleh Mohamad Nasir Ismail, 21 tahun. Hanya 20 anggotanya tapi sempat mengegerkan. Nasir Ismail bukanlah penduduk asli Batu Pahat. Waktu terjadi peristiwa itu ia baru enam bulan menetap di Kampung Sri Pasir, Distrik Batu Pahat. Namun ia segera mendapat kepercayaan sekelompok penduduk, terutama setelah ia berhasil menyembuhkan orang bisu. Nasir Ismail adalah keturunan Kampuchea yang menetap di Muangthai. Dengan bantuan Perkim (Persatuan Kumpulan Islam Malaysia) -- yang diketuai bekas PM Tengku Abdul Rachman -- ia dibawa masuk ke Malaysia setelah diislamkan. Itu terjadi tahun 1975. Sejak itu ia menetap di Kelantan. Karena jadi pedagang, ia sering masuk kampung, hingga akhirnya menetap di Kannpung Sri Pasir, Batu Pahat. Di kampung inilah ia mulai menyatakan dirinya sebagai Imam Mahdi. Dengan bantuan temannya yang hampir sebaya dan juga berasal dari Kampuchea, yaitu Lamin Chaypungor, ia mulai mendekati dua orang bekas imam masjid. Dari situ seorang demi seorang pengikutnya terkumpul. Apa motif gerakan ini sampai menyerang pos polisi? "Sampai sekarang tak ada yang tahu," jawab B.M. Arif, tokoh Angkatan Belia Islam Malaysia ABIM di Batu Pahat, kepada TEMPO. Bahkan sampai berakhir pengadilan terhadap enam anggota gerakan itu, Januari lalu, motif gerakan ini tetap tidak diketahui. Di antara 15 anggota Nur Zaman yang menyerang pos polisi di Batu Pahat itu, delapan orang mati tertembak. Termasuk Nasir Ismail. Enam orang yang diadili itu dijatuhi hukuman masing-masing 10 tahun penjara. Mereka dapat tambahan hukuman cambuk enam kali. Karena tak jelas motif gerakan ini banyak dugaan beredar. "Mungkin karena mereka muak melihat kemaksiatan di Kota Batu Pahat," kata seorang penduduk. Memang di Batu Pahat (berpenduduk hanya 100 ribu) terdapat 14 panti pijat dan beberapa klub malam. "Kalau hanya soal maksiat mengapa mereka harus menyerang pos polisi yang jelas mempunyai senjata?" kata seorang guru sekolah menengah di sana. Memang inilah masalahnya. Kalangan Angkatan Belia Islam Malaysia menyesalkan cara pemerintah menyelesaikan peristiwa Batu Pahat ini. "Seharusnya pemerintah membentuk Komisi Khusus untuk menyelidikinya," kata Anwar Ibrahim, Ketua Umum ABIM. Ini bukan peristiwa pertama. Beberapa tahun lalu terjadi peristiwa Kerling, suatu aksi anak muda yang menghancurkan kuil Hindu. Dan pemerintah juga tidak membentuk komisi pencari fakta waktu itu. Akibatnya, motif kedua aksi itu tetap gelap. Namun Anwar Ibrahim menyesalkan Gerakan Nur Zaman itu. "Ini menimbulkan pengaruh negatif terhadap gerakan dakwah lainnya," katanya. Dia berpendapat pemerintah tidak santai lagi dalam melihat kegiatan kelompok dakwah. "Seperti masih ada suasana gawat meskipun sudah tidak ada lagi kelompok dakwah yang menggunakan kekerasan," tambahnya. Pemerintah Malaysia, tentu saja, curiga. Selama ini ada 39 kelompok dakwah yang niat baiknya (lihat box) diragukan. Sementara itu sebagian kelompok dakwah dituduh menggunakan agama untuk tujuan politik. Dalam setiap kesempatan acara keagamaan, menteri yang berpidato sering menuding ke arah kelompok dakwah -- biasanya tanpa menyebut nama. Ketika membuka Masjid Hashim Yahya di Penang, Menteri Keuangan Tengku Razaleigh Hamzah tak lupa menuduh tokoh kelompok Islam tertentu mengutamakan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan Islam. "Tindakan serupa ini menimbulkan citra buruk terhadap Islam," ujarnya. Razaleigh Hamzah juga menghimbau agar agama dibersihkan dari politik. "Politik seharusnya jangan dibiarkan bergerak dalam Islam," katanya. Tapi dalam berbagai khotbah Jumat "pemerintah juga sering menggunakan mimbar itu untuk kepentingannya," kata Anwar Ibrahim. Ia mengambil contoh khotbah Jumat yang menganjurkan UU negara supaya ditaati. "Kalau mau obyektif, kita nilai apa yang mereka ucapkan dan lakukan," tambahnya. Anwar Ibrahim ditemui TEMPO di kantornya di Jalan Pantai Baru, Kualalumpur. "Betul-betul serha sulit," katanya lagi. "Bila bicara tentang penindasan kami dituduh sosialis. Bicara tentang perlunya perubahan, dituduh berpolitik. Dalam khotbah rupanya kami hanya boleh bicara tentang sembahyang dan sejarah nabi-nabi." Keprihatinan pemerintah Malaysia terhadap Islam songsang bisa dipahami. Seorang guru wanita di Batu Pahat dalam hal ini punya pengalaman tersendiri. Di dalam kelasnya ia pernah ditegur murid karena ia memakai rok terusan. Muridnya menganggap pakaian guru itu haram, karena tidak menutup aurat. Karena guru itu terus memakai rok, tak seorang pun murid perempuan yang mau menyapanya bila bertemu di jalan. Suatu kali seorang murid perempuan tak mau menjawab pertanyaan guru. Ketika ditanyakan di luar kelas mengapa ia tak mau menjawab, si murid berkata: "Perempuan haram hukumnya berbicara di depan laki-laki." Kasus kefanatikan serupa ini cukup banyak. Bahkan ada pula mahasiswa yang meninggalkan bangku kuliah dengan alasan "haram bagi wanita". Tapi perkampungan Darul Arqam di Sungai Pencala, Kualalumpur, punya pelajar wanita. Tempat belajar mereka betul-betul terpisah. Kalau keluar ruangan, anak perempuan memakai cadar. Bila ada keperluan dengan guru pria, mereka berbicara dengan dibatasi dinding. Semua anggota pria Darul Arqam berpakaian jubah ala Arab bila berada di perkampungan atau di rumah mereka. Kalau pergi bekerja, mereka berpakaian seperti biasa. Apakah ini sekedar mode? "Bukan, kami hanya menjalankan sunnah Rasul," kata seorang pengikut Darul Arqam. Anggota ini menyisihkan 3% dari gajinya setiap bulan untuk Darul Arqam. Dan setiap Rabu malam ia pergi ke Sungai Pencala untuk mendengarkan khotbah Imam Ashaari Muhammad. Di sana ia menemukan suatu ketenangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus